JURAGAN ARJUNA

Bab 11



Bab 11

0"Syukurlah, panen di Berjo sekarang membaik. Meski belum bisa dikatakan untung, tapi bisa menutup kegagalan panen beberapa bulan terakhir," Romo membuka suara. Saat ini dia tengah sibuk dengan kopinya, dan dengan korannya tercinta.     
0

Sementara aku, membuka-buka buku barangkali ada hal yang menarik di sana. Otakku benar-benar ndhak bisa lepas dari godaan Arni tadi. Andai saja Paklik Sobirin ndhak menganggu, pastilah aku sudah merasakan nikmatnya dunia.     

"Arjuna!"     

"Ya!"     

Aku tersentak kaget saat mendengar Biung memanggilku dengan nada tinggi. Dan rupanya, seluruh pasang mata yang ada di sini tengah memandang ke arahku.     

"Kamu ndhak dengar jika Biung memanggilmu sedari tadi?" tanya Biung.     

Aku menggeleng kaku.     

"Antarkan aku ke rumah Manis, Biung hendak memberikan beberapa keperluan untuk memasak besok. Calon suaminya besok hendak berkunjung."     

"Ke rumah Manis?" tanyaku penuh minat. Biung mengangguk membuatku segera berdiri. "Tunggu, Biung, aku siap-siap dulu."     

"Siap-siap?" kali ini Romo Nathan yang bersuara. Tentu dengan tawa yang ditahan itu. "Ini ke rumah Manis, lho, Juna. Bukan ke kota atau ke pernikahan Manis. Benar-benar ke rumah Manis yang jaraknya bahkan ndhak ada lima menit kalau naik mobil."     

"Pakaianku kotor, Romo. Sedari tadi aku ke kebun, dan berkeringat. Jadi, nanti ndhak perlu ganti baju lagi."     

Aku hendak pergi, tapi ditahan oleh Biung. Apalagi, toh, ini?     

"Kemeja, dan bibirmu ini...," katanya, sambil menunjuk ke arah kemejaku. "Ini gincu siapa, Juna? Kamu ini tadi habis dari mana?" selidiknya.     

"Ini...," jawabku bingung sendiri. Kenapa bisa gincu Arni menempel di sini? "Tadi, habis disosor bebek, Biung," dustaku.     

"Juna, itu jelas gincu perempuan. Jawab Biung dulu!" aku bergegas pergi sebelum Biung bertanya macam-macam. Sebab aku paling ndhak bisa berbohong dengannya.     

Tapi, sebelum aku menjauh, aku menangkap Romo berucap, "sudahlah, dia sudah dewasa. Biarkan saja, selama dia ndhak menghamili anak orang, dan ndhak mempermalukan kita biarkan saja."     

****     

Sore ini, di rumah Manis. Rupanya semuanya tampak sibuk mempersiapkan beberapa hal yang akan dihidangkan, serta diberikan pada calon pengantin laki-laki. Lihat saja, bahkan Biung pun sudah sibuk membantu simbahnya Manis membersihkan beras.     

Tunggu, di mana Manis berada? Kenapa tampang menyebalkannya itu ndhak tampak sama sekali? Apakah dia sedang mandi?     

"Bulik Sari, di mana gerangan Manis berada? Kenapa kamarnya sepi?" kutanya.     

Bulik Sari tersenyum, kemudian dia menunjuk ke arah pelataran depan.     

"Baru saja pulang, Juragan. Habis jalan-jalan dengan calon suami," jawab Bulik Sari.     

Kulirik arah depan, rupanya Manis baru saja turun dari mobil kamitua Minto. Dia melambaikan tangannya kemudian masuk. Sungguh, pemandangan yang sangat menjijikkan.     

Tunggu, kenapa Manis sekarang pakai rok selutut? Sejak kapan dia gemar memakai pakaian-pakaian feminim seperti itu?     

"Oh, jadi hanya agar bisa setiap hari naik mobil, toh, makanya mau saja dipersunting tua bangka itu," sindirku.     

Manis yang hendak masuk ke dalam kamar pun melirikku sekilas kemudian dia berhenti.     

"Dasar perempuan mata duitan," imbuhku lagi.     

Manis langsung menatapku dengan pandangan galaknya. Tapi aku bisa melihat jika matanya telah nanar karena ucapanku mungkin melukai perasaannya.     

"Jadi perempuan itu, harus mata duitan. Apalagi asetku besar, jadi harganya mahal!" ketusnya sambil membusungkan dadanya yang besar itu.     

Sialan benar perempuan ini. Dia langsung masuk ke dalam kamar, sementara aku pergi keluar mencari keberadaan Paklik Sobirin.     

"Paklik, kamu ndhak punya uang lima puluh rupiah?" tanyaku setengah berbisik.     

Setelah merogoh saku celananya, dua buah uang lima puluh rupiah diberikan padaku.     

"Buat apa, Juragan?" tanyanya penasaran.     

"Kubawa satu," jawabku mengabaikannya. Kembali masuk ke dalam rumah Manis.     

Kubuka pintu kamar Manis, rupanya ndhak dikunci. Manis tampak kaget, sedari tadi dia tiduran pun bangun.     

"Ada apa lagi? Jika kamu mau mengolok-olokku lebih baik kamu pergi!" bentaknya. Dia sekarang menjadi perempuan galak benar.     

Tanpa pikir panjang, aku langsung menariknya untuk kembali ke tempat tidur. Membuka kancing pakaiannya kemudian meremas dadanya.     

Manis mencoba meronta saat kuberikan tanda-tanda merah di seluruh lehernya. Setelah aku puas, kutarik tubuhku dan kuletakkan uang lima puluh rupuah di atas dadanya.     

"Itu asetmu, tak bayar dengan harga lima puluh rupiah," kataku.     

Dia menamparku berkali-kali, tapi aku ndhak peduli. Entah kenapa rasanya puas sekali melihatnya marah seperti ini.     

"Jahat kamu, Arjuna! Jahat kamu!" marahnya.     

"Jika calon suamimu yang tua bangka itu bertanya kenapa leher, dan dadamu merah semua. Bilang padanya, tadi kamu habis dikerokin Juragan Arjuna yang paling bagus sedunia dengan mulutnya."     

Aku langsung pergi, meninggalkan Manis yang masih menangis.     

Biarkan seperti ini, biarkan aku menjadi jahat agar Manis ndhak menikah dengan Minto. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat Minto melepaskan Manis. Ya, apa pun itu!     

Aku berjalan melihat Manis yang pergi dengan amarah yang membuncah. Wajah ayunya tampak merah padam. Dan aku yakin, hal itu karena ulahku. Apa benar dia marah? Atau malah dia malu karena perlakuanku kepadanya? Persetan!     

Aku hanya ingin menyadarkan dia dari sifat kolotnya, terlebih dari laki-laki tua yang selalu saja mengusik pikiranku. Kenapa dari semua lelaki yang ada di dunia ini harus Minto? Apa ndhak ada pemuda lain yang memiliki harta cukup selain Minto untuk menjadi calon suami Manis? Bahkan melihat wajah laki-laki tua bangka itu saja, membuat perutku mual. Membuat aku ingin menyekiknya saat ini juga.     

"Juragan, ndhak seharusnya berkata seperti itu, toh, biar bagaimanapun, Manis itu perempuan lho. Dia pasti akan malu dengan perkataan Juragan seperti itu,"     

Aku melirik, tatkala Paklik Sobirin mengatakan itu. Rupanya, dia mendengar percakapanku. Dasar, Paklik Sobirin ini.     

"Kamu ini abdiku, lancang benar kamu menghardikku seperti itu, Paklik? Ada hak apa, kamu?!" ketusku. Aku langsung pergi, sampai Paklik Sobirin mengejarku setengah berlari.     

"Juragan, Juragan... maafkan saya, Juragan. Saya telah lancang!" teriak Paklik Sobirin. Tapi ucapannya aku abaikan.     

"Juragan, Juragan!" teriaknya lagi.     

Aku langsung berhenti, kemudian kubalik tubuhku. Paklik Sobirin nyaris menabrakku, kemudian dia menunduk semakin dalam, "maafkan saya, Juragan. Saya telah lancang," ibanya.     

Aku tersenyum melihat tingkah Paklik Sobirin yang seperti ini. Sangat ketakutan, sampai-sampai menganggapku seolah seperti Gusti Pangeran.     

"Jadi mulai sekarang, jaga sikapmu di depanku!" marahku. Paklik Sobirin mengangguk patuh. "Pura-pura ndhak dengar saat aku sedang berbicara, bukankah itu adalah tugasmu, Paklik?"     

"Iya, Juragan. Maafkan saya, saya benar-benar menyesal dengan semua yang telah saya lakukan tadi. Ndhak seharusnya saya melakukan hal itu, menegur Juragan. Saya ini apa, toh, hanya abdi dalem, Juragan. Maafkan saya," mohonnya sekali lagi. Dengan ekspresi yang lucu itu.     

Kuabaikan saja rengekan maafnya, aku kemudian masuk ke dalam mobil. Menunggunya untuk masuk, dan kukerjai lagi. Seendhaknya, aku bisa melampiaskan kekesalanku kepada Minto. Paklik, Maafkan aku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.