JURAGAN ARJUNA

Bab 10



Bab 10

0Aku diam sejenak tatkala Manis mengatakan itu. Apakah itu berarti jika ia telah menyetujui lamaran dari Minto? Sial, kenapa ini bisa terjadi?     
0

Seharusnya, dia ndhak seperti ini. Jika dia butuh uang, bukankah dia bisa meminta itu kepadaku berapapun jumlahnya? Sebab, aku adalah kawan baiknya. Ndhak ada alasan untuk ndhak melakukan itu. Apalagi karena sungkan, itu benar-benar bukanlah Manis.     

"Apa ini sebenarnya maumu sejak lama? Menikah dengan tua bangka kaya agar kamu bisa menikmati hartanya?"     

"Arjuna--"     

"Mau marah?" tanyaku, dia diam dengan wajah merah padamnya. "Aku bicara kenyataan. Jika itu bukan tujuanmu, bukankah lebih pantas jika aku sebagai kawan baikmu yang membantumu? Untuk apa kamu menerima bantuan cuma-cuma kepada orang yang jelas memiliki niat khusus? Bukankah itu sengaja. Atau, kamu merasa tersanjung karena merasa telah dicintai oleh laki-laki? Ck, padahal itu hanyalah tua bangka!"     

PLak!!     

"Lantas ke mana saja saat aku susah payah mencari uang kesana-kemari, Arjuna? Bahkan, kamu terlalu sibuk dengan cinta membaramu itu bersama Arni. Apa kamu pikir, aku ndhak pernah berusaha mencoba berbincang perkara ini denganmu?" Manis tersenyum kecut, tatkala ia melihat kediamanku. "Berkali-kali, Arjuna. Berkali-kali aku berkunjung ke tempatmu saat itu. Tapi apa? Kamu... kamu terlalu sibuk dengan cintamu itu... Arni. Sampai akhirnya aku sadar, jika kita bukanlah dua anak kecil dulu lagi. Di mana kamu hanya boleh berkawan denganku, di mana kamu hanya boleh mendengarkan semua celotehku. Lantas jika aku mengambil keputusanku sendiri, apakah itu salah? Ini bukan kesalahan, Juna. Tapi ini adalah keputusan dari perempuan dewasa demi masa depannya. Dan ingat, ini bukan urusanmu lagi."     

Aku diam, mencoba menerka apa yang terjadi lagi. Mengingat-ingat bagaimana egoisnya aku sebagai kawan melupakan kawanku yang lain begitu saja. Gusti, apakah saat aku bersenang-senang menggoda Arni, di sisi lain Manis tengah membutuhkan bantuanku? Apakah di saat aku lagi gandrung dengan Arni, dan berbahagia atasnya, ada Manis yang menangis meronta untuk kudengarkan masalahnya? Betapa jahat aku sebagai kawan saat itu.     

"Manis--"     

"Juragan Nathan, dan Ndoro Larasati hendak pamit. Lebih baik kamu ikut pergi juga."     

"Tapi--"     

"Pergilah, Arjuna. Ndhak ada hal yang lebih membuatku tenang selain kepergianmu."     

Lagi, aku merasa sakit yang teramat. Tatkala Manis mengatakan hal menyakitkan itu. Bagaimana bisa Manis mengatakan hal sekeji itu.     

"Jadi benar kamu sudah ndhak membutuhkanku lagi?" kutanya.     

Manis mengangguk mantab, dengan pandangan dinginnya. Pandangan yang seolah telah muak terhadapku, dan pandangan seolah ingin mengenyahkanku.     

"Aku pergi, tapi jangan harap aku akan berhenti untuk merusak pernikahanmu dengan kamituo kampret itu, Manis. Sebab, bagaimanapun caranya, aku akan membuat hubungan menjijikan yang kalian jalin itu... putus."     

"Namun, jika aku telah jatuh hati kepadanya, apakah kamu masih ingin merusaknya?" aku kembali diam, saat ucapan itu dilontarkan oleh Manis. Mulutnya sekarang pedas benar, sampai-sampai berhasil membuat hatiku semakin panas. "Aku ingin seperti Ndoro Larasati, jatuh hati kepada lelaki matang, dan dicintai dengan tulus. Dari pada bertemu dengan lelaki yang cara pikirnya seperti bayi."     

Manis hendak pergi, tapi tangannya kugenggam dengan erat. Wajahnya menoleh ke arahku, masih dengan tatapan sinisnya itu. Dan entah kenapa, hatiku semakin terbakar mendengar setiap ucapannya.     

"Dengar, Manis. Laki-laki yang kamu sebut bayi itu, bisa menghamilimu."     

Aku langsung pergi dari rumah Manis. Mengabaikan pikiran-pikiran jika saat ini, kamitua Minto masih berada di sana. Bisa jadi dia akan berduaan denga Manis sepanjang malam. Sial benar perempuan tengik satu itu. Apa dia ndhak bisa merasa jika aku menyesal dan khawatir karenanya? Berengsek!     

*****     

Pagi ini aku berada di kebun. Romo tadi pagi pamit ke kota dengan Biung, sebab katanya, ada kawab yang ingin berjumpa. Dan menyerahkanku kepada Paklik Sobirin. Seperti aku ini anak kecil saja. Memangnya, Paklik Sobirin bisa membuatku nurut? Ada-ada saja Romo Nathan ini.     

"Paklik Junet...," kataku. Tatkala melihat sosok Paklik Junet yang ndhak kujumpai dari kemarin. Entah kenapa laki-laki itu tampak menghindar. "Aku ingin bertanya," kubilang.     

Paklik Junet tampak menunduk. Pelan-pelan ia mendekat ke arahku, kemudian menyikut lengan Paklik Sobirin.     

"Apa benar, beberapa waktu yang lalu, Manis beberapa kali berkunjung ke rumah?" kutanya.     

Paklik Junet masih diam.     

"Iya, Juragan. Apa Junet ndhak bilang kepada Juragan perihal itu?" Paklik Sobirin menjawabi.     

Kutarik napasku sambil melihat ke arah Paklik Junet. Ternyata, apa yang menjadi curigaku benar adanya. Pasti ada yang salah antara aku dan Manis sampai ia menjadi salah paham seperti ini.     

"Manis berkunjung kenapa, Paklik? Dan kenapa Paklik ndhak memberitahuku?" tanyaku lagi.     

Paklik Junet tampak menggaruk tengkuknya. "Aku pikir, dia datang hanya untuk merusuh. Masuk tanpa sopan ke kamarmu, kemudian tidur di sana, seolah-olah jika dia adalah adik perempuanmu. Atau malah, seolah dia adalah istrimu. Aku ndhak suka, dia itu hanya keponakan dari Sari, hanya seorang abdi dalem. Tapi lagaknya ndhak tahu diri. Jadi, setiap dia datang, kubilang jika kamu ndhak ada di rumah."     

Jadi, seperti itu keberan di balik marahnya Manis kepadaku? Pastilah dia berpikir jika aku ini seorang kawan yang ndhak pecus. Seorang kawan yang ndhak peduli tentang penderitaan kawannya. Gusti, aku benar-benar merasa beraalah sekali.     

"Paklik ndhak punya hak menilai seseorang, apalagi memutuskan dengan siapa aku berkawan. Memamgnya kenapa dengan Manis? Dia sudah kuanggap sebagai adikku, sama halnya seperti Rianti di mataku."     

"Semua itu jelas berbeda, Jun. Jelaslah berbeda. Dia itu perempuan ndhak tahu tata krama. Gayanya saja seperti laki-laki. Benar-benar, bukan cerminan perempuan baik di kampung ini!"     

"Jadi, perempuan yang baik menurut Paklik itu yang seperti apa?" tanyaku. Merasa ndhak habis pikir dengan cara pikir Paklik Junet.     

"Arni...,"     

Aku nyaris melompat tatkala ia melontarkan nama itu. Bisa kulihat, Paklik Sobirin pun tampak kaget dibuatnya.     

"Meski penampilannya sederhana. Dia itu sosok wanita yang utuh. Aku setuju jika itu Arni," jelasnya.     

"Walah, Net... Net. Kamu ini ngelindur, atau apa, toh?" kini Paklik Sobirin pun bersuara. "Bagaimana bisa, kamu menyuruh keponakanmu sendiri berkawan dengan perempuan yang sudah bersuami? Selain ndhak pantes di pandang oleh orang. Sungkanlah dengan suaminya. Keponakanmu ini seorang Juragan, lho. Seorang junjungan, panutan bagi semua orang. Kamu itu, ngelindur kok di siang bolong."     

Aku terkekeh mendengar ucapan Paklik Sobirin. Entah kenapa, ucapannya itu terdengar lucu. Andai dia tahu apa yang terjadi, akankah dia masih berkata seperti itu?     

"Dari pada kalian membuatku pusing, pergilah dulu ke warung Mbah Marisah. Nanti tak susul setelah urusan di sini selesai," kataku menengahi.     

"Juragan ndhak nitip apa-apa?"     

"Nitip dada montoknya Arni!" seru Paklik Junet yang sudah berjalan menjuh.     

Kurang ajar benar laki-laki itu. Kalau ada yang mendengar, nanti bisa salah paham.     

"Kopi hitam saja, Paklik. Tanpa gula," kubilang.     

Paklik Sobirin mengangguk. Kemudian dia menyusul langkah Paklik Junet.     

Kuembuskan lagi napasku, kemudian mendekat ke arah pemetik teh. Mereka ternyata sudah berkumpul, sambil membawa hasil petikan tehnya masing-masing. Sebentar lagi, aku ndhak akan melihat pemandangan seasyik ini, sebab kegiatan ini untuk beberapa saat libur. Menunggu daun-daun teh baru agar mereka siap untuk dipanen lagi.     

"Hari ini, tampaknya yang paling dapat hasil sedikit Arni," kata Bulik Jinah. Dia adalah salah satu pemetik yang paling semangat di sini.     

"Iya, beberapa minggu terakhir, malah," imbuh Bulik Temok.     

"Apa kamu sedang ndhak enak badan, Arni?" tanya Bulik Jinah lagi.     

Arni menggeleng. "Mungkin, sedang banyak pikiran saja." Arni jawab.     

"Jadi, ini sudah bisa bubar apa belum?" tanyaku pada akhirnya.     

Mereka tertawa serempak, kemudian mengangguk. Seolah telah malu karena terlalu banyak bicara.     

"Maaf, Juragan. Kami kelewatan. Untung Juragan yang bagus ini orangnya penyabar," rayu Bulik Jinah.     

Aku hanya senyum saja menanggapi itu.     

"Coba aku seorang Ndoro, Juragan. Pastilah panjenengan sudah kupinang jadi mantu," imbuh Bulik Temok.     

Mereka langsung riuh, bersorak-sorai seolah itu adalah perkataan lucu.     

Kuabaikan saja mereka, memilih mendekat ke arah para mandor dan bercakap-cakap sebentar.     

"Juragan, panjenengan ini ndhak ke rumah kamitua Minto, toh?" tanya Soleh.     

Kukerutkan keningku ndhak paham dengan apa yang dikatakan Soleh.     

"Ada apa gerangan dengan kamitua Minto, Leh?" kutanya.     

Soleh tampak menoleh, seakan bingung dengan pertanyaanku itu.     

"Bukankah, kamitua akan menikah dengan kawan baik Juragan? Kabarnya, hari ini kamitua Minto akan melamar Manis secara resmi."     

"Oh...," kataku dengan senyum yang kupksa. "Mungkin Manis belum bercerita. Iya, biar nanti aku ke sana untuk berkunjung," jawabku seadanya.     

Setelah berbasa-basi, akhirnya aku pamit pergi. Mungkin saat ini kopi pesananku sudah dingin, karena sudah terlalu lama aku tinggal.     

"Juragan!" kutoleh asal suara, tampak gadis kecil itu melambaikan tangannya kepadaku. Senyumnya tampak merekah, mata bulatnya menyipit. Sementara tangan yang lainnya digenggam erat oleh biungnya, mungkin jika endhak gadis kecil itu sudah berhambur ke arahku.     

"Gadis cantik, bagaimana kabarmu? Lama kita ndhak bertemu," tanyaku. Kugenggam kedua pipi tembemnya.     

"Baik, Juragan. Oh, ya... aku mendapat peringkat pertama. Juragan kenapa Juragan ndhak berkunjung ke rumah sekarang? Atau sekadar bercakap-cakap dengan Biung seperti dulu."     

Aku tersenyum saja. Tanpa berniat memandang biungnya pun mengatakan apa pun kepada biungnya.     

"Ndhak boleh seperti itu, Rum. Juragan sedang sibuk, banyak tugas," jawab biungnya.     

"Karena kamu sudah menjadi anak pintar, ini hadiah untukmu," kuberikan beberapa lembar uang, kemudian setangkai bunga yang baru saja kupetik. Ningrum tampak malu-malu menerima bunga itu tanpa mengambil uangnya.     

"Kata Biung, ndhak boleh menerima uang dari siapa pun dengan cuma-cuma, Juragan."     

"Ini bukan pemberian. Tapi hadiah," kubilang.     

Ningrum tampak takut-takut melihat ke arah biungnya sebelum menerima uang dariku. Sepertinya, dia benar-benar takut.     

"Sudah, ndhak usah sungkan. Ambil."     

"Terimakasih, Juragan."     

"Terimakasih, Juragan."     

Kini, biungnya yang berbicara. Tapi masih kuabaikan saja dia.     

"Ya sudah, aku pamit dulu, ya, Ndhuk," kubilang.     

Aku hendak pergi, tapi tangaku digenggam erat oleh Ningrum. Membuatku terhenti, dan kembali menoleh ke arahnya.     

"Juragan ndhak bicara dengan Biung?" dia tanya, dengan tatapan polosnya.     

Dan untuk sekarang, kupandang wajah Arni, yang memandangku dengan banyak arti. Entah, aku juga ndhak tahu apa yang ingin dia utarakan kepadaku.     

"Ndhak ada yang perlu dibicarakan, Ndhuk," kubilang.     

"Tapi--"     

Setelah kuelus lembut rambut Ningrum, aku langsung pergi. Sepertinya ndhak pantas jika membicarakan hal-hal seperti ini jika ada Ningrum. Dia hanyalah anak kecil.     

Kupercepat langkahku menuju warung Mbah Marisah. Mencari keberadaan Paklik Junet, dan Paklik Sobirin.     

"Juragan, sini!" seru Paklik Junet.     

Aku segera mendekat, kemudian duduk di antara keduanya.     

"Sudah dingin?" tanyaku. Seraya mengambil kopi hitam yang masih tertutup rapat.     

"Baru dibuatkan Arni," jawab Paklik Sobirin.     

Arni? Cepat benar dia datang kesini.     

"Enak ini, ada ketan hangat-hangat. Sambil nyeruput kopi!" seru Paklik Junet semangat.     

Kusesap kopiku, aku pun tersenyum. Rupanya, dia tahu betul dengan seleraku. Kopi seperti ini, benar-benar yang paling kusuka.     

"Juragan...," Mbah Marisah bersuara. Kutoleh asal suara, ternyata dia berdiri di balik pintu. "Sini, toh, sebentar."     

"Ada apa, toh, Mbah? Sepertinya ada hal penting? Apa Simbah rindu aku?" godaku.     

Mbah Marisah tertawa. Sambil nginang, ia kembali melambai ke arahku.     

"Sebentar," kubilang pada Paklik Junet, dan Paklik Sobirin.     

Kudekati Mbah Marisah, kemudian dia mengajakku masuk ke dapurnya. Aku benar-benar ndhak tahu, kenapa dia mengajakku ke tempat seperti ini.     

"Di sana, Juragan, di kamar sana. Ada yang hendak berbicara dengan sampean," kata Mbah Marisah.     

Dia mendorongku agar masuk ke dalam kamar yang ia maksud. Kemudian mengunciku dari luar. Sebenarnya bisa saja aku menolak karena tubuh renta itu ndhak begitu tenaga yang besar. Tapi, kuturuti saja dia agar ndhak kecewa.     

"Sial, untuk apa tua renta itu mengunciku di sini? Ada-ada saja," dengusku.     

"Itu, aku yang menyuruh, Juragan."     

Kuputar kepalaku, ternyata di sana sudah ada Arni. Duduk manis di atas dipan dengan begitu tenang.     

Lagi, aku kembali tersenyum. Apa-apaan semua ini?     

"Lucu benar ini semua, bagaimana bisa aku dikurung di sini dengan seorang wanita yang memiliki suami. Ndhak tahu malu," ucapku lagi.     

Arni tampak menunduk. Sepertinya dia merasa bersalah mendengar penuturanku itu.     

Aku masih berdiri di balik pintu, tanpa berniat mendekat pun bercakap dengan Arni. Kupandang pintu sambil mengumpat berkali-kali.     

"Juragan, maafkan aku. Ini semua adalah permintaanku," katanya.     

Kuputar tubuhku agar bisa menghadap Arni. Kini, dia pun sudah berdiri tepat di depanku. Kemudian, tangannya meraih tanganku. Menggenggamnya dengan sangat erat.     

"Rasanya sangat sesak tatkala Juragan mendiami, dan menjauhiku seperti ini. Aku benar-benar merasa aneh, Juragan," akhirnya dia membuka suara, mungkin mencoba mengutarakan apa yang hendak ia katakan. "Maaf jika kemarin aku berkata kasar padamu, terlebih dengan ucapan-ucapan yang mungkin melukaimu. Ketahuilah, Juragan, saat itu, atau mungkin sampai detik ini, hatiku benar-benar dirundung bimbang. Tentang sifat Juragan yang begitu hangat kepadaku, tentang statusku yang merupakan istri orang, terlebih... tentang hatiku sendiri yang sampai detik ini aku belum bisa memahaminya."     

Sesaat aku masih diam. Mencoba mencerna ucapan Arni. Sebab sebenarnya bukan hanya dia, aku pun merasa bimbang dengan hatiku. Entah, apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini.     

"Aku ndhak akan merebut wanita yang sudah bersuami, Arni. Sebagai seorang lelaki, terlebih Juragan, itu benar-benar etika yang ndhak pantas. Romo pernah berkata kepadaku, pantang sebagai seorang laki-laki sejati merebut milik orang lain, jika miliknya ndhak mau direbut. Jadi, semua terserah kepadamu, Arni. Kamu yang memiliki hubungan dengan suamimu, seharusnya kamu paham betul dengan hatimu. Tapi, ingat juga kedua anakmu. Jangan mengambil keputusan yang egois."     

Arni mengangguk menanggapi ucapanku, matanya nanar memandang ke arahku. Sejenak, dia memeluk tubuhku dengan erat, kemudian melepaskannya.     

"Aku ndhak merasa setenang ini ketika memeluk tubuh Kang Muri...," katanya. "Aku, dan dia dijodohkan saat usiaku masih sangat muda. Kemudian kami menjalani peran kami masing-masing sebagai suami-istri. Dan kamu juga pasti sudah tahu tentang perangainya yang buruk itu, tentu, aku ndhak ingin mengumbarnya. Lalu, kamu datang, menawarkan cinta yang sangat memabukkan. Memberiku rasa nyaman, bahkan sampai membuatku berpikir untuk lari saja dari Kang Muri kemudian mendekapmu erat-erat. Tapi, aku juga sadar, jika semua itu seperti mimpi di siang hari. Kamu seorang Juragan terpandang, sementara aku...," dia memutar tubuhnya menjauh, memilin ujung kebayanya.     

"Ini semua serba sulit, Juragan. Benar-benar sangat sulit."     

"Biarkan semuanya mengalir seperti air. Sebab bagiku, lebih baik memiliki hubungan dengan perempuan janda, dari pada perempuan yang sudah berkeluarga."     

Arni kembali diam, tapi aku bisa mendengar jika saat ini dia tengah terisak. Kudongakkan wajahnya, mata bulatnya telah memerah. Sungguh, aku paling ndhak suka dengan perempuan yang menangis. Terlebih itu karenaku.     

"Maafkan aku, Juragan....," lirihnya. "Seharusnya aku ndhak seperti ini. Terpesona oleh lelaki sepertimu. Maafkan aku," katanya lagi.     

Sedikit menunduk kugenggam wajah kecilnya, setelah mengusap air mata yang terus membanjiri pipinya. Kini, dia menjinjit, mencium bibirku dengan lembut.     

Kubalas ciumannya yang manis itu, ciuman yang membuatku dimabuk kepayang. Arni menyusupkan tangan kanannya di dalam kemejaku, dan meraba seluruh dadaku.     

Jujur, ini sulit. Semuanya terasa benar-benar sangat sulit. Aku bukan Dewa atau Gusti Pangeran, yang akan tahan bila digoda seperti ini.     

"Arni, jangan membuatku berahi, dan menidurimu di sini," bisikku.     

Tapi, tampaknya Arni sudah ndhak peduli. Kancing-kancing kemejaku pun sudah berhasil ia lepaskan semua. Sebenarnya, ada apa dengannya? Perempuan yang kutahu malu-malu tiba-tiba berubah menggoda seperti ini?     

BRAK!!     

"Juragan Arjuna, apa yang sedang kamu lakukan?!"     

Kulepas ciuman Arni, kemudian mengusap mulutku dengan kasar. Tampak jelas jika saat ini Paklik Sobirin kaget dengan kejadian yang disaksikan sekarang.     

"Maaf, Arni. Aku pulang dulu," pamitku. Menutup pintu itu kembali, menata pakaianku kembali agar rapi sebelum keluar, dan dilihat orang-orang.     

"Juragan....," cicit Paklik Sobirin karena aku yakin, dia takut jika para pengunjung di warung Mbah Marisah akan mendengar. "Ini benar-benar ndhak bener, Juragan. Ndhak bener!"     

"Jangan beritahu Romo, dan Biung tentang apa yang telah kamu lihat tadi, ya, Paklik," bujukku.     

Paklik Sobirin mengajakku untuk berjalan cepat-cepat, agar Paklik Junet ndhak mendengar percakapan kami.     

"Juragan tahu jika Arni telah memiliki suami?" tanyanya.     

Aku mengangguk.     

"Saya mohon, Juragan, jangan ulangi kesalahan Ndoro Larasati dulu. Akan ada banyak orang-orang yang terluka, dan kehilangan, hanya karena ulah Juragan. Jadi, saya mohon, Juragan. Sekiranya berhenti sebelum semuanya menjadi semakin rumit."     

Aku tahu jika ini rumit. Semuanya memang serba sulit. Mana bisa aku memaksa Arni untuk meninggalkan Muri. Itu benar-benar perkara yang ndhak benar sama sekali. Tapi perasaan ini, lebih ndhak benar dari apa pun di dunia ini.     

"Bagaimana dengan uang yang kusuruh berikan kepada kamitua Minto, apakah dia menerimanya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.     

Wajah Paklik Sobirin tampak merah padam, kemudian dia mengumpat berkali-kali sebelum menjawab pertanyaanku.     

"Sudah diterima, tapi dia tetap kukuh dengan pendiriannya untuk menikahi Manis. Sebab kata kamitua Minto, ndhak ada alasan untuk dia membatalkan pernikahannya, karena Manis telah setuju dengan itu."     

"Tapi, Manis ndhak cinta dengan dia, Paklik."     

Paklik Sobirin tersenyum kecut, kemudian melirik ke arahku.     

"Kalau Manis ndhak mencintai kamitua Minto, lantas Manis mencintai siapa, Juragan? Jika Juragan tahu, kenapa ndhak Juragan bawa kesini saja pemuda yang dicintai Manis."     

Aku terdiam mendengar perkataan dari Paklik Sobirin. Benar juga apa yang dia katakan. Siapa gerangan pemuda yang dicintai Manis? Jika ada, bukankah seharusnya itu adalah hal yang tepat agar Manis ndhak jadi menikah dengan Minto. Tapi, aku yakin, jika Manis ndhak akan mencintai pemuda sembarangan. Sebab, Manis adalah perempuan pintar, dan ndhak sembarang pemuda bisa menjerat hatinya. Ah, aku benar-benar sangat penasaran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.