JURAGAN ARJUNA

Bab 18



Bab 18

0Plak!!!     
0

Pipiku terasa panas saat Romo menamparku dengan begitu keras. Untuk kemudian, kutatap wajahnya yang saat ini dia sedang memandang ke arah Arni dengan sangat sengit. Aku tahu sejatinya Romo kecewa karenaku, karena telah mencoreng nama baiknya beserta Biung. Akan tetapi, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan selain membawa Arni bersamaku untuk melindunginya.     

"Siapa kamu berani bertandang ke sini!" marah Romo Nathan dengan nada tinggi.     

Aku, dan Arni yang hendak melangkah mendekat pun terhenti. Tanpa berani melangkah lebih jauh lagi. Aku cukup sadar, dengan apa yang dikatakan oleh Romo Nathan.     

"Romo—"     

"Kamu perempuan benar-benar ndhak tahu diri...," kata Romo. Ucapannya benar-benar dingin, sebanding dengan tatapannya kepada Arni. "Katanya kamu ini perempuan bermatabat, tapi rupanya kamu adalah perempuan ndhak tahu diri."     

"Juragan Nathan, sepertinya sampean ini telah salah paham, toh,"     

"Jangan bicara denganku. Bahkan membalas ucapanku kamu ndhak ada hak sama sekali untuk itu,"     

"Romo—"     

"Diam kamu, Arjuna!" marah Romo kepadaku. Aku kembali diam saat Romo mengatakan itu. Sebab marahnya, adalah hal yang mampu menyiutkan nyaliku. "Aku benar-benar sukarela jika kamu meminta bantuan istriku, putraku, pun bantuanku untuk berlindung dari lelaki biadab seperti Muri. Tapi, aku ndhak akan pernah sudi jika kamu memanfaatkan putraku untuk secuil tujuan licikmu itu!"     

"Juragan, saya sama sekali ndhak pernah memiliki tujuan licik kepada Kang Mas Arjuna."     

"Diam kamu, perempuan ndhak tahu diri! Bahkan mulut kotormu itu ndhak pantas menyebut putraku sebagai 'kang mas'!"     

Aku bisa melihat, raut terkejut dari Arni tampak begitu nyata. Bahkan wajahnya tampak memerah mendengar setiap perkataan pedas yang keluar dari mulut Romo Nathan. Aku yakin, sebagai perempuan dia sudah sangat malu sekarang. Diperlakukan seperti itu oleh Romo.     

"Romo, izinkanlah aku untuk sekadar menjelaskan semua ini, toh," kataku mencoba menenangkan Romo.     

Tapi, Romo Nathan malah menunjuk ke arahku. Dengan tatapan yang lebih beringas dari sebelumnya.     

"Aku sama sekali ndhak pernah mengajarimu untuk bermain api, Arjuna. Terlebih untuk menggoda milik orang. Pantang bagiku untuk merebut, sebab suatu saat apa yang kamu miliki pasti akan direbut...," Romo berjalan ke arah Biung kemudian melirikku lagi sekilas. Kemudian dia kembali tersenyum dengan seringaian dinginnya itu. "Benar toh, Larasati?"     

Hatiku terasa sakit tatkala Romo mengatakan hal itu. Aku tahu, dan aku yakin jika ucapannya itu bukan hanya untuk menyindirku. Tapi Bing juga, karena dulu Biung telah melakukan hal yang sama. Biung tampak mematung, dengan mata nanar dia diam seribu bahasa. Rasanya merasa bersalah sekali aku telah melakukan ini, rasanya ingin benar aku melepaskan semuanya dan memeluk tubuh Biung. Tapi, aku ndhak bisa. Aku benar-benar ndhak bisa melakukannya.     

"Jangan salahkan Biung karena ini, Romo. Sebab ini murni adalah kesalahanku."     

"Oh, bagus kalau begitu. Jika itu murni kesalahanmu seharusnya kamu juga tahu sebagai laki-laki apa yang harus kamu lakukan setelah ini."     

"Kang Mas, aku mohon... maafkan Arjuna. Aku yakin jika saat ini dia sedang melakukan hal tanpa berpikir masak-masak. Tolong, Kang Mas, tolong," kini Biung bersimpuh di kaki Romo.     

Tapi Romo Nathan yang kulihat sekarang jelas berbeda dari Romo yang kulihat sebelum-sebelumnya. Dia tampak ndhak gentar, dia tampak ndhak peduli dengan isakan Biung yang mengiba kepadanya.     

"Putraku adalah Arjuna yang mencintai sahabat kecilnya. Bukan pecundang yang merebut milik orang agar menjadi miliknya."     

Setelah mengatakan itu, Romo langsung pergi. Kemudian menyuruh Paklik Sobirin untuk menutup pintu rumah rapat-rapat. Aku tahu, jika sejatinya Romo telah mengusirku. Menyuruhku pergi dari sini sekarang juga.     

"Kang Mas—"     

"Sepertinya kita harus pergi dari sini. Aku ada rumah di kota, sebaiknya kamu singgah di sana untuk beberapa waktu," kubilang. Mengabaikan Arni kemudian melangkah masuk kembali ke dalam mobil.     

Kupandang rumah yang sedari dulu kusinggahi. Ini benar-benar seperti mimpi jika Romo mengusirku dari sini. Rasanya, semua rasa sepi merasuk di sum-sum tulangku. Seperti waktu itu. Tatkala Romo, dan Biung membuangku ke Jambi.     

*****     

"Makan malamnya, Kang Mas," kata Arni setelah meletakkan beberapa hidangan di atas meja.     

Setelah aku pergi dari rumah Romo, aku dan Arni berakhir di sini. Menempati salah satu kediamanku yang ada di kota untuk sekadar singgah. Menyembunyikan Arni agar ndhak dicari oleh Muri. Sebab aku masih takut, jika Arni nanti akan dipukuli lagi.     

"Terimakasih, karena Kang Mas telah sudi bersamaku setelah semua hal yang terjadi. Terlebih, setelah perdebatan alot tadi dengan Juragan Nathan. Sungguh, aku merasa menjadi perempuan buruk karena itu,"     

Arni menundukkan kepalanya, punggungnya pun bergetar. Pasti dia sedang menangis, mengingat setiap ucapan yang dilontarkan oleh Romo Nathan kepadanya.     

"Sejatinya Romo Nathan bukanlah Romo yang jahat. Dia adalah Romo yang baik. Hanya saja, apa yang kulakukan sepertinya telah menyakiti hatinya. Jadi, ndhak usah kamu masukkan hati."     

Arni menggenggam tanganku erat. Tapi perlakuannya benar-benar membuatku sangat sungkan. Pelan, kulepas genggaman tangannya, dengan pura-pura mengambil piring untuk makan.     

"Maafkan aku, Kang Mas."     

"Ndhak usah dibalas," kubilang.     

Kulirik Ningrum yang sudah tidur di kamar bersama dengan kangmasnya. Sungguh, aku ingin melindungi senyum gadis kecil itu. Itu sebabnya aku melakukan hal sampai sejauh ini.     

"Kamar tidurnya hanya ada dua. Kamu tidurlah di kamar sebelah, aku akan tidur di sini," kataku lagi.     

Tapi, Arni tampak menggeleng. Setelah dia mengambil nasi di atas piringku. Dia pun tersenyum simpul.     

"Kita bisa gunakan kamar itu bersama, toh, Kang Mas?"     

Aku langsung terbatuk mendengar penuturan Arni. Bagaimana bisa, dia memberikan ide seperti itu, toh? Aku disuruh satu kamar dengannya? Mati aku!     

"Aku, aku memiliki kebiasaan yang sangat buruk, Arni. Aku yakin, kamu ndhak akan kuat jika sekamar denganku nanti," kataku dengan senyuman hambar.     

Aku benar-benar ndhak bisa membayangkan satu kamar dengan seorang perempuan. Aku ini laki-laki normal, yang akan berahi jika disuguhi hal-hal yang intim seperti ini.     

"Aku itu kalau kentut, bau benar. Nanti kamu pingsan," dustaku. Gusti, semoga dia percaya.     

Tapi, Arni malah tertawa. Aku benar-benar ndhak paham apa yang lucu dari ucapanku.     

"Itu wajar, toh, Kang Mas. Namanya saja kentut, ya pasti bau, toh. Ndhak ada ceritanya kentut itu bau wangi," dia bilang.     

Benar juga apa yang dikatakan.     

"Ya sudah, jika Kang Mas ndhak mau tidur di sana juga ndhak apa-apa. Nanti, ambilah selimut dan bantal jika sudah ingin tidur, ya."     

"Siap."     

Setelah menungguiku makan, membereskan hidangan di meja. Arni pun pamit untuk tidur. Sementara aku duduk sendiri di sini dengan berbagai pikiran yang menjejali otak.     

Aku benar-benar ndhak tahu apa yang telah kulakukan. Keputusan sepihak karena rasa bersalah, dan kasihan kepada Arni nyatanya telah mengubah banyak hidupku. Aku telah kehilangan Manis, juga kehilangan orangtuaku.     

Meski jujur, aku sendiri pun ndhak memiliki niatan sejauh apa yang Romo Nathan katakan. Menikah dengan Arni untuk menolongnya, apakah aku harus melakukan itu? Lalu, bagaimana dengan Manis? Aku telah tidur dengannya. Dan aku sendiri pun ndhak rela jika dia harus bersanding dengan Minto busuk itu. Aku benar-benar ndhak bisa membayangkan jika Minto menjamah tubuh Manis. Itu benar-benar bayangan yang sangat menyesakkan.     

"Kang Mas, bisakah aku meminta bantuanmu?"     

Aku benar-benar ndhak tahu, jenis bantuan apa yang diinginkan Arni sekarang.     

Pelan-pelan aku masuk ke dalam kamar. Arni tampak memunggungiku sambil memperlihatkan punggungnya. Kemudian, dia melirikku, dan menyuruku untuk masuk. Gusti, ini lebih menyeramkan dari pada melihat dedemit di kampung.     

"Aku ndhak bisa mengoleskan saleb ini di punggungku. Apakah Kang Mas bisa membantuku untuk mengoleskannya?"     

Tanpa sadar, aku menelan ludahku dengan susah. Ini benar-benar di luar dugaan. Aku mana mungkin bisa menolah, toh? Dia meminta tolong untuk mengobati lukanya.     

Aku duduk tepat di belakangnya, meraih saleb yang sedari tadi dia bawa kemudian mengoleskannya pelan-pelan di luka Arni. Luka itu cukup lebar, luka bekas cambukan yang tampak jelas masih menganga.     

"Sakit?" kutanya. Saat mendengar Arni mendesah. Aku tahu ini perih.     

Dia mengangguk, sambil menggigit bibir bawahnya dia tampak menahan sakit.     

Kutiup-tiup luka yang baru saja kuobati itu. Dan tampak jelas jika ketegangannya sudah berkurang.     

"Kalau seperti ini ndhak akan terasa sakit, toh?" kataku lagi. Dia kembali mengangguk.     

Aku hendak pergi dari sana. Tapi, Arni lagi-lagi menggenggam tanganku. Seolah-olah dia melarangku untuk pergi. Jujur, aku sangat sungkan jika harus seperti ini. Biar bagaimana pun, dia masih istri dari seseorang.     

"Sebenarnya setelah ini kita akan menjadi seperti apa, Kang Mas?" tanyanya. Aku diam, ndhak tahu harus kujawab apa pertanyaannya. "Aku sudah ndhak memiliki siapa-siapa di dunia ini, Kang Mas. Hanya kamu satu-satunya harapanku untuk bisa bertahan di dunia ini."     

"Lantas Ningrum, dan kangmasnya? Apakah mereka bukan alasan terbesarmu untuk hidup?"     

Arni menggeser posisi duduknya menghadap ke arahku. Sehingga selembar jarik itu tampak jelas hanya menutupi bagian dadanya. Matanya, memandangku seolah mencari-cari suatu jawaban yang aku sendiri pun endhak tahu.     

"Kami hanya manusia sampah tanpa perlindungan darimu, Kang Mas."     

Aku berdiri hendak pergi. Tapi lagi-lagi Arni menahanku untuk itu. Aku benar-benar ndhak paham, apa yang sebenarnya ingin dia yakinkan.     

"Karena kamu ndhak percaya diri, itu sebabnya Muri dengan mudah menginjak-injak harga dirimu, Arni."     

Arni menggeleng, dia memeluk tubuhku dengan sangat erat. "Bukan, bukan seperti itu, Kang Mas. Yakinkan aku agar aku bisa mengambil sebuah keputusan. Sebab yang kubutuhkan sekarang hanyalah itu."     

Aku melepaskan pelukan Arni. Memandangnya dengan sangat kasihan. Kasihan karena dia terlalu mengharapkanku sampai sejauh itu.     

"Aku mau tidur dulu," kataku. Mengambil bantal yang ada di dipan kemudian pergi keluar. Menyandarkan kepalaku sambil memandang langit-langit.     

Sepertinya semuanya benar-benar akan menjadi sulit. Tapi, yang paling sulit saat ini adalah, untuk sekadar menyapa Manis. Apakah Manis akan membenciku setelah kejadian ini? Aku benar-benar ingin dia tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hatiku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.