JURAGAN ARJUNA

BAB 27



BAB 27

0"Jun, Juna! Kamu ini ke mana saja, toh! Beberapa pekan menghilang, susah benar dicari keberadaanmu!" teriak Paklik Junet.     
0

Saat ini aku sedang duduk di atas batu, sambil melihat beberapa pemetik teh di kebun. Memang sepekan ini aku ndhak ada di Kemuning, menemani Muri untuk mengurus beberapa hal guna perintisan usaha Arni. Awalnya usaha itu hendak dibangun di rumah yang kuberikan di kota. Akan tetapi, di detik-detik pembangunan usaha itu. Arni mendadak berubah pikiran, ia ingin kembali ke kampung halamannya, yaitu Kemuning. Membuka sebuah toko sembako di rumahnya. Jadi, yang kulakukan setelah itu bersama Muri adalah, membangun ulang rumahnya. Karena jelas, rumah lamanya ndhak layak benar untuk ditempati. Dan kemudian, membangunkan sebuah toko sembako di depannya. Tanah milik Muri terbilang sangat luas, jadi ndhak akan jadi masalah kalau didirikan rumah sedikit lebih besar beserta tokonya, masih menyisakan pelataran cukup lebar. Dan juga, salah satu alasan untuk ndhak di rumah adalah karena Rianti. Entah karena dia merasa jika Manis adalah sahabat kentalnya membuat Rianti benar-benar berperilaku di luar sifat yang kukenal sedari dulu. Aku benar-benar seperti ndhak mengenali adik perempuanku sendiri.     

Seolah-olah aku ini adalah pemuda yang paling busuk di dunia, karena telah tega berbuat curang kepada kawan baiknya. Aku tahu aku salah, siapa yang ndhak akan mengatakan hal itu? Bahkan, di seluruh Kemuning pun tahu jika aku tahu salah. Namun begitu, kali ini kucuba perbaiki kesalahanku. Semoga Rianti mau mengerti akan hal itu.     

"Ada apa, Paklik?" tanyaku. Mengabaikan semua pikiran yang berkecamuk pada diriku. Rasanya lebih baik menyibukkan diri, dari pada tetap diam seperti ini. Karena pikiran-pikiran menyesakkan selalu saja datang di sela-sela waktu sengang.     

Wajah Paklik Junet tampak merah padam. Sepertinya, dia tadi berlari menuju ke tempatku. Dan entah apa alasan kenapa sampai ia ngos-ngosan seperti itu. Pasti ada perkara yang menurutnya itu penting.     

"Kamu tahu, di Berjo...," katanya terbata. "Calon istrimu ada di Berjo," lanjutnya, dengan napas terengah. Kukerutkan keningku, apa yang baru saja Paklik Junet katakan?     

"Calon istri? Siapa?" kutanya. Sebab aku penasaran juga. Bagaimana bisa tiba-tiba Paklik Junet membahas calon istri? Calon istri yang mana? Bahkan sampai detik ini pun, aku ndhak tahu jika aku telah memiliki calon istri? Sejak kapan aku memiliki calon istri? Toh Romo, dan Biung juga ndhak mengatakan apa pun kepadaku ketika aku pulang tadi.     

"Perempuan, yang hendak dijodohkan denganmu oleh Romo, dan Biungmu. Sekarang ini dia sedang bertandang di Berjo."     

Kukerutkan keningku mendengar penuturan dari Paklik Junet. Tahu dari mana dia jika aku meminta Biung, dan Romo mencarikan calon istri? Terlebih, tahu dari mana dia jika calon istriku itu sedang bertandang di Berjo. Dan lagi, pasti jelas perempuan, toh. Masak iya calon istriku itu laki-laki, apalagi... banci. Dasar Paklik Junet ini!     

"Ayo, Juna kita ke sana. Lihatlah barang sebentar betapa elok wajah calon istrimu itu. Molek tubuhnya sampai membuat mata lelaki terpana dibuatnya."     

Lihatlah Paklik Junet begitu fasih dalam menggambarkan perempuan itu. Aku pikir, semua perempuan di muka bumi ini selalu dibilang ayu, molek, semok, dan montok. Mungkin kambing betina dibedakin saja akan jadi ayu di mata Paklik Junet.     

"Aku ndhak tertarik, Paklik," malasku. Paling-paling dia adalah tipikal perempuan kemayu, yang akan menempel para pemuda kaya. Aku yakin akan seperti itu. Terlebih perempuan-perempuan zaman sekarang. Semuanya nyaris ndhak ada bedanya. Untuk mencari yang benar-benar baik, dan tulus itu jarang. Jarang sekali.     

Tapi, tanganku ditarik-tarik oleh Paklik Junet. "Kamu ndhak tertarik? Sampai kapan toh kamu mau seperti ini? Bahkan, Manis... perempuan yang kamu gandrungi itu sebulan lagi akan menikah. Apa kamu mau dicap sebagai seorang lelaki yang ndhak bisa bangkit dari patah hati karena ditinggal kawin olehnya, Juna? Ayo... bangkit. Kamu ini laki-laki, buktikan kalau kamu bisa berdiri tanpa bayanganya lagi."     

Setelah adegan tarik-tarikan itu, sorenya kuputuskan ikut Paklik Junet ke Berjo. Untuk sekadar mengetahui siapa gerangan perempuan yang katanya akan dijodohkan denganku itu. Sungguh, bahkan aku baru tahu jika Biung rupanya mempunyai kenalan yang memiliki anak gadis juga, rupanya. Apa benar itu adalah anak perawan sahabat kental Biung yang ada di kota? Jika iya, pastilah sudah ditebak tabiat, dan cara dandananya seperti apa.     

Bukan apa-apa, hanya saja, pada zamanku ini, orang-orang kota itu memiliki pemikiran yang cenderung aneh. Mereka merasa menjadi manusia paling sempurna di dunia, dan memandang orang kampung sebelah mata. Lebih-lebih memandang warga kampung itu hina. Dari gaya pakaiannya, gaya bicaranya, dan semuanya menjadi celah tersendiri untuk orang kota agar mereka bisa mencaci-maki. Ironis, memang, melihat orang-orang memiliki pemikiran sepicik itu. Namun mau bagaimana lagi, toh aku ndhak bisa mengubah semua pikiran semua orang. Yang bisa kulakukan hanyalah, menunjukkan kepada orang-orang kota yang kunenal, jika orang kampung memiliki ciri khasnya sendiri, memiliki gayanya sendiri untuk menjadi istimewa di hadapan orang lain, terlebih kepada Gusti Pangeran.     

Saat ini aku sedang duduk di salah satu warung yang letaknya di perempatan jalan. Sementara seratus meter dari sini sebelah kanan adalah balaidesa, sebelah kiri rumah-rumah warga. Jadi teramat sangat strategis untuk sekadar melihat perempuan itu di sini. Selain karena jalan utama, baik dari tempat mana pun, penduduk kampung pasti akan lewat ini untuk kembali ke rumah mereka. Kusesap kopi hitamku yang baru saja disajikan oleh si empunya warung, rasanya nikmat, sedikit pait yang khas dari si pembuat. Kulirik Paklik Junet tampak ndhak fokus, meneliti dengan seksama jalanan yang bahkan tampak sepi. Aku mendengus, sembari melihat samping mejaku. Seorang kakek-kakek tampak sedang bercakap dengan kawannya, dan itu tampak seru.     

"Itu... yang memakai rok motif bunga warna kembang segerat," bisik Paklik Junet, yang berhasil membuatku menoleh ke arah pandangnya.     

Kulihat empat perempuan yang tampak sedang berjalan dengan begitu angkuh. Dadanya dibusungkan, seolah mereka ingin menunjukkan jika harkat, dan martabatnya tinggi. Wajahnya tampak naik ke atas, memandang lurus-lurus ke depan dengan segala keangkuhannya. Ciri khas Ndoro-Ndoro angkuh yang mengatas namakan kekuasaan orangtua di atas segalanya. Namun begitu, aku ndhak menampik jika perempuan yang memakai rok semata kaki itu sangat cantik. Penampilannya, benar-benar memesona. Sambil rambutnya disanggul ke atas meninggalkan kesan jika perempuan itu adalah sosok perempuan bermatabat yang susah didekati orang-orang biasa. Lihat bagaimana bahasa tubuhnya seolah menunjukkan jika dia adalah perempuan yang berbeda pada umumnya.     

"Hey, Cah Ayu! Dapat salam, dari pemuda bagus ini, lho!" teriak Paklik Junet, sambil menarik lenganku. Menunjukku dengan telunjuknya. Wajah Paklik Junet sedikit diangkat, senyumnya melebar dengan sendirinya. Kulirik Paklik Junet dengan malas. Orang ini benar-benar, ingin mempermalukanku dengan cara yang menyebalkan.     

Keempat perempuan itu berhenti, menoleh ke arah kami yang kebetulan hanya berdua ini dengan tatapan semakin ketus. Iya, saat ini aku hanya memakai kaus, yang kebetulan warnanya memudar karena amarah Rianti. Dia mencucinya dan diberi entah apa sampai warnanya hancur. Jadi, kalian bisa membayangkan bagaimana pandangan mereka terhadapku? Pandangan kaget, pandangan jijik, atau bahkan... dalam hati mereka pikir, siapa aku dan Paklik Marji ini? Dua pemuda berpakaian lusuh, tapi terlalu lancang untuk berucap jika kam—terlebih aku menyalami salah satu di antara mereka yang paling menonjol itu.     

"Dasar ndhak tahu diri. Memangnya kalian pikir, kalian ini siapa, toh. Berani benar memanggil kami. Kalian itu hanya... sampah," ketus salah satu perempuan yang ada di sana. Lagaknya sok iya, senyum meremehkannya tampak nyata. Kulihat dari ujung pandangku, perempuan memakai rok kembang segerat itu tersenyum, senyuman menghina yang sangat menyebalkan luar biasa.     

Duh Gusti, bagaimana bisa ada seorang perempuan. Terlebih seorang Ndoro, katanya. Memiliki mulut bahkan lebih kotor dari pada kotoran ayam seperti itu? Bagaimana bisa dia dinobatkan menjadi seorang Ndoro? Benar-benar dari tingkah lakunya saja ndhak mencerminkan seorang Ndoro Putri sama sekali.     

Salah satu di antara mereka tampak terkejut. Iya aku tahu, jika yang memakai rok kuning adalah salah satu anak dari Juragan yang ada di Berjo. Dia tahu dengan jelas siapa aku ini. Belum sempat dia menegur kedua temanya itu, cepat-cepat kuberi dia isyarat kepadanya untuk diam. Ndhak perlu mengatakan siapa aku ini. Biar dua kawan kentalnya itu tahu, bagaimana belajar tata krama yang mungkin ndhak pernah mereka dapatkan dari orangtuanya.     

"Menjijikkan," celetuk perempuan yang katanya adalah calon istriku itu. Darahku langsung naik seketika, aku langsung berdiri, berjalan mendekat ke arah keremunannya.     

Ketiga perempuan itu tampak sombong, sementara yang satu, ketakutan. Ia menunduk dalam-dalam, kemudian melangkah mundur.     

"Wah, pandai benar perempuan ayu ini berkata-kata. Wajah ayu, pakaian bagus. Tapi sayang, mulut dan hatinya lebih kotor dari pada tumpukan sampah di kampung Berjo," sindirku.     

Berjalan lebih dekat ke arah perempuan itu. Tapi apa yang dia lakukan lebih dari dugaanku, buru-buru dia mundur sambil menutup hidungnya seolah-olah aku adalah sesuatu yang bau. Bangsat benar. Dari mana Biung bisa menemukan perempuan rendahan seperti dia ini.     

Mata lebarnya melotot, sementara bibir penuhnya menyunggingkan seular senyum dengan penuh ejekan. Kemudian dia bersedekap, seolah-olah aku ini adalah kacung yang hendak ia singkirkan sejauh mungkin dari pandangannya.     

Sabar-sabar, menghadapi Mak Lampir seperti dia itu harus sabar. Kalau endhak, nanti aku akan terpancing emosi karena sikap yang menjijikkan. Aku jadi bingung, seberapa kondang orangtuanya ini? Sampai-sampai memiliki seorang putri berperilaku seolah-olah ndhak ada manusia di sunia ini yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih kaya dari pada dia. Atau malah, perempuan ndhak tahu diri ini dulu hidupnya di tengah hutan, jadi dia ndhak bisa melihat bagaimana cara manusia hidup pada umumnya.     

"Jijik benar kamu mendekat ke sini. Ndhak tahu diri. Memangnya hanya dengan wajah lumayanmu itu bisa membuat kami tertarik kepadamu? Cuih! Ndhak usah mimpi! Pakaianmu saja seperti muntahan kucing peliharaanku, menjijikkan!"     

Duh Gusti, baru tahu aku kalau ada perempuan bermulut menjijikkan seperti dia. Ataukah hari ini karena aku ndhak sedang memakai pakaian bagus, lantas ia memandangku seperti aku ini adalah orang miskin yang mengenaskan.     

"Ck! Ck! Kok ada ya, perempuan jenis kamu dibiarkan hidup oleh Gusti Pangeran. Seharusnya, kamu itu sudah dikubur lama, biar dimakan cacing-cacing yang ada di dalam tanah sana...," ucapku, menarik sebelah alisku sembari menatapnya yang kini tampak menahan tawa. Gusti, kenapa, ya, aku gemas sekali melihatnya. Rasanya mulutnya ingin sekali kusumpal dengan dengkulku agar ndhak bisa congkak lagi seperti itu.     

"Oh ya? Siapa yang berani menguburku? Bahkan cacing-cacing di dalam tanah sana, takut untuk menyentuh kulit berhargaku ini...," bantah perempuan itu, ndhak mau kalah. Kemudian ia mengitari tubuhku, sambil kedua tangannya berkacak pinggang. "Aduduh, pemuda benar-benar ndhak tahu malu. Dari keluarga mana kamu? Apa tujuanmu menemuiku hanya karena berniat menggodaku? Apa kamu pikir, karena wajah bagusmu itu aku akan terpikat oleh pesonamu yang bau itu? Ndhak usah mimpi! Kamu bahkan ndhak lebih berharga dari sendal jepitku, yang selalu kugunakan untuk menginjak kotoran kerbau di belakang rumahku!"     

Aku tersenyum mendengar celotehan perempuan ini. Sungguh, kupikir aku adalah manusia bermulut paling busuk. Namun kurasa, perempuan ndhak tahu diri ini memiliki mulut lebih busuk dari yang kukira. Sabar, sabar... ndhak usah meladeninya terlalu dalam. Kalau aku meladeninya, sama saja kalau aku ini gila sama sepertinya.     

"Bagaimana bisa aku bermimpi untuk memikat hati seorang Ndoro Putri yang katanya akan dijodohkan dengan calon Juragan Besar Arjuna? Bahkan, paras Juragan Arjuna pun ndhak bisa dibandingkan dengan paras kumalku, kekayaan Juragan Arjuna pun ndhak bisa dibandingan dengan kemiskinanku yang mendarah daging ini. Tapi, asal kamu tahu... Juragan Arjuna bukan sepertimu, yang akan dengan mudah terperdaya oleh paras ayumu itu," sindirku. Kemudian, kudekatkan wajahku padanya, lalu aku tersenyum tipis ke arahnya. "Hati-hati, ndhak usah terlalu percaya diri. Takutnya nanti, tatkala kamu bertemu dengan Juragan Arjuna kamu akan kecewa. Barangkali, Juragan yang terkenal bagus seantero Ngargoyoso itu telah memiliki tambatan hati. Lantas, kedatanganmu jauh-jauh ke sini hanyalah menjadi suatu yang sia-sia belaka,"     

Mendengar ucapanku itu, perempuan itu langsung memekik. Kurasa dia kaget bukan main mendengarnya. Tapi kemudian dia diam, kembali memasang wajah angkuhnya sambil melipat kedua tangannya di dada.     

Salah satu perempuan di sana menunduk dalam-dalam, seolah-olah dia takut akan kemarahanku. Tentu dia tahu, siapa aku ini. Dan aku lebih ingin tahu sebusuk apa calon istri yang dipersiapkan Biung kepadaku.     

"Aku tahu dari warta warga kampung, jika sejatinya Juragan Arjuna adalah pemuda mata keranjang. Perebut yang ulung, bahkan dia sempat merebut seorang perempuan yang sudah bersuami untuk melampiaskan nafsu bejatnya. Jadi, bagaimana bisa ia menolak aku yang ayu, dan semok ini? Kurasa Juragan Arjuna akan bertekuk lutut untuk sekadar melihatku telanjang di atas dipannya."     

"Puri, jangan lancang kamu!" marah kawannya, yang sedari tadi menunduk takut-takut itu. Kemudian dia kembali menatapku dengan sungkan, seolah dia merasa telah melakukan sebuah kesalahan. "Kamu ndhak tahu, kalau pemuda di depan ini adalah—"     

"Diam, Lis. Aku harus menyumpal mulut pemuda ndhak tahu diri ini. Dia harus tahu dengan siapa dia berkata sekarang. Dan akan kubuat dia malu karena telah berurusan denganku. Ndoro Putri Puri!" lantang perempuan itu.     

Oh, jadi namanya adalah Puri. Aku baru tahu jika perempuan ini bernama Puri. Sebuah nama yang sangat cantik, pas dengan wajahnya. Sayangnya, jauh berbeda dengan kepribadian bejatnya.     

"Ndhak waras," gumamku. Mengabaikannya dan hendak pergi.     

Tapi dari belakang perempuan bernama Puri itu melemparku pakai selopnya, kemudian dia tampak tertawa puas. Tawa itu kian meledak, menjadikanku tontonan yang lucu untuk mereka-mereka itu. Kurasa, ini benar-benar keterlaluan.     

"Dasar pemuda miskin ndhak tahu diri, kamu pantas dilempari selop kotor seperti itu. Karena kamu ndhak jauh beda dengan barang kotor itu,"     

"Oh, ya?" kataku. Membalik tubuhku sambil memandangnya. Melipat kedua tanganku di dada. "Kurasa lebih baik kamu pulang saja, sebab kamu ndhak akan diterima oleh Juragan Arjuna, meski kamu berlutut, dan menangis darah karenanya."     

Aku langsung pergi dari sana. Benar-benar memalukan. Baru kali ini aku direndahkan oleh seorang perempuan. Setelah ini aku pasti akan memberitahu Biung, untuk membatalkan perjodohan atau malah kubuat hidup perempuan ndhak tahu diri itu bagai di neraka.     

"Arjuna, tunggu aku!" teriak Paklik Junet, berlari mengejar langkah-langkah lebarku.     

"Paklik!" kataku, mendadak berhenti, kemudian memandang ke arah Paklik Junet. Paklik Junet lantas berhentik mendadak, wajahnya tampak jelas jika ia tengah terkejut sekarang. "Bukankah biasanya kamu itu cerewet sekali, toh? Lantas tadi bagaimana bisa, aku dikeroyok perempuan-perempuan sundal itu, Paklik Junet diam saja? Apa mulut Paklik Junet terkunci, hm?"     

"Aku...," kata Paklik Junet, sambil senyum malu-malu. Aku pun lantas kembali melangkah mendahuluinya, mendekati motorku, untuk kukendarai. "Aku gagal fokus, karena melihat tubuh semok perempuan-perempuan itu. Rasanya ingin benar aku memeluk mereka, pasti empuk sekali."     

Dasar Paklik Junet, paling ndhak bisa benar dia ini dalam urusan perempuan. Bagaimana bisa, melihat perempuan-perempuan yang mulutnya seperti sampah dia malah memikirkan hal di luar nalar manusia.     

"Jun, mau ke mana? Aku ikut,"     

"Pulang," kubilang. Tapi, stir motorku ditahan olehnya.     

"Aku boncengin, ya," mintanya kepadaku. Aku benar-benar malas dengan Paklik Junet, ditambah lagi, emosiku masih belum stabil karena peristiwa tadi. Duh, rasanya aku ingin mandi air dingin, agar otak dan hatiku ndhak panas lagi.     

"Pulang sendiri," ketusku.     

Aku lantas langsung pergi meninggalkan Paklik Junet sendiri, pergi ke arah berlawanan dengan Kemuning. Aku ingin sekadar jalan-jalan sebentar, untuk mencari udara segar. Melihat pemandangan lain, barang kali bertemu dengan seorang perempuan ayu.     

Kuhentikan motorku di sebuah pasar, pasar yang tumben di sore seperti ini masih saja buka. Banyak sekali jajanan yang ada di sana, penjual pakaian, sampai sayur-sayuran. Aku ingat dengan jelas, dulu waktu aku masih di Jambi aku sering diam-diam mengikuti salah satu abdi dalem untuk pergi ke pasar. Melihat pemandangan yang sangat aku inginkan. Sepasang Biung, dan anak bergandengan tangan masuk pasar, lalu mereka berbelanja dengan perasaan riang. Sang anak merengek untuk minta dibelikan beberapa mainan, membuat sang Biung mau ndhak mau harus membelikannya karena dia ndhak mau jika nanti anaknya meraung karena mempermalukannya nanti.     

Dan ketika ada satu kesempatanku pulang ke Jawa, aku meminta itu kepada Biung. Namun sayang seribu sayang, yang sering ke pasar bukanlah Biung, melainkan para abdi dalem. Jadi, sampai detik ini aku sama sekali ndhak memiliki kesempatan untuk meraskan hal emosional seperti itu. Dan sekarang, tatkala aku sudah dewasa, tetap saja rasa isi itu masih menjalar setiap kali aku melihat pemandangan indah seperti itu.     

"Kangmas, kok duduk di atas motornya saja? Ndhak niat untuk turun, toh?" tawar seorang perempuan, dia membawa tas besar, yang di dalamnya penuh dengan sayur-sayuran.     

"Untuk apa? Seorang pemuda ke pasar sendirian, benar-benar hal yang endhak biasa," tolakku. Dan dia pun tersenyum mendengar ucapanku itu. "Kamu jualan, toh?" kutanya. Terlihat dari pakaiannya, memang perempuan ini kurang cukup mampu, jika aku tebak.     

"Iya, Kangmas, membantu Emak. Tadi pagi Emak panen sayur-sayuran banyak. Lumayan jika laku semua uangnya untuk belanja."     

Duh Gusti, melihat perempuan ini, kenapa tiba-tiba membuatku mengingat akan Ningrum? Apakah Ningrum kelak juga akan seperti ini? Ikut membantu menjual sayur-sayuran untuk Arni?     

Aku segera merogoh saku celanaku, kemudian kudapat uang sepuluh ribu beberapa lembar. Kuberikan kepadanya, kemudian kuambil sayur-sayurannya.     

"Aku beli semuanya, ya," tawarku. Tapi tampaknya perempuan itu kaget, terlebih melihat uang yang kuberikan kepadanya.     

"Tapi, Kangmas? Ini terlampau banyak, lho. Bahkan aku bisa membeli seekor kambing dari uangmu ini. Bagaimana bisa, kamu memberiku uang sebanyak ini hanya untuk sekantung sayur?" tanyanya lagi.     

Aku maklum jika dia agaknya terkejut, aku tahu, karena aku yang terlalu berlebihan kepadanya, hanya karena aku mengingat Ningrum.     

"Sekarang begini, bagaimana kalau kita membuat sebuah perjanjian dagang? Kamu untung, aku juga untung," kubilang. Dia tampak memandangku dengan tatapan bingungnya.     

"Mulai besok, kamu bertandanglah ke Kemuning. Kamu tahu kediaman rumah Juragan Nathan Hendarmoko, toh? Nanti, temui abdi dalem bernama Bulik Sari, atau Bulik Amah. Bilang kepada abdi dalem itu, kalau kamu telah menjadi pedagang sayur langganan, yang telah dibayar oleh Juragan Arjuna untuk memberikan sayur-sayur segar untuk dimasak. Bagaimana?"     

Dia langsung terkejut mendengar hal itu, matanya tampak nanar, memandangku ndhak percaya. Kedua tangannya menutup mulutnya, kemudian dia hendak menyembahku.     

"Juragan, Juragan Arjuna? Benar Juragan Arjuna?" tanyanya terperangah.     

Sungguh, bahkan jika harus memilih, aku lebih memilih menikahi perempuan lugu seperti ini, dari pada harus menikahi perempuan siluman seperti Puri itu.     

"Ehm, di mana rumahmu? Bagaimana kalau kuantar pulang?"     

"Tapi—"     

"Bukan, aku sama sekali ndhak ada maksud buruk, sungguh! Hanya saja aku penasaran dengan rumahmu saja, apa boleh?" tawarku lagi. Aku ingin sekali bertemu dengan orangtuanya, siapa tahu aku bisa membantu sedikit mengenai perkara ekonomi rumah tangganya.     

"Tapi—"     

"Kamu takut jika barangkali aku akan menurunkanmu di tempat sepi kemudian kuperkosa?" tebakku. Dia kembali terbelalak. Gusti, rupanya aku sudah sangat buruk di mata penduduk kampung. "Tenang, aku bukan orang seperti itu, aku jamin. Semua yang telah menjadi kasak-kusuk seluruh Ngargoyoso itu endhaklah benar, semuanya hanyalah salah paham. Jika kamu ndhak percaya, aku—"     

"Baik, Juragan, aku mau. Sekalian aku hendak memberitahu Emak, agar memberikan sayuran terbaik setiap hari di kediaman Juragan Arjuna," jawabnya malu-malu.     

"Lalu, bolehkah aku tahu siapa namamu?" kutanya akhirnya. sembari mengulurkan tanganku padanya.     

Malu-malu dia membalas uluran tanganku, kemudian dia menjawab. "Ayuning, Juragan."     

"Ayuning, nama yang benar-benar ayu. Pantas benar dengan paras ayumu,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.