JURAGAN ARJUNA

BAB 121



BAB 121

0Malam ini agaknya perasaanku campur aduk luar biasa. Namun terlepas dari itu semua adalah, rasa bahagia yang ndhak terkira. Bagaimana aku ndhak bahagia, toh, jika keluarga kecilku bisa berkumpul secara lengkap seperti ini, di sini. Di kamarku, terlebih saat ini mereka tengah ada di kamarku.     
0

Aku kembali tersenyum melihat ini semua, tatkala Ningrum tidur di antaraku, dan Manis. Dia sudah terlelap, memeluk erat Manis seolah-olah takut jika barangkali Manis akan pergi. Sementara aku, memeluk mereka berdua, dalam diam, dan dengan mata yang sulit untuk terpejam.     

Kuperhatikan tubuh Ningrum yang tampak memar-memar, tapi sudah kuoles dengan salep pemberian dari mantri tadi. Aku yakin, sebentar lagi luka-luka itu akan sembuh dengan lebih cepat. Kemudian, aku mengelus lengan Manis yang agaknya bergeliat gelisah. Ndhak sadar, lengan bajunya tersingkap ke atas. Mataku terpaku, pada sebuah memar yang sangat jelas di sana.     

Manis, kenapa?     

Kukerutkan keningku sembari menajamkan pandangan. Benar, itu adalah memar. Dan itu bukan jenis memar seperti terjatuh, tapi luka memar yang lebih mirip seperti terkena benda tumpul. Apa Manis habis kejatuhan sesuatu? Atau dia ndhak sengaja jatuh dan mengenai ujung meja, dan lain sebagainya? Tapi sejatinya aku tahu, jika Manis ndhak seceroboh itu.     

Kemudian memoriku kembali tersentak pada kejadian tadi siang. Tatkala Manis aku tinggalkan. Manis meminta izin kepadaku untuk menemui Rianti, mencoba bicara dari hati ke hati barangkali Rianti mau terbuka, tentang siapa pemuda yang telah memperkosanya.     

Duh Gusti, kenapa pikiranku menjadi macam-macam seperti ini? Kenapa aku merasa luka ini didapat Manis setelah dia berada di kamar Rianti? Jika benar hal itulah yang terjadi, maka aku akan membuat perhitungan kepada Rianti.     

Aku pun mengambil posisi duduk, mengangkat kendi yang ada di samping dipanku hendak kutuangkan di dalam mug. Namun nyatanya, air dalam kendi itu habis. Mungkin, Bulik Sari lupa untuk mengisinya tadi.     

Sembari menghela napas panjang, aku bawa kendi kosong itu. Hendak ke dapur untuk mengisi ulang kendiku itu. Namun langkahku terhenti, tatkala aku melihat sosok Biung, tengah duduk sendiri, sembari menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebal. Dia duduk, di kursi goyang ditelah dibelikan Romo Nathan untuknya beberapa waktu yang lalu.     

Aku pun melangkah, melihat sosok ayu (cantik) itu tampak melamun. Rambut hitamnya yang panjang tampak terurai menjuntai, tapi ditaruh jadi satu di sisi pundak kanannya. Sembari dielus, rambut lurus itu tampak begitu indah sempurna.     

"Biung...," sapaku, kemudian aku mengitari kursi rajutan penjalin berwarna cokelat yang ada di sisi kanan Biung, menaruh kendiku lalu aku duduk. Biung yang sedari tadi melamun pun tampak mengerjapakan matanya, kemudian dia memandangku dengan senyuman hangatnya. Aku bisa menangkap dengan jelas, mata Biung tampak nanar. Mata indah Biung tampak berkaca-kaca. Dan aku pasti tahu, sebabnya apa. "Belum tidur? Ini sudah tengah malam, lho. Udara malam di luar ndhak baik untuk Biung," kubilang lagi.     

Sejenak Biung terdiam, sembari menghela napasnya panjang. Ada rasa sesak yang seolah ingin dia tata, dan ada rasa sedih yang ia harapkan untuk sirna. Hingga akhirnya, dia menjawab, "Biung belum ngantuk, Nak. Biung masih mau di sini."     

Setelah mengatakan itu, aku dan Biung kembali terdiam. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing dalam keheningan, hanya terdengar suara jangkrik-jangkrik yang mengerik, atau suara katak yang sesekali terdengar mengorek. Untuk selebihnya, semilir angin yang menggoyangkan dedaunan tampak lamat-lamat terdengar sebagai lantunan alam yang sangat menyedihkan.     

"Tadi Biung menemui adikmu, kamu tahu, toh?" kata Biung yang akhirnya membuka suara. Aku mengangguk seperlunya, sebab benar aku tahu jikalau tadi Biung sedang masuk ke dalam kamar Rianti.     

"Sepertinya Rianti sudah ndhak marah sama Biung, aku ndhak mendengar keributan apa pun tatkala Biung ada di dalam. Ndhak ada perang bharatayudha, toh?" godaku padanya. Biung tampak tersenyum.     

"Kami melakukan percakapan yang cukup rumit. Kamu tahu, Juna. Hubungan antara Biung, dan anak perempuannya adalah hubungan yang paling emosional melebihi orang-orang kira. Bahkan, banyak kata yang ndhak bisa terucap, namun batin telah bisa menangkap, ada paham yang coba kami ingin pahami," Biung tampak kembali diam, seolah tengah menerawang. Aku sendiri pun ndhak tahu, bagaimana hubungan anak perempuan beserta dengan biungnya. Sebab yang aku tahu hanyalah, kalau anak perempuan cenderung dekat dengan romonya, dan anak laki-laki cenderung dekat dengan biungnya. Meski aku sendiri ragu, jika itu nyata, atau hanya mitos belaka.     

"Biung tahu sejatinya Rianti memiliki sifat yang didominasi oleh sifat romonya. Selalu memandang benar adalah kebenaran, dan salah adalah kesalahan yang ndhak bisa untuk mendapatkan ampunan. Namun demikian, pemahannya perihal bibit, bebet, bobot terlebih tentang apa-apa perkara darah biru, dan aturan-aturan ketat dari kediaman Juragan benar-benar mempengaruhi sebagian besar pola pikirnya. Sehingga tatkala dia mengetahui seuatu di luar harapannya dia akan meletup-letup seperti ini. Mungkin sebelum tahu perkara masa lalu Biung, Rianti berpikir jika Biung adalah sosok Biung sempurna untuk panutannya selama ini. Namun nyatanya dia keliru, sehingga rasa kecewa, dan sakit hati menyelimuti hatinya dengan sangat sempurna," Biung kembali terdiam, kemudian dia memandang ke arahku. "Aku sama sekali ndhak masalah, kalau Rianti akan membenciku karena masa laluku itu. Namun jika dia membencimu, itu adalah masalah terbesar bagi Biung yang benar-benar sangat mengganggu. Anakku, Arjuna...," kata Biung terhenti, kemudian dia mengelus punggung tanganku dengan lembut. "Aku hanya memiliki kalian, anakku cuma ada dua. Jadi, jika kalian ndhak bisa akur, hal ini benar-benar akan membuat Biung sedih. Biung ingin kalian selalu bersama, hidup berdampingan dengan sangat rukun. Sehingga Biung bisa melepaskan kalian berdua dengan tenang, jika nanti Biung mati."     

"Biung—"     

"Yang Biung kecewakan dari Rianti adalah, perihal hubunganmu dengan Manis. Memang dulu dia sangat marah dan menentang, tatkala tahu jika Manis telah hamil anakmu. Tapi, dia ndhak semarah ini. Tepatnya saat tahu kalau kamu bukan putra dari Kangmas Nathan Hendarmoko. Biung sedih, Arjuna... Biung sedih. Bagaimana bisa Biung memiliki seorang putri berpikiran picik seperti ini? Bahkan selama ini, dalam pengajaranku dan romomu, kami ndhak pernah sama sekali mendidik Rianti untuk tumbuh dan memiliki pemikiran sepicik ini. Biung ndhak mau, kalau putra Biung, kalau kangmasnya terus direndahkan dan dihina-hina seperti ini oleh Rianti. Biung sakit hati,"     

"Biung ndhak usah cemas, ya," kataku pada akhirnya. Raut wajah sedih Biung tampak begitu kentara, dan itu benar-benar membuatku terusik juga. Bagaimanapun, Biung adalah orang yang benar-benar ingin kujaga. Baik keselematannya, juga kebahagiaannya. Ndhak akan pernah kubiarkan orang-orang ndhak bertanggung jawab sampai membuatnya bersedih seperti ini. Termasuk itu adikku sendiri. "Aku ini ndhak apa-apa. Apa pun yang dikatakan Rianti juga adalah kenyataan. Dan memang kenapa, toh? Aku bangga menjadi anak dari Romo Adrian, aku bangga menjadi buah hati kalian, aku bangga telah lahir ke dunia ini menjadi lambang cinta dari kalian. Umpama aku ndhak ada, maka di mana lagi Biung bisa melihat Romo Adrian? Bagaimana lagi Biung bisa mengenang kalau dulu, pernah ada laki-laki gagah berani yang mencintai Biung dengan segila itu? Bagaimana lagi Biung bisa mengenang atas cinta sejati, dan perjuangan kalian selama ini. Iya, toh? Makanya, aku sangat bangga, Biung. Ibarat kata aku ini sebuah prasasti, meski ndhak abadi seendhaknya aku bisa membuat Biung barang sejenak bernostalgia, tatkala merasa pertama kali jatuh cinta, oleh sosok yang benar-benar Biung damba."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.