JURAGAN ARJUNA

BAB 258



BAB 258

"Jadi sebentar lagi kita benar-benar bisa kembali ke Kemuning, Juragan?" tanya Suwoto, yang saat ini kami sedang berada di ruang tamu. Dia tampak sibuk dengan daun tembakaunya yang kering, yang hendak ia buat menjadi rokok-rokok khasnya sendiri.     

Aku mengangguk menjawabi ucapannya. Kata Manis seperti itu, jika dihitung-hitung, itu berarti ndhak lama lagi dia akan menyelesaikan skripsinya, untuk kemudian dia sudah ndhak ada tanggungan dan tinggal menunggu beberapa hal yang harus diselesaikan.     

"Kita harus segera kembali ke Kemuning, kalau endhak lama-lama Paklik Sobirin, dan Paklik Junet yang akan menjadi Juragan, aku ndhak mau mereka mengacaukan segalanya."     

Suwoto tampak tersenyum mendengar ucapanku itu, tapi aku ndhak begitu mempedulikannya. Padahal, sebenarnya bukan karena itu. Tapi semata-mata aku memang rindu dengan kampung halamanku.     

"Tapi urusan di sini bagaimana, Juragan? Sudah bisa dilepaskan?" tanyanya kini dengan mimik wajah serius.     

"Seminggu sekali atau dua minggu sekali aku akan ke sini, Suwoto. Sementara untuk hal-hal yang lain bisa dikerjakan oleh Ucup. Lagi pula, ada beberapa kawan Romo yang mau membantu. Jadi, sepertinya bisa berjalan tanpa aku harus memantaunya selalu," jawabku.     

Aku dan Suwoto langsung menoleh, tatkala Manis datang sambil membawakan minuman serta makanan ringan. Kukedipkan mataku nakal kepadanya, membuatnya tersenyum simpul. Aku jadi ingat, bagaimana kegiatan panas kami di tepi jalan beberapa waktu yang lalu.     

"Oh ya, Paklik, bagaimana kabar Romo, dan Biung? Dan kabar Ningrum? Apakah semua baik-baik saja?" tanyanya, duduk di sampingku sambil memeluk nampannya itu.     

"Semuanya baik, Ndoro. Semuanya sehat. Cuma ya itu, sepertinya Ndoro Larasati kesepian. Meski ada Sari, dan Amah tetap saja yang ada di mulutnya adalah anak-anak beserta menantunya. Maklum, seorang Biung, sejauh mana anaknya pergi pasti akan selalu dirindu sepanjang waktu."     

Benar apa yang dikatakan oleh Suwoto. Sejatinya, orangtua semuanya akan seperti itu. Bukan hanya kali ini, akan tetapi setiap kali aku atau Rianti pergi. Bahkan dulu, tatkala aku, atau Rianti kuliah pun, mereka selalu rindu. Ah, dasar orangtua ini.     

"Kalau Ningrum, apakah kawan-kawannya masih suka melakukan kenakalan kepada dirinya?"     

"Sudah endhak, Juragan. Malah-malah, beberapa hari setelah Juragan kembali ke Jakarta, ke lima anak nakal itu bertandang ke rumah Juragan yang ada di Purwokerto, mereka meminta maaf sembari menangis, Juragan. Sebab mereka merasa salah paham kepada Ndoro Ningrum, juga berterimakasih kepada Juragan karena ndhak dikeluarkan dari sekolah. Dan setelah itu juga, mereka sudah ndhak mengganggu lagi. Katanya ndhak mau kalau sampai membuat Juragan marah," jawabnya.     

"Paklik, katanya dia ini ke sekolah membuat heboh satu sekolahan. Iya, toh?" tanya Manis memotong pembicaraanku dan Suwoto. Duh Gusti, tahu dari mana perempuan ini. Apakah dia cemburu?     

"Oh... itu... itu...," kata Suwoto terbata, dia kemudian memandang ke arahku mencoba untuk meminta bantuanku. Aku hanya mengangkat kedua bahuku, sebab aku ndhak tahu apa yang harus Suwoto jawabkan itu. Toh saat aku berada di sana, Suwoto sama sekali ndhak ada. "Itu... saya ndhak tahu, Ndoro. Kan, saya berada di sini, toh, menemani Ndoro Manis," jawabnya kemudian.     

Aku langsung tersenyum kemudian memandang wajah Manis yang agaknya tampak berpikir keras. Sepertinya, dia mulai ndhak percaya denganku. Atau memang ini adalah salah satu sikap siaganya dia karena setelah kejadian Widuri dulu?     

"Lagi pula, kamu dengar itu dari mana, toh, Ndhuk? Kok ya ada-ada saja."     

"Ya menebak saja, siapa tahu benar," jawabnya.     

"Ndhak ada yang berani menggoda suami dari Ndoro Manis. Sudah, percaya?"     

"Cih, ndhak sama sekali," jawabnya lagi.     

Suwoto hanya tersenyum saja, kemudian dia memilih sibuk dengan tembakaunya. Sementara aku sudah sibuk dengan mendoan yang ada di atas meja.     

"Sudah-sudah, ndhak usah dibahas yang endhak-endhak. Sini, ayo makan berdua, biar romantis," kubilang. "Ini mendoan siapa yang menggoreng?"     

"Tadi aku beli di depan, Kangmas. Kok ya jarang benar ada yang jual mendoan. Di seberang jalan itu, adalah rumah dari seorang Bulik, yang katanya berasal dari Solo. Dia merantau ke sini bersama suami, dan dia menjual gorengan ini,"     

"Oh, pantas saja," kubilang, dia menarik sebelah alisnya, bingung.     

"Pantas kenapa?"     

"Pantas ndhak seperti buatanmu. Enak buatan istriku mendoannya."     

Manis langsung mengulum senyum, kemudian dia menepuk bahuku beberapa kali. Setelah menyelipkan anak rambutnya, dia langsung menunduk.     

"Lagi malas masak, Kangmas...," katanya kemudian, aku mengangguk saja. Sebab mengurusi rumah ini sendiri, ditambah dia harus kuliah dan mengerjakan banyak tugas lainnya, bukanlah perkara yang mudah. Sebenarnya, aku ingin memberinya barang dua abdi dari kampung. Tapi, Manis bersikeras ndhak mau. "Mungkin karena terlalu banyak tugas, jadi malas benar mau mengerjakan apa pun. Malah-malah untuk makan pun ndhak nafsu,"     

Kutarik Manis ke dalam dekapanku, kemudian kuelus punggung kecilnya itu. Beberapa hari terakhir, memang aku melihat Manis tampak pucat, tampak murung. Terlalu sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya.     

"Apakah skripsimu seberat itu, Sayang?" tanyaku pada akhirnya. Aku ingin membantu, tapi aku sendiri ndhak tahu bagaimana caraku membantu. Sebab bagaimanapun, aku bukanlah seorang dari jurusan kedokteran. Aku ndhak begitu paham dengan jurusan itu.     

"Lumayan, Kangmas," jawabnya lemah. Bahkan, aku sudah lupa kalau di sampingku masih ada Suwoto.     

"Padahal setiap hari sudah kubantu," kubilang.     

Manis langsung memandangku dengan dahi berkerutnya itu, kemudian dia bertanya, "bantu apa, Kangmas?"     

"Bantu doa,�� jawabku enteng. Dia langsung memukul lenganku, kemudian mendorong tubuhku untuk menjauh. Tapi, aku menahannya agar tetap berada dalam pelukanku. "Ndhak pengen tak pijitin?" tawarku.     

Manis mengangguk, sembari menunjuk leher dan pundaknya. "Ini, Kangmas, sakit semua. Pegel-pegel."     

"Suwoto, aku ke kamar dulu, ya. Nanti kalau kamu mengantuk, pergilah tidur. Besok kamu mau kuajak untuk mengunjungi lokasi. Paham?"     

"Siap, Juragan,"     

Aku pun langsung menuntun Manis untuk masuk ke dalam kamar, kemudian mengambil minyak urut. Menuntunnya untuk mengambil posisi senyamannya, kemudian mulai mengurut tubuhnya. Tubuh sekecil ini, harus menerima banyak benar kegiatan setiap hari, pasti hal itu sangat melelahkan.     

"Kangmas...."     

"Hm?"     

"Apa Kangmas ndhak merasa malu, karena Kangmas seorang Juragan tapi sudi memijat istrinya seperti ini?" tanyanya.     

"Kenapa? Ada yang salah? Ada masalah dengan memijat istriku sendiri?" tanyaku. Manis tampak diam. "Kamu tahu, Ndhuk, seorang suami melayani istrinya bak ratu adalah suatu keharusan. Memuliakan istri adalah suatu tanggung jawab yang harus diemban. Seorang istri, bahkan dengan suka rela keluar dari rumah keluarganya, dengan suka rela mengurus suami, melayani dari semua aspek. Lantas, hanya memijat seperti ini saja ndhak boleh? Wah, itu adalah pikiran yang dangkal. Malah-malah, seharusnya aku mencium kakimu pun ndhak akan menjadi sebuah perkara, Ndhuk."     

Tapi sekarang, Manis ndhak menjawabi ucapanku. Tatkala kulihat, ternyata matanya sudah terlelap. Manis sudah tidur, pasti dia benar-benar kelelahan karena aktifitasnya yang sangat padat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.