JURAGAN ARJUNA

BAB 398



BAB 398

0 "Para pencuri yang ndhak tahu malu," Romo Nathan bersuara, sambil mengikat kedua tangannya di belakang punggung, dia pun berjalan menampakkan diri pada orang-orang yang tampak sedang menaruh tumpukan karung di tengah hutan.     
0

Orang-orang tersebut tampak terkejut, tapi belum sempat mereka pergi, orang-orang Suwoto sudah menutup semua jalan pergi, mereka melingkar dengan ketat mengerumuni para pencuri itu.     

Aku tersenyum, terlebih saat mereka tampak terkejut luar biasa. Satu tangan dari pencuri itu seolah hendak memberikan pesan kepada orang-orang yang ada di gudang dan orang-orang yang hendak membawa karung-karung ini ke Jawa Timur.     

Suwoto langsung muncul di balik temaram yang cukup pekat, kemudian dia tampak memandang pada pencuri itu satu persatu.     

Sementara mataku, memandang ke arah dua abdi dalem yang telah menyamar ke kediamanku itu. Abdi dalem berengsek yang ndhak tahu malu.     

"Apa kamu pikir, kami cukup bodoh, untuk sekadar ndhak mengenali kalian yang diam-diam menyusup di tempat kami?" tanyaku, mendekat ke tempat abdi dalem itu berdiri kemudian kurobek pakaian yang melekat di tubuhnya. Aku merasa jijik, aku merasa dia benar-benar ndhak pantas untuk sekadar memakai pakaian abdi dalem dari keluarga kami. Sebab ndhak akan ada satu pun, abdi dalem dari keluarga Hendarmoko yang mampu berkhianat seperti mereka.     

"Katakan, siapa yang menyuruh kalian mencuri? Dan tunjukkan di mana orang-orang yang akan membawa karung-karung ini? Ck! Memangnya kamu pikir, ini karung-karung Nenek Moyang kalian, apa? Sampai kalian penuh percaya diri mengambil karung-karung bahan makanan kami. Ck! Bawahan dan atasan sama-sama orang yang ndhak ada gunanya."     

"Ampuni kami, Juragan, ampuni kami! Maafkan kami, kamu benar-benar ndhak sengaja dan khilaf melakukan semua ini, Juragan! Tolong, ampunilah kami! Kami hanya seorang abdi yang hanya bisa menerima perintah tanpa bisa menolaknya, Juragan!"     

Suara itu terdengar menyakitkan, tapi aku bisa melihat jika mata mereka tampak sama sekali ndhak ada penyesalan. Memangnya mereka pikir, kami ini siapa, sampai mereka bisa berwajah seperti itu dan mempermainkan keluarga kami dengan mudahnya. Aku ndhak akan pernah memaafkan siapa pun yang telah menyakiti keluargaku, abdiku, juga rakyatku. Sampai kapan pun itu!     

"Bunuh mereka semua dan sisakan satu, gantilah pakaian kalian dengan pakaian mereka, dan ikuti satu orang yang akan menunjukkan ke mana karung-karung itu akan pergi!" perintahku.     

Paklik Sobirin langsung memandang ke arahku kaget, kemudian dia mendekat. "Juragan, apa yang Juragan katakan? Membunuh mereka semua? Kita bisa menggunakan cara lain dari pada harus membunuh mereka, Juragan!" kata Paklik Sobirin.     

Aku melirik kea rah para pencuri itu, tampak jelas di sudut matanya jika dia sedang tersenyum mengejek. Seolah keputusanku ini dan pertentangan yang dibuat oleh paklik Sobirin adalah hal yang sangat mereka tunggu kedatangannya. Dasar berengsek, memang. Aku ndhak akan pernah melepaskan mereka sampai kapan pun itu! Mereka ndhak akan pernah kubiarkan tinggal diam sampai kapan pun itu!     

"Kalau Paklik Sobirin keberatan, Paklik Sobirin boleh ikut dengan Bima ke gudang. Dan berhentilah menghalangi apa yang aku lakukan sebab aku adalah Juragan di sini!" marahku.     

Aku langsung mengambil parang dari salah seorang pencuri itu, kemudian kudekatkan kepada salah satu penyusup yang menyamar sebagai abdi dalem di rumahku. Kuiris sedikit lehernya, hingga berdarah, dan setelah itu mereka baru merasa ketakutan kemudian bersimpuh lagi. Mimik wajahnya, kini tampak pucat pasi, dan kurasa mimik wajah ketakutannya sudah terlalu terlambat untuk dia tampilkan di depanku. Memangnya mereka pikir, mereka itu siapa? Sampai-sampai mereka cukup punya nyali untuk ndhak menghargai keluargaku sebagai keluarga besar Hendarmoko. Apa mereka pikir, senyum mengejek mereka tadi adalah karena mereka pikir kami ndhak mungkin tega untuk menghabisi nyawa mereka? Mereka, telah salah total karenanya.     

Jrep!!!     

"Juragan!"     

Satu penyusup itu langsung tergeletak saat kusabet lehernya dengan parah itu, untuk kemudian kulempar parang itu di dekat mayatnya. Semua orang, bukan hanya para pencuri itu, melainkan para abdi dalem di rumahku tampak terkejut kemudian mereka memekik, dan mundur dengan teratur.     

Dan Romo hanya diam, dia ndhak melarangku pun ndhak mengatakan apa-apa, dia benar-benar hanya diam di tempatnya.     

"Lanjutkan Suwoto, aku mau ke gudang dulu. Dan tahan dulu karung-karung ini di sini, aku akan segera kembali untuk ikut pura-pura menjadi salah satu pencuri itu, karena aku ingin melihat wajah orang ndhak tahu diri itu langsung. Aku ndhak sabar untuk meluhat wajah pengecutnya ketakutan, atau malah meregang nyawa untuk terakhir kalinya," putusku pada akhirnya.     

Suwoto lantas mengangguk, membuatku langsung berjalan ke arah gudang. Romo Nathan berjalan di belakangku, kemudian langkahnya semakin cepat, dan dia menepuk pundakku.     

"Aku tahu kamu memiliki alasan sampai membuat keputusan seperti itu," kata Romo Nathan, kami akhirnya berhenti, untuk kemudian dia meraih tangan kananku yang kini sedang bergetar hebat.     

"Karena aku melihat, ada tawa penuh ejekan yang tampak sangat jelas dari sudut bibir dua abdi dalem penyusup itu Romo. Seolah-olah, mereka mengejek keluarga besar Hendarmoko ndhak akan pernah memiliki keberanian untuk menghabisi nyawa mereka. Memangnya mereka siapa? Hanya karena kita memiliki welas-asih dan maaf, lantas mereka pikir kita bisa saja dibodoh-bodohi oleh mereka? Endhak, Romo… aku harus menunjukkan kepada mereka siapa kita. Dan aku ingin memberikan hukuman jera kepada mereka, kalau kita bukanlah orang bodoh yang bisa dibodohi oleh mereka. Dan saat salah satu pencuri yang masih hidup nanti mengadu kepada Sujiwo, biar Sujiwo tahu siapa kita yang sebenarnya. Kita bukanlah musuh yanh bisa dia bodohi sampai ada abdi menyusup pun kita ndhak tahu, tapi kita akan buat gentar mereka, karena anak buahnya sudah tewas di tangan kita. Aku, sudah ndhak sabar melihat ekspresinya, Romo. Dan aku sudah lelah terus-terusan merawat dendam yang seharusnya sudah lama hilang ini."     

Romo Nathan pun mengangguk mendengar ucapanku, kemudian dia menghela napas panjang. "Kamu benar, Romo juga bisa melihat dengan jelas bagaimana tadi mereka tampak seolah menantang kita. Dan Romo akan menghormati setiap keputusanmu," dia bilang, aku menoleh dengan mata nanarku. Padahal aku takut jika aku salah, tanganku ini bahkan bergetar karena telah menebas leher orang sampai mati. Tapi, aku ndhak boleh untuk ndhak tegar. Aku harus bisa menjadi seorang Juragan yang tegas agar ditakuti dan ndhak diremehkan seperti tadi. "Ck! Hanya membunuh tikus-tikus jelek itu, toh? Ndhak usah merasa bersalah dan berdosa. Mereka memang hidup untuk mati di tangan kita. Salah sendiri mereka jadi abdi dalem dari Sujiwo, iya toh?" lanjut Romo yang seolah-olah dia hendak menghiburku. Aku mengangguk saja, kemudian aku mengikuti langkahnya yang sudah berjalan mendahuluiku. Menuju ke arah gudang penyimpanan bahan makanan keluarga kami. Dan di sana, semuanya akan terbongkar, siapa gerangan orang di balik semua ini yang mengetahui seluk-beluk keluarga kami.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.