JURAGAN ARJUNA

BAB 400



BAB 400

0 Jrep!!!     
0

"Juragan!"     

"Kangmas!"     

"Arjuna!"     

Semua teriakan itu berdengung di telingaku, terlebih saat darah yang mengucur dari leher Mbah Seno muncrat dengan sempurna dan mengenai wajahku. Kepala itu langsung terputus seketika, dan sosok di belakangnya perlahan lenyap. Tubuh rentah Mbah Seno langgsung terkapar, dia tampak kejang-kejang kemudian diam untuk selama-lamanya.     

Dan perasaan perasaan campur aduk kini mulai menggerogoti hatiku. Tatkala aku melihat mayat di depanku kini mati dengan cara yang sangat mengenaskan. Parang yang kubawa langsung terjatuh begitu saja. Tanganku pun terasa bergetar hebat. Tapi, aku ndhak mau nemampakkan hal ini kepada semua orang. Aku harus pura-pura jika ini akan menjadi baik-baik saja, dan aku akan menjadi sosok dingin yang ndhak tersentuh siapa pun. Mereka ndhak boleh melihat takutnya aku, mereka ndhak boleh melihat sakitnya aku. Cukup diriku sendiri saja, dan yang lainnya semoga ndhak mengerti akan ketakutan yang ada di dalam diriku.     

"Marno, kamu urus jasad dari Mbah Seno dan kuburkan dia secara layak," perintahku pada akhirnya.     

Semua orang di sana tampak diam, bahkan Marno dan beberapa kawannya menuruti perintahku tanpa mengatakan apa pun. Hening, benar-benar terasa hening, bahkan sampai suara nyamuk pun sekarang tertdengar dengan sangat lancang.     

Aku kemudian membalikkan badanku, mataku tiba-tiba terasa panas. Endhak, aku ndhak boleh menangis sekarang, aku ndhak boleh merasa lemah sekarang. Sebab kalau sampai itu terjadi, maka semuanya akan repot. Semuanya pasti akan mengataiku sebagai manusia lemah, dan hal itu pula yang akan menjadi kebahagiaan sendiri untuk Sujiwo.     

Mbah Seno, kenapa aku menjadi teringat hal-hal yang lalu. Saat pertama kali aku dan Abimanyu datang ke rumahnya untuk mencari burung yang Abimanyu minta untukku. Di sana, Mbah Seno hidup sendirian, dia dan di rumah tua itu, sedang membenahi sepeda ontelnya, sambil bertelanjang dada. Wajahnya yang sudah tampak lelah dan tua itu, masih saja memaksakan seulas senyum hangat, membuat hatiku bergetar. Siapa gerangan orang ramah ini? bagaimana bisa dia tampak hidup sendiri di gubugnya yang sederhana ini. kemudian dengan tanganku pula, aku menyuruhnya untuk tinggal di rumah sebagai seorang abdi dalem. Dengan memberikannya pekerjaan ringan, dan agar dia bisa hidup ramai-ramai dan ndhak kesepian lagi. Kini, lagi-lagi dengan kedua tanganku sendirilah, aku kembali bertindak sangat egois dan ceroboh. Aku telah mencabut nyawanya sesuai takdir yang aku kehendaki sendiri.     

Kenapa, Gusti... kenapa? Kenapa aku menjadi orang yang beringas seperti ini? kenapa aku ndhak sekali saja untuk berpikir, barangkali ada cara lain yang bisa kami tempuh untuk menyelesaikan masalah ini. Kenapa, Gusti... kenapa? Kenapa aku harus memakai cara yang keji seperti ini? Aku bukan Engkau, sang pembuat kehidupan dan kematian. Aku hanyalah manusia biasa yang bahkan hidup pun dengan belas kasihan dariMU. Tapi kenapa, Gusti... kenapa aku bertinda seolah-olah jika aku ini adalah engkau?     

Aku langsung menyenderkan wajahku di sebuah pohon besar saat aku sudah berada di luar gudang penyimpanan bahan makanan itu. Aku memuntahkan semua ari mataku sebanyak yang aku bisa mumpung di sini adalah tempat yang cukup gelap dan ndhak ada orang yang tahu. Agar seendhaknya, ndhak perlu ada yang tahu tentang sedihnya aku, tentang pilunya aku, dan tentang semua yang menyedihkan dariku. Sebab aku harus menjadi sosok Juragan Arjuna yang tegar dan ndhak kenal ampun.     

"Arjuna," Romo Nathan menepuk bahuku, membuatku menghentikan isakanku, dan kuusap wajahnya dengan punggung tangan. Aku kini menundukkan kepalaku, untuk sesaat namun kuiringkan kembali wajahku menatap ke arah Romo Nathan. "Menangis bukan melambangkan sebuah kelamahan. Tapi ada kalanya menangis, untuk menunjukkan jika hati ada kalanya perlu istirahat sejenak untuk berpura-pura menjadi tegar."     

Mendengar hal itu, aku langsung membalikkan badanku. Kupeluk Romo Nathan erat-erat kemudian tangisanku kembali terpecah. Hanya di depan sosok inilah aku berani menunjukkan sisi lemahku, hanya di depan sosok inilah aku berani menjadi diriku sendiri. Romo, tampak menepuk-nepuk bahuku dengan lembut. Untuk kemudian, kurasakan embusan napas pelannya.     

"Jujur, untuk kasus Mbah Seno, Romo juga ndhak begitu setuju dengan apa yang kamu lakukan. Romo rasa, menebas leher Mbah Seno yang bahkan kita sendiri pun ndhak tahu aslinya kebenarannya seperti apa adalah suatu tindakan yang sangat gegabah. Namun demikian, Arjuna, apa yang menjadi keputusanmu adalah tanggung jawab bersama. Kamu adalah Juragan di kampung ini, dan itu artinya kalau kita harus mengambil keputusan bersama beserta menanggung semua ini bersama. Jika ini yang menurutmu jalan terbaik, Romo akan mendukungmu dengan sepenuh hati. Agar semuanya bisa diatasi dengan mudah dan lekas selesai. Sebab Romo rasa pun, dengan pura-pura dan terus melangkah secara pelan dan hati-hati semuanya ndhak akan pernah selesai. Yang ada, masalah ini akan terus berlarut dan ndhak akan pernah selesai-selesai. Dan jika sudah berada di titik seperti ini, bukankah semuanya menjadi lebih mudah dan baik? Kita bisa melawan mereka secara langsung, agar kita bisa menentukan siapa yang baik dan siapa yang ndhak baik di sini. Sebab seolah yang salah, harus mendapatkan hukuman adalah hal yang sudah harus menjadi sebuah kewajaran. Dan untuk perkara Mbah Seno...," ucapan Romo Nathan agaknya terhenti, dia tampak menghela napas panjang kemudian dia kembali memandang ke arahku. "Sebenarnya, sudah dari lama Mbah Seno sering mengeluh secara pribadi kepadaku. Jika selama ini semenjak ada masalah antara kita dan Sujiwo, Mbah Seno tampak ndhak seperti dirinya. Dia kadang-kadang melakukan suatu hal di luar batas nalar atau malah melakukan sesuatu yang dia sendiri ndhak menyadarinya. Wajah Mbah Seno pun tiap hari wajahnya kian berubah. Tampak lebih lesu, pucat dan tampak suram. Dan setiap dia mengadu kepadaku tentang apa yang dia ketahui tentang rencana-rencana dari antek-antek Sujiwo itu, aku bisa melihat kalau Mbah Seno sudah bukan seperti dirinya sendiri. Dia sering bicara sendiri dan kadang mengatakan hal-hal aneh lainnya. Dan kamu tahu, hal apa yang dia katakan kepadaku sebelum kejadian ini?" ucap Romo Nathan. Aku hanya diam, memandang Romo Nathan dengan tatapan penasaranku. "Dia bilang kalau dia sudah lelah.menjalani semua ini. Karena dia merasa jika telah ada roh jahat yang bersemayam pada dirinya. Itulah sebabnya, kenapa aku mengadakan sidang beberapa waktu lalu. Karena sebenarnya aku tahu, sosok yang mengintip itu adalah sebenarnya Mbah Seno yang sudah ndhak sadar dengan apa yang telah dia lakukan. Dan di saat dia ndhak sadar, dia bilang kalau dia bermimpi, sedang tidur di tengah hutan yang sangat asing dan mecengkam. Sepertinya, dia sendiri juga merasa kalau mengakhiri hidupnya adalah hal yang dia inginkan agar dia ndhak menderita lagi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.