JURAGAN ARJUNA

BAB 401



BAB 401

0 "Sekarang, kita sudah ndhak punya waktu lagi, Arjuna. Kita harus menyusul Suwoto untuk mengakhiri hal ini dengan Sujiwo yang ndhak tahu diri itu. Setelah mengembalikan bahan makanan kita. Kita harus bisa menangkap orang-orang curut satu ini, atau bahkan menghilangkan dia di dunia ini," Romo Nathan, agaknya cukup geram dengan Sujiwo. Mungkin itu sebabnya yang membuat dia marah sekali kali ini. Telah mengorbankan orang-orang yang ndhak berdosa untuk tujuan busuk mereka.     
0

Aku yang tubuhku masih benar-benar terguncang, agaknya masih bingung untuk melakukan apa. Sampai saat Bima menepuk bahuku untuk kemudian dia tersenyum.     

"Kangmas tidak apa-apa, kan? Tenanglah, meski keputusan Kangmas menghabisi nyawa Mbah Seno adalah hal yang sangat mengejutkan banyak orang. Akan tetapi, aku selaku adik iparmu tidak pernah menyalahkanmu tentang ini. Sebab, kalau kita tidak melakukan tindakan apa pun, dan berpikir untuk melindungi semua orang yang ada di sini itu tidak mungkin terjadi kan? Mungkin, pengorbanan Mbah Seno memang harus terjadi untuk tujuan mulia ini,"'     

Lihatlah Bima, dia pandai benar untuk membangkitkan suasana. Di saat aku benar-benar hancur dan terpuruk. Dia masih berusaha untuk menenangkanku. Kulihat Paklik Sobirin pun tampak tersenyum, dan orang-orang lainnya semua mendukungku. Mungkin, mereka ingin mengatakan jika aku harus bisa bangkit, aku harus bisa melawan rasa takut akan apa yang baru saja telah aku rasakan sekarang.     

"Sekarang, ayo kita menyusul Suwoto. Jaga diri kalian baik-baik, karena aku tahu ini ndhak akan pernah mudah. Untuk Romo, pulanglah saja. Tunggu kami pulang. Jawa Timur bukanlah tempat yang dekat. Terlebih kondisi Romo sudah tua. Jaga Biung dan orang-orang yang ada di rumah, karena takutnya, diam-diam mereka menyerang rumah dan akan malah berdampak buruk untuk kita semua."     

"Kali ini, aku akan menurut dengan anak-anak muda. Jadi, kalian harus janji kepada Romo. Kalian harus pulang dengan selamat. Masalah bahan makanan yang sudah ada di sana ndhak usah pedulikan. Yang penting tujuan kalian satu, yaitu untuk memukul mundur Sujiwo dan antek-anteknya untuk ndhak berulah lagi di sini," nasihat Romo, tentunya akan selalu menjadi nasihat yang selalu memotifasiku. Aku pasti akan melakukan apa yang Romo katakan. Toh soal bahan makanan, nanti kita akan bisa kumpulkan lagi. Yang terpenting sekarang adalah, kita harus bisa menumpas akar dari permasalahan ini biar ndhak ada yang berlarut-larut lagi.     

"Aku dan Bima pasti akan pulang dengan selamat, Romo."     

"Kami pamit, Romo," kata Bima kemudian.     

Sebelum aku berangkat aku menghentikan langkahku. Romo pun di rumah ndhak boleh sendiri seperti ini. Harus ada yang menemani.     

"Paklik Sobirin dan Paklik Junet, tinggallah di sini untuk menjaga Romo. Lakukan apa pun yang kalian bisa selagi kalian ada di sini. Dan kumpulkan seluruh warga kampong untuk berjaga-jaga di setiap titik rumah. Bunyikan kentungan jika ada sesuatu yang aneh datang. Ingat, mala mini ndhak ada yang boleh tidur di dipan. Semuanya tidur di bawah, dan kalau bisa berjagalah sampai melewati jam 03.00 pagi. Setelah itu kalian boleh tidur sesuka hati kalian. Sebab, ilmu yang dilakukan oleh Sujiwo itu bukan hanya sekadar ilmu kasar yang bisa dilihat oleh mata. Kalian sudah melihat Mbah Seno, toh. Ilmu-ilmu hitam seperti itu yang sejatinya sangat berbahaya dan sangat mematikan. Ndhak bisa dilihat oleh mata, tapi hasilnya sangat nyata. Dan aku harap kalian juga bisa bertahan hidup dengan aman dan selamat," kubilang. Dan semoga, anak dan istriku yang ada di Purwokerto juga. Sungguh, aku ndhak tahu apa yang harus kulakukan untuk melindungi mereka. Tapi harapanku hanya satu, mereka bisa aman dan baik-baik saja apa pun yang terjadi. Terlebih, Manis sudah kuberi pusaka yang dulu telah dimiliki oleh Romo. Dan aku percaya, dengan dia memegang pusaka itu maka semuanya akan baik-baik saja. Ya, aku percaya jika semuanya akan baik-baik saja. Dan kami bisa berkumpul lagi seperti sedia kala sebagai keluarga yang utuh dan normal sama seperti biasanya.     

Setelah itu, kami pun berpisah. Aku, Bima, dan beberapa abdi lainnya berangkat menuju tempat bahan makanan tadi ditinggal. Untuk kemudian kami ikut ke mobil yang akan membawa kami ke Jawa Timur. Sementara Romo, Paklik Sobirin, dan Paklik Junet kembali ke rumah.     

"Juragan Nathan, Juragan Bima! Kalian harus kembali dengan selamat. Kami janji, kami akan patuh sepatuh-patuhnya kalau Juragan semuanya kembali dengan selamat!" teriak Paklik Sobirin.     

Dasar orangtua satu itu, pandai benar untuk mengaduk-aduk perasaanku. Aku yang rasanya sudah ingin menjerit-jerit dengan perasaan yang sudah ndhak tahu lagi bagaimana ini, malah ingin menangis mendengar teriakan pilu dari Paklik Sobirin.     

"Kangmas, sepertinya Paklik Suwoto sudah menunggu kita di tepi jalan. Kita harus bergegas agar kita pagi bisa sampai di tujuan. Syukur-syukur fajar, atau malah sebelum matahari datang,"     

"Kenapa seperti itu? Entah keburu atau endhak waktunya, yang jelas kita harus mencoba dulu sebelum kita menyerah," putusku.     

"Kalau malam kita sampai di sana, kecil kemungkinan mereka curiga. Lagi pula kalau siang, akan ada para penduduk yang bertanya-tanya, Kangmas. Kecuali kediamannya di tengah hutan dan tidak ada banyak orang. Kangmas tahu sendiri, kan, kalau sekarang ini adalah era modern. Negara kita menganut negara hokum yang kuat dan kental. Bisa saja Kangmas menebas leher Mbah Seno dan tidak takut adanya tuntutan hokum atau semacamnya karena tidak adanya kerabat dan tempat tinggal kita masih sangat tertinggal. Tapi kalau sampai tempat tinggal Sujiwo itu berada di kota dan keramaian, kita akan benar-benar ada dalam bahaya. Tanpa adanya polisi dan lain sebagainya, jika salah satu dari antek-anteknya melapor maka hancurlah karir Kangmas sebagai seorang Juragan paling berpengaruh ini sini. Dan itu benar-benar bukan hal yang baik untuk kelangsungan usaha keluarga kita."     

Apa yang dikatakan Bima adalah benar. Ini adalah negara hokum. Meski pada dasarnya yang salah di sini adalah Sujiwo, tapi aku ndhak memiliki bukti apa pun. Jadi, satu-satunya cara hanyalah, berdoa dan menyelesaikan ini dengan cara baik-baik. Meski aku sendiri ndhak yakin, baik-baik itu masih bisa kami lakukan atau endhak. Atau kalau ndhak begitu, harapanku satu. Dia tinggal di tengah hutan kalau perlu di atas gunung biar aku bisa dengan mudah menghabisinya tanpa perlu berbasa-basi dan sok manis di sana.     

"Kamu benar, Bima. Kita benar-benar harus bertindak hati-hati sekarang. Terlebih, kita sekaranglah yang kesannya menyerang. Dan itu benar-benar ndhak aka baik jika mereka mengadu domba dan memutar balikkan fakta kepada polisi. Meski kita yang merugi dan benar sekalipun, dengan kondisi seperti ini, bisa jadi kita yang akan dipersalahkan karenannya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.