JURAGAN ARJUNA

BAB 403



BAB 403

0 Aku diam sejenak, sepertinya aku bingung akan beberapa hal di sini. Tentang yang namanya Dini, atau Ayu. Tapi aku juga ndhak akan peduli, entah mereka menjadi hamil karena siapa. Karena yang jelas bagiku, mereka bisa sampai didepak dari kediaman keluarga Hendarmoko adalah karena mereka salah. Jika mereka ndhak salah, mungkin saja sampai detik ini mereka akan bisa hidup rukun dan berdampingan dengan Biung. Dan bisa jadi juga Romo Adrian sampai sekarang masih hidup. Atau jika takdir berkehendak lain, seendhaknya aku masih bisa menikmati masa kecilku dengan Romo kandungku sendiri. Tanpa aku harus dibuang ke Jambi sampai usiaku dewasa. Jangankan untuk mengenal kasih sayang dari Romo Adrian, mengenal kasih sayang dari Biung pun hanya bisa kurasakan dalam mimpi. Tatkala aku sakit waktu kecil, di mana anak-anak kecil pasti dirawat dan dikelonin oleh biungnya. Aku… aku harus sendiri, hanya ada Simbah Buyut dan itu pun ndhak lama. Karena beliau meninggal di usia tua. Aku seperti bocah yang kurang kasih sayang karena mereka, orang-orang jahat yang mempora-porandakan keluargaku. Lantas, setelah semua kesakitan dan penderitaan yang aku, dan orangtuaku alami. Mereka masih merasa jika mereka orang baik, dan korban dari semua kebusukan mereka sendiri? Endhak… endhak… Mbah Seno cukup satu-satunya korban yang mati di sini, dan aku ndhak akan pernah rela membiarkan ada korban lagi yang mati karena tingkah busuk dari mereka-mereka yang jahat ini.     
0

"Ternyata memang keluargamu itu busuk sudah sedari tulang-tulangnya," kataku pada akhirnya. Mereka tampak kaget mendengar ucapanku itu, dan seringaian kebencian tampak terlihat nyata.     

Lihatlah Sujiwo dan Simbah Widuri itu, mereka seolah ingin memakanku saat ini juga karena ucapanku tadi. Tapi, siapa yang peduli? Ndhak… aku ndhak peduli sama sekali. Yang aku pedulikan hanyalah, hatiku saat ini sakit, setiap kali aku mengingat kesakitan apa yang pernah aku dan orangtuaku alami dulu.     

"Bukankah kalian berpikir kalau Ayu yang terhormat itu mati karena keluarga Hendarmoko?" kubilang lagi, semuanya tampak mengangguk. "Lantas kenapa kalian ndhak bertanya kepada hati kalian sendiri, apa sebabnya sampai Ayu dan Dini itu mati? Seorang Juragan bernama Adrian, yang sama sekali ndhak mencintai mereka, telah rela harus menerima sebuah pernikahan dan tanggung jawab atas perbuatan yang bahkan sama sekali ndhak dia lakukan, dengan menikahi dua perempuan yang sudah mengandung anak orang lain. Ndhak sampai di situ, tatkala dia telah jatuh hati oleh seorang perempuan, dan dengan egoisnya dua istri yang ndhak tahu diri dan ndhak tahu diuntung karena sudah dinikahi oleh Juragan Adrian ini melarang kisah cinta dua sejoli yang saling jatuh cinta. Mereka, hanya karena ketakutan hartanya mungkin akan habis, atau mereka ndhak ingin berbagi warisan dengan pihak ke tiga. Pihak yang telah dipilih Juragan Adrian sendiri untuk menjadi pendamping hidupnya. Apa kalian pikir semua itu adil? Apa kalian pikir apa yang dilakukan oleh Ayu itu benar? Dia egois, dia jahat sedari awal. Dan setelah itu apa yang dia lakukan dengan Dini itu? Mereka melakukan banyak fitnah-fitnah kejam, mereka menyuruh orang untuk melakukan tindakan menjijikkan, sampai perempuan yang sangat dicintai Juragan Adrian dihukum dan dikucilkan warga kampong dengan cara yang benar-benar ndhak manusiawi sama sekali. Lantas, apa yang membuat kalian berpikir jika keduanya adalah korban? Endhak… mereka adalah penjahatnya, mereka adalah orang jahat yang pura-pura menjadi orang baik. dan setelah semua itu mereka masih menginginkan sebuah pengakuan dari Juragan Adrian? Bahkan, sampai membuat cara kotor yang akhirnya merampas nyawa dari Juragan Adrian sendiri. Padahal sudah jelas, mereka mendapatkan hak yang sepadan sebagai istri-istri dari Juragan Adrian. Dan sekarang, kalian mau membalas dendam, dengan mengirim Widuri kemudian Sujiwo. Aku benar-benar ndhak habis pikir sama sekali dengan kalian ini. yang ada di otak kalian itu apa, toh? Oh, iya… orang jahat mana ada yang paham dengan baik dan benar? Mereka hanya tahu satu hal, apa pun yang mereka lakukan entah itu baik atau endhak, di mata mereka, mereka itu selalu benar. Bukankah itu yang dinamakan picik, busuk?" kupandangi mereka yang tampaknya masih jengkel denganku sekarang.     

"Bahkan… bahkan, seharusnya yang berhak balas dendam itu aku. Gara-gara kalian aku harus terpisah dari orangtuaku. Gara-gara kalian romoku mati. Dan gara-gara kalian aku ndhak bisa merasakan kasih sayang orangtuaku. Aku kehilangan semuanya bahkan saat aku masih bayi merah. Dan kalian masih bilang kalianlah yang korban? Stres kalian!"     

"Diam kalian bedebah! Aku ndhak butuh ceramah kalian dan mengatakan siapa yang benar dan salah di sini! Yang aku inginkan adalah kehancuran dari keluarga Hendarmoko, selebihnya aku ndhak peduli siapa yang salah dan benar di sini!" bentak Sujiwo.     

Rahangku mengeras mendengar ucapannya yang congkak itu. Rasanya aku benar-benar ingin merobek mulutnya saat ini juga. dan untuk kemudian, dia tampak menyeringai, berjalan mendekatiku, kemudian menebas pakaianku dengan tangan kotornya itu.     

"Jangan sentuh pakaianku yang berharga dengan tangan kotormu itu. Bahkan, kamu mendekatiku saja sangat ndhak pantas, bau busuk yang keluar dari tubuhmu benar-benar ndhak bisa ditutupi oleh apa pun itu," dengusku. Sujiwo kembali tersenyum.     

"Bukankah kita ini sama? Kamu busuk, aku juga busuk, kita sama-sama busuk, Arjuna. Oh ya, aku penasaran, bagaimana perasaanmu setelah membunuh abdi kepercayaanmu sendiri? Bukankah itu adalah hal yang sangat menyenangkan?"     

Kedua tanganku mengepal hebat mendengar ucapan dari laki-laki bermuka berengsek ini, aku benci dia… dan aku membenci semua keluarganya. Ndhak ada satu pun dari keluarganya yang memiliki hati baik, mereka semua memiliki peringai busuk yang luar biasa.     

"Bagaimana kalau aku ambil juga nyawa salah satu abdimu yang setia? Seendhaknya agar kita impas," bisikku.     

Sujiwo memandangku dengan garang, dia hendak mencekikku tapi tangannya kucekal dengan cepat. Sementara dukun kepercayaannya itu tampak ketakutan luar biasa.     

Ya, apa yang dia bisa lakukan, memang? Apakah dia akan duduk dan menggunakan mantra ndhak bergunannya itu untuk membunuh kami semua? Bahkan, golok-golok yang kami bawa jauh lebih cepat untuk sekadar menebas lehernya dengan sangat nyata.     

"Kangmas," Bima memanggilku, seolah dia ingin mengingatkan sesuatu. Kulirik lagi dia, kukerutkan keningku karena cukup bingung dengan tingkahnya saat ini. "Sudah ada banyak orang-orang Sujiwo yang mengepung tempat ini. kita hanya sedikit, Kangmas. Kalau kita bergerak menyerang Sujiwo, maka mereka juga akan bergerak maju mengepung kita," bisiknya kemudian.     

Kusipitkan mataku, dari mana dia tahu kalau ada orang-orang yang mengepung kami. Bima ini benar-benar susah ditebak sekali.     

"Dari mana kamu tahu itu, Bima?"     

"Saat kita masuk aku melihatnya, dan lihatlah di atas langit-langit itu. Mereka bersembunyi di sana juga,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.