JURAGAN ARJUNA

BAB 406



BAB 406

0 Kami pulang dengan menggunakan mobil tepak. Jenis mobil tepak keluaran lama, memang. Dan itu sengaja dibawa oleh Paklik Sobirin untuk menjemput kami, dengan membawa salah seorang abdi dalem Sujiwo yang rupanya telah menyerbu Kemuning.     
0

"Jadi, sewaktu Juragan pergi bersama rombongan itu. Kami memutuskan untuk kembali ke kediaman Juragan…," cerita Paklik Sobirin kepadaku. Jalannya cukup jelek, hingga sesekali ban itu tampak terus menahan tekanan dari banyaknya penumpang yang ada di mobil ini beserta dengan tekanan dari batu-batu yang kami lewati. "Ternyata di sana, kediaman juragan sudah dikepung oleh banyak orang. Beruntung benar, Ndoro Rianti waktu itu di sana. Sambil membawa Juragan Kecil Abimanyu, Ndoro Rianti ternyata telah mengamankan Juragan Larasati, Mbakyu Romelah, dan beberapa abdi perempuan lainnya. Sehingga, ketika orang-orang Sujiwo datang, mereka ndhak menemukan apa pun. selain rasa kesal karena rumah kosong. Dan saya bersama dengan Juragan Nathan agaknya kaget, beruntung sekali Suwoto telah mengirim pasukannya. Dan membantu kami sekali untuk menyingkirkan mereka. mereka dibabat habis tanpa syarat dan dengan cara yang sangat tragis, Juragan. Dipotong lehernya, dipotong-potong tubuhnya. Persis seperti mereka memotong sapi, memotong ayam, atau memotong binatang-binatang ternak lainnya. Bahkan, Juragan Nathan sampai muntah-muntah, wajahnya pucat pasi melihat itu semua," jelas Paklik Sobirin lagi.     

Aku pun terkekeh mendengar penjelasan dari Paklik Sobirin, dan ndhak bisa membayangkan, bagaimana mimik wajah Romo waktu itu.     

"Gusti, kenapa aku malah ingin tertawa disbanding kasihan kepada laki-laki tua itu," kubilang, membuat Paklik Sobirin memandangiku dengan tatapan bingungnya itu.     

"Kok ya malah ingin tertawa, toh, Juragan. Romonya mau pingsan dan muntah-muntah kok ya mau tertawa. Mbok ya seharusnya yang prihatin begitu lho. Tertawa itu tandanya apa? Ndhak merasakan prihatin sama sekali," marah Paklik Sobirin.     

Bima yang sedari tadi duduk di sampingku hanya bisa terkekeh. Iya, kami bertiga berada di bagian depan mobil, dan yang lainnya duduk di bak belakang.     

"Bagaimana aku ndhak tertawa itu bagaimana. Bayangkan saja, seorang Nathan Hendarmoko yang memiliki tingkat percaya diri, kesombongan, dan lagak yang luar biasa tinggi rupanya takut sama bagian-bagian tubuh yang dipotong-potong. Bukankah itu perkara yang sangat lucu. Dan aku sangat yakin sekali, jika setelah ini Romo ndhak akan pernah mau makan yang namanya daging-dagingan. Palingan dia hanya mau makan ikan asin,"     

"Kangmas memang kadang-kadang keterlaluan," imbuh Bima, dan itu berhasil membuat Paklik Sobirin yang sedari tadi memegang kemudi pun mengangkat kempol tangannya.     

"Maklumlah, keduanya ini sebenarnya memiliki sifat yang hampir serupa, Juragan Bima. Sama-sama sok percaya diri dan kesombongan tinggi. Jadi ingat-ingat saja, toh. kalau nanti Juragan Nathan takut sama sesuatu, giliran kita yang menertawakannya," kata Paklik Sobirin semangat.     

Bima mengangguk, tanpa suara. Tapi dia cukup tersenyum juga dengan hal itu. Kini, dia menarik napasnya panjang, memandang jalanan yang ada di depan.     

"Jujur, ini adalah kali pertama pengalamanku menjadi orang yang seperti ini. bahkan tidak terpikir olehku jika suatu saat nanti, atau ada waktu ini ketika aku bisa menyakiti orang, atau bahkan membunuh orang. Dan melihat banyak mayat-mayat tergeletak dengan cara mengenaskan di sekitarku. Jangankan membayangkan membunuh, bahkan seekor kodok pun aku sama sekali tidak berani untuk menyakitinya. Sungguh, ini benar-benar hal yang gila, benar-benar hal di luar dugaan yang membuatku nyaris tidak menyangka kalau semua ini adalah nyata. Tapi untung saja, semua ini cepat berlalu. Meski aku juga berpikir jika mungkin saja, ada polisi, dan apparat negara yang akan mengejar-ngejar kita karena masalah ini. atau, salah satu dari keluarga orang itu ada yang hidup, melaporkan kita, atau malah balas dendam dengan kita. Bukankah itu adalah hal yang sangat mengerikan di dunia ini?" Bima kembali menghela napasnya panjang.     

Sementara aku hanya bisa diam membisu, sebab sebenarnya kalau boleh jujur pun aku merasakan hal yang sama seperti mereka. memangnya, manusia waras mana yang akan tega melihat ada banyak nyawa mati dengan cara mengenaskan seperti itu? Mereka mati tepat di hadapanku dan dengan cara yang sangat sadis dan tragis, dan yang lebih dari itu adalah, aku telah membunuh Mbah Seno dengan kedua tanganku sendiri. Sampai detik ini pun, tanganku ini terus bergetar karena dosa besar itu.     

Andai, andai saja aku memiliki sedikit saja rasa kesabaran. Andai sedikit saja aku memiliki sedikit saja memiliki pikiran jika mungkin, dengan aku datang ke tempat Sujiwo, dukunnya Sujiwo akan membebaskan jiwa Mbah Seno, sehingga Mbah Seno akan kembali lagi seperti semula. Dan dia masih hidup, dan dia bisa meneruskan hidupnya dengan sewajarnya.     

Dia selama ini sudah banyak melakukan kebaikan, sudah banyak mengalah dan menjadi korban dari peristiwa pedih ini. tapi kenapa, Gusti, kenapa aku harus berperilaku seolah aku ini engkau dan aku malah menghabisi nyawanya dengan sangat nyata. Mbah Seno, maafkan aku. Sungguh, apa pun yang terjadi, apa pun yang telah kulakukan kepadamu semata-mata karena aku sangat sayang kepadamu. Semata-mata karena aku ndhak ingin kamu sakit lagi.     

"Juragan!" teriak Suwoto sambil mendongakkan wajahnya pada jendela mobil, dia ini duduk di bak belakang. Tapi bagaimana bisa kepalanya berada di sini. Apa dia ini ndhak takut jatuh dan terlempar ke jurang sana? Dasar Suwoto. "Juragan ndhak usah lagi selalu merisaukan perkara Palik Seno. Sebab sejatinya, ada hal yang perlu Juragan tahu. Ketika ruh dan raga telah berpisah lebih dari empat puluh hari, kemungkinan ruh itu akan kembali badannya adalah hal yang sangat kecil bahkan mustahil. Terlebih, saat saya mengusap punggung Paklik Seno bahkan sebelum kejadian ini, auranya sudah benar-benar dingin. Dan Paklik Seno tahu apa dari itu semua? Aura orang hidup itu hangat, Juragan. Sementara aura orang yang dekat dengan kematian itu dingin. Dan biasanya yang dari saya temui hal-hal semacam itu, orang-orang yang memiliki aura dingin memang dengan cara apa pun, ndhak akan bertahan lama, selain mati. Jadi saya rasa baik dia mati di tangan Juragan atau endhak, itu adalah hal yang sama saja. Karena jika ndhak mati di tangan Juragan pun, dia juga akan mati saat itu di tangan Sujiwo. Seendhaknya, sekarang dia sudah tenang dan ndhak tersiksa lagi. Dia sudah kembali dengan baik menuju surganya Gusti Pangeran. Dia sangat bersyukur bertemu dan kenal dengan Juragan Nathan. Dia bahkan ndhak menyesal sama sekali dengan jalan hidup yang dia jalani sampai dia mengembuskan napas terakhirnya. Karena baginya, lebih baik meninggal di tangan Juragan Nathan, seendhaknya dia meninggal dengan cara terhormat, dari pada dia harus meninggal di tangan Sujiwo."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.