JURAGAN ARJUNA

BAB 408



BAB 408

0 "Baik, saya akan coba buktikan. Jika saya mampu untuk mengemban tugas ini…," kata dukun berpakaian serba hitam itu. Entah kenapa hatiku merasa ndhak enak sekali melihat dukun ini. Entah karena dia melihat jika Kemuning sedang ada keributan dan huru-hara besar, jadi dia memanfaatkan keadaan. Atau malah dia merupakan salah satu dari kaki tangan Sujiwo yang masih hidup. Namun demikian, aku pasti akan terus mengintai, dan akan memastikan, jika benar dia adalah salah satu di antara dugaanku itu, aku ndhak akan segan-segan untuk menggorok lehernya saat itu juga.     
0

Sekarang, dukun itu sedang menyalakan kemenyan, berserta bunga-bunga juga telur angsa yang diletakkan tepat di depan pintu. Dia lalu duduk bersila sambil membaca beberapa ritual yang aku sendiri ndhak tahu apa. Mulutnya terus komat-kamit ndhak jelas, dan matanya terpejam rapat-rapat. Kupanggil Suwoto lewat batinku, dia pun kini ada di sampingku. Agaknya juga dia cukup penasaran dengan apa yang aku inginkan sekarang.     

"Orang itu apa benar-benar dukun ataukah kaki tangan dari Sujiwo yang menyamar? Sebab saat ini yang aku inginkan adalah Biung dan Romo baik-baik saja, dan keduanya hidup dan ndhak kurang satu apa pun," bisikku kepada Suwoto. Suwoto tampak diam, kedua tangannya bersedekap, kemudian dia memiringkan wajahnya padaku.     

"Saya melihat di dalam semuanya baik-baik saja, Juragan. Hanya saja ada satu mayat yang tergeletak di sana. Saya sendiri juga ndhak tahu, itu mayat siapa," jawab Suwoto memberitahuku.     

Bisa jadi mayat itu adalah mayat dari kaki tangan Sujiwo yang tiba-tiba mengamuk itu, bangkit dari kematiannya. Atau adalah mayat lainnya yang mungkin telah menjadi korban selanjutnya?     

Aku kembali diam, sampai Bima menepuk bahuku. Keringatnya sudah tampak bercucuran, sambil sesekali dia menelan ludahnya yang basah.     

"Kangmas ini bagaimana? Istri dan anakku juga ada di dalam. Kalau mereka kenapa-napa bagaimana, Kangmas?" katanya kemudian.     

Jujur, aku sangat paham dengan apa yang dirasakan oleh Bima, pun denganku juga sekarang telah memikirkan hal yang sama juga. akan tetapi, saat ini kondisinya sedang ndhak menguntungkan sama sekali. Dan diam sejenak untuk melihat apa yang dilakukan oleh laki-laki yang mengaku dukun sakti mandra guna itu adalah hal yang terbaik sekarang.     

Lama, dukun itu makin komat-kamit, untuk kemudia tubuhnya terpental dengan sendirinya ke belakang. Mulutnya mengeluarkan darah segar, keringatnya membajiri tubuhnya, hingga pakaian hitamnya kini tampak basah.     

"Apakah dia sedang melakukan sebuah atraksi? Aku benar-benar ndhak tahu dia melakukan apa itu," kataku kepads Suwoto. Suwoto tampak memejamkan matanya lagi, agaknya dia berpikir cukup keras. Hingga pada akhirnya, Paklik Soborin menangis meraung-raung.     

"Duh Gusti, ini bagaimana, toh! bagaimana keadaan Juragan Nathan, Ndoro Larasati, dan Ndoro Rianti! Kenapa dukun itu terpental seperti itu!"     

Bagai dayung bersambut, Bulik Sari dan Bulik Amah pun ikut menangis meraung-raung. Aku yakin, agaknya mereka cukup cemas dengan apa yang tertaji kepada dukun tadi sekarang.     

"Bahaya, ini. bahaya!" teriak dukun itu kesetanan. "Semuanya diselimuti oleh kumpulan asap hitam yang sama sekali ndhak bisa ditembus oleh orang paling sakti sekalipun. Ini buktinya, aku terpental sambil mengeluarkan darah segar! Aku yakin sosok penunggu rumah ini sedang marah, atau malah sosok jahat yang ingin membalas dendamnya kepada Juragan yang ada di kampung ini sangat marah!" histerisnya lagi.     

Jujur, rasanya ingin sekali kupites kepala laki-laki cebol ini. setiap ucapannya benar-benar membuatku gerah dan memiliki banyak sekali ucapan-ucapan ambigu. Bagi orang yang ndhak paham pokok permasalahannya, pastilah mereka berpikir jika Romo adalah seorang Juragan yang jahat dan kejam.     

"Butuh satu sesaji, Juaragan, agar pintu ini bisa dibuka dengan tenang. Syaratnya adalah, Juragan harus mengubur beberapa batang emas di dalam tanah tepat di depan rumah. Kemudian di atasnya, Juragan beri ketan putih, kembang tujuh rupa, kemenyan, telur ayam kampung yang busuk, sepasang ayam berbulu putih mulus, serta segenggam tanah dari kuburan. Itu adalah persyaratan yang diminta oleh penunggu yang menjaga tempat ini!"     

"Dasar dukun otaknya di dengkul!" marahku pada akhirnya, aku benar-benar ndhak menyangka, jika aku bisa bertemu dengan manusia macam dia. "Aku rasa, otakmu sama saja dengan wajahmu yang ndhak jelas itu, Suwoto, lekas buka pintu balai tengah, dan ajak keluargaku untuk keluar. Lama-lama bercakap dengan dukun mata duitan ini percuma. Memangnya dia pikir, lelembut bisa minta emas batangan apa! Bawa raga sendiri saja ndhak bisa, mau bawa emas batangan. Dasar orang edan!"     

Suwoto hendak mendekati pintu, tapi cepat-cepat dukun itu melarangnya. Untuk kemudian dia memandang Suwoto dengan mimik wajah seriusnya itu.     

"Aku serius, kamu yang manusia biasa menyingkirlah. Aku yang seorang dukun paling tersohor di negeri ini saja ndhak bisa mengalahkan lelembut itu. Apalagi kamu!"     

Mendengar itu, Suwoto langsung mendorong tubuh dukun itu sampai dia terpental ke belakang. Sambil membaca beberapa mantra, Suwoto membuka pintu itu dengan mudah.     

Ndhak lama, ada Biung, Romo yang sedang menggendong Abhimanyu, serta Rianti.     

Mereka semyuanya keluar, dan membuatku serta Bima berlari ke arah mereka dan memeluk tubuh mereka erat-erat.     

"Romo! Biung! Dik Rianti!" serakku. Kupeluk mereka dengan begitu erat, tangis haru mengtalir dengan sangat nyata.     

Duh Gusti, terimakasih! Terimakasih karena engkau telah menyelamatkan keluargaku. Terimakasih karena engkau telah memberikan keluargaku kesempatan untuk hidup. Rasanya, sudah sangat lelah aku terlalu melakukan banyak hal seperti ini. aku ingin istirahat, dan bekerja layaknya manusia pada umumnya. Untuk kemudian, kepalaku mulai terasa berat, dan kesadaranku kemudian mulai menghilang. Aku ndhak tahu lagi kejadian waktu itu seperti apa.     

Yang jelas, menurut penuturan dari Paklik Sobirin, dukun itu langsung dia usir dan ditimpuki oleh warga kampung sayur-sayuran busuk. Biarkan saja, biar dia tahu rasa! Memangnya enak, mau coba-coba membodohi Juragan tersohor di negeri ini?     

Sementara para mayat yang ada di kampung, sepakat kami bakar, abunya kami sebarkan di sungai dan bahkan laut-laut. Semuanya berdoa, dengan adanya peristiwa berdarah ini, Kemuning ndhak lagi dirundung masalah. Kemuning bisa kembali menjadi kampung yang asri, damai dan tentram selalu. Sebab seperti itulah mimpi dari kami, warga kampung Kemuning yang memiliki separuh lebih perkebunan teh yang membentang di sepanjang Kecamatan kami. Kebun teh yang sangat kami banggakan, dan perkebunan teh yang menjadi mata pencaharian utama kami. Ketika pasa musim petik daun teh tiba, para penduduk mulai berpondong-pondong, sambil membawa camping dan tenggok mereka. ramai-ramai mereka berjalan menuju perkebunan, untuk mengais rejeki. Memetik pucuk-pucuk daun tersegar, untuk kemudian disortir dan dimasukkan ke dalam pabrik untuk dilolah menjadi bentu-bentuk yang lebih modern lagi. Ya, kami warga Kemuning, sangat bangga dengan apa yang kami punya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.