JURAGAN ARJUNA

BAB 409



BAB 409

0 Pagi ini, aku sudah siap dan rapi. Sekarang semuanya sudah benar-benar usai. Hari bahagia sudah datang menanti. Dan aku sudah ndhak sabar untuk menjemput istri dan anakku. Aku sudah rindu dengan mereka, janji jika aku akan kembali secepatnya itu hanyalah sebuah janji semu. Sebab hampir dua bulan hal ini terjadi semuanya masih sama dan enggan untuk terselesaikan sama sekali.     
0

"Juragan, apakah Juragan mau pergi ke Purwokerto hari ini?" tanya Paklik Sobirin. Pakaiannya hari ini sudah sangat rapi, aku sama sekali ndhak tahu bagaimana dia serapi ini sekarang. Kedua kakinya yang biasanya ndhak memakai alas kaki pun kini memakai sepasang sepatu bagus. Aku tebak, sepasang sepatu itu baru saja dibeli di pasar krempyeng yang ada di pertigaan jalan berjo. Ya, pasar itu hanya ada di malam minggu saja, namanya pasar krempyeng karena ndhak setiap malam ada. Pasar itu benar-benar sangat komplit dengan banyak hiburan-hiburan malam bagi para orang yang merasa kesepian. Tentu, kecuali penjual sayur dan daging, di sana ndhak ada sama sekali. Kalau penjual pakaian serta sepatu seperti yang dipakai oleh Paklik Sobirin benar-benar banyak sekali, dan ndhak usah kaget dengan perkara itu. Katanya sepatu-sepatu selop itu dari kulit asli, atay terbuat dari beludru dengan kualitas tinggi yang dijual secara obral dengan harga murah meriah. Namun, baru dipakai barang lama seminggu, jahitan-jahitan dari sepatu selop itu sudah lepas semua, lem dari soul dan sepatunya bahkan ndhak bisa merekat dengan sangat ketat. Mereka terlepas dengan cepat, lebih-lebih jika terkena air. Yang namanya barang asli langsung ndhak mungkin sama sekali ada untuk benda-benda yang ada di sana.     

Namu begitu, bagi para warga kampung seperti warga kampung di Ngargoyoso terlebih yang tinggal di tempat terdekat dengan lereng seperti kami. Mendapatkan hal seperti itu adalah barang yang sangat mewah benar. Sebab mereka jarang atau malah hampir ndhak pernah pergi ke kota. Di mana mereka ndhak tahu apakah itu asli atau palsu, asal tampilannya bagus dan mentereng dipandang, maka mereka akan membelinya. Untuk sekadar pamer barang baru, misalnya. Atau kalau ndhak seperti itu, mereka akan gunakan untuk perayaan-perayaan tertentu, pergi keluar dengan belahan hati, kalau ndhak seperti itu akan mereka gunakan dari pagi sampai malam sampai ketemu pagi lagi sampai benda itu benar-benar rusak di tubu mereka.     

"Wah, melelihat penampilan mentereng Paklik, sepertinya Paklik hendak pergi ke suatau tempat yang sangat jauh. Apa jangan-jangan Paklik mau pergi ke Jupiter dan ndhak akan balik-balik lagi?" tanyaku kepadanya.     

Paklik Sobirin tampak kaget dengan ucapanku itu, kemudian dia menggaruk kepalanya. Lihatlah rambutnya yang keriting itu, sekarang bagian depan kapalanya sudah mulai botak. Rambut tebalnya yang dulu sudah semakin tipis.     

"Juragan, Jupiter itu kota atau daerah mana toh? Kok ya saya belum pernah mendengarnya sama sekali? Dan juga, kenapa Juragan seolah memginginkan saya untuk tetap tinggal di sana? Apakah Jupiter itu tempatnya sangat indah?" tanyanya dengan begitu polos.     

Oh ya aku lupa, kalau Paklik Sobirin ini ndhak sekolah. Jadi, mana paham dengan yang namanya Jupiter. Paling-paling yang dia tahu itu ya Juminten, atau Jumiati, si janda kembar dari kampung Ngeglok yang sering berjualan jamu gendong di sini. Karena tubuhnya yang aduhai kedua wanita itu pun sering digoda oleh Paklik-Paklik yang ada di sini. Dan mereka tampaknya senang dengan godaan itu, bagaimana endhak, setiap mereka mau-mau saja digoda, maka jamu gendongan mereka akan laris manis. Malah-malah mereka akan mendapatkan tips, oleh para Paklik atau Pakdhe yang mendapatkan toelan bokong atau dada besar mereka.     

"Oh ya jelas indah sekali, toh! banyak orang yang bilang, Jupiter itu adalah surganya dunia lho, Paklik! Di sana ndhak hanya ada makanan-makanan enak yang bisa diambil secara gratis, akan tetapi ada banyak wanita-wanita cantik yang semok, bahenol, menol… menol… menol. Aku jamin, Paklik bakal betah dan ndhak pingin kembali ke Kemuning kalau tahu tempat itu!"     

"Lho, masak iya toh, Juragan? Ada? Kalau makanan gratis, lantas yang membelikan makan itu siapa? Masak iya, makan itu datang sendiri? Kan ya pasti bahan-bahannya dibeli, toh," kata Paklik Sobirin yang agaknya ndhak begitu percaya dengan apa yang kukatakan. Rupanya, Paklik Sobirin cukup pintar, untuk sekadar berpikir sampai sejauh itu.     

"Di sana itu Paklik, ada seorang Juragan yang paling kaya di nusantara. Dia memiliki banyak hasil bumi yang melimpah ruah, ternak yang ndhak pernah bisa habis sama sekali. Karena dia bingung bagaimana cara menghabiskannya, dia kemudian menyuruh penduduknya untuk ndhak bekerja saja, setiap hari dijatah oleh Juragan tersebut tanpa kurang satu apa pun!"     

"Benar, Juragan, ada yang seperti itu?" tanya Paklik Sobirin lagi. Sepertinya, aku benar-benar ingin tertawa tatkala melihat mimik wajah antusiasnya itu. Bagaimana kalau dia tahu aku telah berdusta, pasti dia akan marah-marah kepadaku dengan sangat nyata.     

"Jelas benar, Juragan Arjuna, mana pernah dia berbohong sama kamu, toh? ndhak pernah sama sekali toh?" kubilang lagi. Paklik Sobirin tampak mengerutkan keningnya.     

"Banyak lho, Juragan berbohong kepada saya. Setiap kali Juragan meminta saya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ndhak masuk akal, Juragan selalu mengatakan untuk memberikan emas batangan sekotak, memberikan ternak sampai berlusin-lusin, tanah berhektar-hektar. Tapi nyatanya apa? Ndhak satu pun dari janji Juragan yang menjadi kenyataan sekarang. Saya malaj menjadi bingung, apakah saya ini adalah seorang abdi sepesial atau malah sebaliknya, karena Juragan selalu menipu saya sepanjang waktu,"     

Oh, rupanya dia mengingat semua janj-janjiku kepadanya, toh. Dasar Paklik Sobirin, untuk urusan yang seperti ini saja, pandai benar dia mengingatnya. Tapi untuk urusan pekerjaan dia agaknya ogah-ogahan.     

"Ya sudah kalau ndhak percaya aku ndhak maksa. Kamu ini mau ke mana memanhnya?" tanyaku lagi pada akhirnya. Kini, Paklik Sobirin tampak tersenyum, sambil menebas kemeja berwarna-warni yang melekat pada tubuhnya itu, celana levis comprang bawah, serta sepatu selop yang menghilap seperti keningnya yang kebanyakan memproduksi minyak itu. Bahkan aku rasa, kalau keningnya diteruh di bawah terik matahari siang hari, untuk sekadar menggoreng sekilo telur ayam saja ndhak akan memerlukan kompor, wajan dan minyak goreng.     

"Saya diajak Juragan Nathan dan Ndoro Larasati untuk jalan-jalan sebentar ke Purwokerto. Perihal pengulak yang besar itu yang Juragan Arjuna ceritakan kepada Juragan Nathan, saya disuruh menemani Juragan Nathan untuk berkunjung ke kediaman dari pengulak itu. Kata beliau, beliau agaknya rindu dengan kawan-kawannya terdahulu, untuk sekadar bernostalgia, untuk kemudian beliau akan menyusul Juragan di kediaman Juragan. Oleh sebab itu, nanti Juragan jangan pulang dulu. Tunggu kedatangan Juragan Nathan dan Ndoro Larasati dulu, toh."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.