JURAGAN ARJUNA

BAB 411 -END-



BAB 411 -END-

0 Hari ini rasanya aku benar-benar tegang, bagaimana endhak toh. Air ketuban istriku pecah, dan saat Paklik Junet memanggil dukun beranak dia bilang kalau sebenarnya ini belum waktunya untuk bayiku lahir. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu? Jelas-jelas ketubannya pecah. Jika dibiarkan saja bisa-bisa istri dan bayiku ada dalam bahaya. Hanya karena dia bilang posisi kepala si jabang bayi belum berada di jalan lahirnya. Dasar, ndhak waras itu dukun bayi, ingin sekali kubunuh saja saat ini juga.     
0

"Terus bagaimana ini, Romo. Bagaimana?" tanya Ningrum yang agaknya bingung. Dia sama sepertiku, sedari tadi mondar-mandir ndhak jelas bahkan rasanya ingin kencing dan berak di tempat karena saking tegangnya merasakan istri mau melahirkan.     

"Sudah kubilang, ayo bawa ke rumah sakit. Zaman mulai modern dan canggih kamu masih saja percaya sama dukun bayi, Arjuna… Arjuna. Lulusan Sarjana, lama tinggal di kota, tapi otak dan cara berpikirmu itu ndeso. Kamu mau nanti Manis keracunan dan bayimu kehabisan ketuban sehingga keduanya tidak bisa diselamatkan? Air ketubannya itu sudah pecah dari tiga jam yang lalu tapi kamu masih sesantai itu," kata Setya mencoba meyakinkanku. Dasar bedugul satu itu, mana aku tahu tentang masalah seperti itu. Aku ini awam, aku adalah laki-laki yang baru saja hendak memiliki bayi. Lantas dia menyalahkanku atas keendhak tahuanku itu? Kampret, memang!     

"Yaudah sebaiknya bagaimana," kubilang pada akhirnya. "Suwoto lekas siapkan mobil, ayo bawa Manis segera berangkat ke rumah sakit," lanjutku.     

Wangi dan Ningrum bergegas bersiap, dibantu dengan Pandu dan juga Setya, sementara Suwoto sudah bersiap di balik kemudi. Sementara aku masih mondar-mandir ndhak jelas sendiri di sini.     

"Arjuna Hendarmoko, lekas bawa Manis masuk ke dalam mobil. Masak iya harus aku yang membopong istrimu masuk ke dalam mobil. Kamu ini tidak peka sama sekali. jadi suami itu harus siaga, apalagi saat istri sedang mau melahirkan seperti ini. kok malah bingung sendiri," marah Setya.     

Aku langsung mengangguk, kemudian dia masuk ke dalam kamar dan membopong tubuh Manis. Manis tampak tersu meringis kesakitan. Aku ndhak tahu seberapa sakit melahirkan itu, tapi kalau melihat istriku seperti ini aku benar-benar ndhak tega sama sekali.     

"Sayang, sabar ya Sayang. sebentar lagi… sebentar lagi bayi kita akan keluar ya," kubilang sambil mengelus perutnya. Aku langsung masuk ke dalam mobil bersama dengan Ningrum dan Suwoto. Sementara yang lain masuk ke dalam mobil satunya. Kami segera melesat pergi menuju rumah sakit. Meski Manis sesekali terus mencengkeram pundakku bahkan menggigit lenganku. Dia itu kadang merasa mules kadang juga merasa endhak, aku sama sekali ndhak paham dengan perempuan kalau sudah seperti ini.     

"Kangmas, mules, Kangmas! Sepertinya bayi kita mau keluar, Kangmas!" teriak Manis. Aku panik bukan main, bahkan seluruh tanganku bergetar hebat. Duh Gusti, apa yang harus aku lakukan.     

"Paklik Suwoto, bayiku mau keluar ini bagaimana toh? ini bagaimana? Apa yang harus aku lakukan Paklik!" teriakku bingung.     

Yang berhasil Paklik Suwoto dan Ningrum ikut-ikutan panik karenanya. "Duh Gusti, bagaimana Juragan? Saya juga ndhak tahu, saya ndhak punya pengalaman mengurus wanita beranak Juragan! Pengalaman saya hanya untuk membunuh orang!"     

"Duh Gusti, rumah sakit di mana toh? kamu ini lelet benar kalau mengemudi itu lho. Lebih cepat apa ndhak bisa? Kalau istriku tercinta melahirkan di sini bagaimana!" marahku lagi.     

"Juragan ini kecepatannya sudah penuh. Saya ndhak bohong!" kata Suwoto lagi. "Ndoro Manis, sabar sebentar. Beritahu sama bayinya untuk jangan keluar dulu. Tunggu sampai rumah sakit dulu ya," lanjutnya. Aku ingin sekali memukul kepala Suwoto. Memangnya dia pikir, lahirnya bayi bisa ditunda apa toh, dasar Suwoto ini.     

"Paklik kalau bicara itu lho, masak iya jabang bayi kahirnya bisa diajak kompromi nanti dulu. Sakit ini toh, mules bener!" kata Manis lagi. Kini dia menjanbak rambutku.     

"Duh Gusti, sakit ini kamu gigit dan jambaki aku, Sayang," keluhku. Manis langsung melotot.     

"Baru seperti itu saja protes, kamu ndhak tahu apa bagaimana sakitnya aku! Sakit, Kangmas dan itu karena kamu!" marahnya.     

Aku hanya bisa diam, sampai dia menjerit lebih keras dari pada biasanya. Perutnya tampak sangat tegang, aku benar-benar ketakutan setengah mati.     

Tak berapa lama kami sampai juga di rumah sakit, dengan cepat aku membopong Manis dan berlari sekuat tenaga untuk menemui perawat yang ada di depan meja administrasi.     

"Perawat! Perawat! Bahaya ini, bahaya!" teriakku ketakutan.     

"Bahaya apa, toh, Pak. Coba dijelaskan bahayanya bagaimana?" tanya perawat itu yang agaknya ikut panik juga karena tingkahku.     

"Istriku mau melahirkan, perawat. Tolong istriku!" teriakku lagi.     

Setelah tahu kalau Manis mau melahirkan dengan cepat para perawat itu mengambil alih tindakan, mereka langsung menyuruhku untuk membaringkan Manis ke sebuah brankar kemudian dia bawa ke sebuah ruangan. Aku berdiri di depan pintu, perawat itu tampak memandangku dengan tatapan anehnya itu.     

"Ada apa?" tanyaku yang agaknya bingung dengan tatapan dari perawat wanita itu.     

"Bapak ndhak mau masuk toh?" tanyanya.     

"Kan yang mau melahirkan istriku, bukan aku," kubilang kepada perawat itu. Benar toh? masak iya aku ikut masuk juga, kan ndhak etis sama sekali.     

"Bapak, sebagai seorang suami itu, kamu harus ikut masuk. Memberi bantuan untuk merangsang jabang bayinya agar lekas keluar, toh. ayo silakan ikut masuk."     

"Lantas apa yang harus aku lakukan nanti, perawat?" tanyaku yang agaknya penasaran juga.     

"Nanti ada langkah-langkahnya, Pak," jawab dia kemudian.     

Aku melihat istriku sudah tampak siap untuk melahirkan, dia terus mencengkeram era tepian brankar sambil berteriak kesakitan. Sementara aku didorong oleh perawat itu untuk berada di samping istriku kemudian aku disuruh untuk mengelus-elus istriku. Sesuatu hal yang sangat aneh sekali, yang benar-benar membuatku sungkan bukan main. Bagaimana endhak toh, di sini isinya wanita semua, aku ndhak mau dikira mesum oleh mereka.     

"Pak, bisa beri rangsangan untuk istrinya?" tanya dokter yang ada di sana. Aku diam seperti reco, ndhak paham dengan apa yang dia maksud. "Berikan rangsangan kepada istrinya agar jabang bayinya lekas keluar, Pak," ucapnya kemudian.     

"Hah? Apa? Bagaimana?" tanyaku bodoh. Du Gusti andai bisa, seharusnya ndhak aku bawa ke rumah sakit Manis. Di rumah saja ndhak apa-apa. Aku seperti dipermainkan oleh mereka.     

"Mainkan putingnya, Pak. Dan genggam erat tangan istrinya. Agar jabang bayinya bisa menemukan jalan lahir,"     

"Aku ndhak mau!" tolakku mentah-mentah, bagaimana bisa aku disuruh melakukan hal semesum itu.     

"Pak memang itu salah satu teknik untuk calon Ibu bisa lekas melahirkan dan jabang bayinya bisa lekas keluar," kata Dokter itu berusaha untuk tetap memberi penjelasan.     

Akhirnya mau ndhak mau aku melakukannya juga, dan ndhak lama setelah itu Manis tampak mengejan dengan teriakan yang ndhak tertahankan. Dan bayi itu langsung keluar dari jalan lahirnya.     

Aku langsung lemas ndhak terkira melihat proses itu terlihat di mataku, aku merasa jika seorang wanita benar-benar luar biasa. Gusti Pangeran telah menciptakan wanita dengan begitu luar biasa kuat dan hebatnya.     

"Selamat, Pak. Jabang bayinya perempuan, bisa dipeluk ibunya, dan dan bisa dilihat sama Bapak," kata Dokter itu lagi.     

Aku berusaha kuat untuk bangkit, kemudian aku melihat jabang bayiku menangis, dia tengkurap di dada biungnya yang ndhak memakai apa-apa itu, sebuah hal yang sangat istimewa untukku.     

"Shinta, aku ingin memberimu nama Shinta, Cah Ayu,"     

-TAMAT-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.