JURAGAN ARJUNA

BAB 263



BAB 263

0Pagi ini bahkan sebelum fajar menyingsing, semua orang yang ada di rumah sudah sangat sibuk. Para abdi perempuan sibuk menyiapkan makanan, serta beberapa keperluan seperti bantal, juga selimut untuk para penduduk kampung yang akan kami pindahkan di rumah pintar guna mendapatkan pertolongan pertama oleh Setya. Sebab ndhak mungkin sekali, Setya yang seorang diri ditemani oleh Manis harus datang ke rumah penduduk satu persatu. Rumah penduduk di zaman ini masih ndhak sedempet-dempet sekarang, meski zaman ini sudah bisa disebut sebagai zaman modern.     
0

Dan sementara para abdi laki-laki, menata dan menyulap rumah pintar, serta ruangan yang biasanya digunakan untuk membatik juga menjahit. Menjadi bangsal-bangsal kamar, sehingga mirip seperti di rumah sakit.     

Ada kiranya limah puluh ranjang yang bisa ditata di sana. Sementara untuk di ruang utama rumah pintar diberikan beberapa kasur sehingga cukup untuk dua puluh kasur. Lumayan, semoga jumlah itu ndhak terlalu kurang untuk menampung penduduk kampung.     

Juga mobil-mobil yang ada di rumah, mobil-mobil itu sudah dipanasi dan siap dibawa ke rumah pintar, agar nanti tatkala ada kondidi pasien yang gawat bisa langsung dievakuasi dengan cepat.     

"Jadi bagaimana, tim medismu bisa ke sini jam berapa?" tanyaku pada Setya, yang rupanya dia sudah selesai mandi, dan sudah mengenakan jubah putih kebesarannya. Dia tampak memijat pelipisnya, sembari sesekali menggigil kedinginan. Lihatlah, bibirnya tampak membiru, dan itu benar-benar sangat lucu.     

"Terakhir aku telepon rumah sakit, kata dokter senior mereka sudah berangkat tengah malam kemarin. Mungkin sebentar lagi akan sampai. Ohya, bagaimana dengan dokter dari sini? Sebab kurasa, semuanya harus ada izin dan peraturannya, kan? Sangat tidak sopan jika kamu menyuruh tim medis dari Jakarta, padahal di Karanganyar ada tim medis juga."     

Aku mengangguk paham dengan kekhawatiran dari Setya pada dasarnya, sebab bagaimanapun, dia bukan hanya sekadar kawanku saja. Akan tetapi, jabatan yang ia pikul ini memang harus taat peraturan. Dia ndhak mungkin bisa melakukan hal seenak jidatnya sepertiku, dan menerobos hal-hal yang seharusnya ndhak dia lakukan. Aku tersenyum kemudian menepuk-nepuk bahu dari Setya kemudian aku tersenyum ke arahnya.     

"Tenang, perkara ini kamu tidak usah bingung. Aku sudah menghubungi kepala rumah sakit di sana, dan mereka telah setuju. Kemudian, mereka akan mengirim bantuan serta beberapa ambulan. Kamu tahu, kan, siapa kawanmu ini? Apa yang tidak bisa kulakukan? Jangankan hanya sebuah izin," percaya diriku.     

Setya langsung menyikutku kemudian dia memeluk tubuhnya sendiri. "Kemuning benar-benar dingin. Kupikir mandi jam segini tidak dingin. Tapi nyatanya aku hampir membeku," keluhnya. Aku tertawa saja mendengar ucapannya itu. Maklum, lahir dan hidup di pesisir pantai, yang mungkin udaranya lebih hangat dari pegunungan.     

"Ya sudah, kamu ke balai kerjaku dulu sebelum berangkat. Aku sudah menyuruh Bulik Sari untuk menghidangkan wedang ronde juga ketan hitam hangat-hangat. Dijamin, kamu akan gemuk seperti kerbau-kerbauku selama berada di sini,"     

"Sialan, kenapa harus kerbau, coba,"     

"Ya sudah, banteng,"     

"Awas kau! Aku tidak akan mengatakan rahasia penting tentang istrimu kalau kamu terus bersikap menyebalkan seperti ini, Arjuna!" marah Setya.     

Aku hanya terkekeh mendengar ucapannya, setelah kutepuk bahunya, aku pun izin pergi. Karena, aku belum bertemu dengan Manis pagi ini.     

Omong-omong soal istriku tercinta itu, setelah kepulangannya dari Jakarta dia tidur, bahkan tatkala aku bangun dia masih terlelap. Benar-benar ndhak seperti biasanya. Padahal biasanya jam 03.00 dini hari dia sudah bangun untuk menyiapkan ini itu.     

Mungkin, tubuhnya dalam proses penyembuhan, dan merasa nyaman bisa kembali ke rumah setelah sekian tahun dia ndhak pulang. Mungkin itu sebabnya dia merasa nyaman, dan tidur dengan sangat nyenyak.     

Aku masuk ke dalam kamar, kulihat di sekitar Manis ndhak ada di mana-mana. Padahal tadi, dia sudah ada di ranjang. Saat aku melangkah masuk, langkahku terhenti tatkala Manis masuk ke dalam kamar dengan wajah lesunya. Padahal sedari tadi dia tidur, toh, kenapa wajahnya tampak selesu ini. Apa dia masih sakit? Apa lambungnya kumat lagi?     

"Sayang, kamu kenapa? Apa kamu masih sakit?" tanyaku, segera kuhampiri Manis. Tapi dia tampak menggeleng dengan agak lemah. Sebenarnya, istriku ini kenapa, toh? Padahal sudah kubelikan dia obat lambung yang paling ampuh. Tapi kenapa dia kok masih seperti ini saja.     

"Ndhak, Kangmas. Tadi habis muntah-muntah. Tapi sekarang sudah ndhak apa-apa, toh," jawabnya.     

"Kamu muntah lagi?" kutanya, dia langsung mengangguk. Kemudian mengambil pakaiannya di lemari.     

"Iya, sebenarnya aku ini ndhak apa-apa, lho. Cuma ndhak tahu saja, mau ke dapur buat memasak, mencium bau nasi yang ditanak kok langsung muntah. Sepertinya, aku ndhak doyan nasi ini, Kangmas," jelasnya panjang lebar.     

"Aneh benar penyakitmu ini, Ndhuk. Apa iya kamu alergi sama nasi?" aku langsung memeluk Manis, kemudian mengelusnya dengan lembut. Kukecup puncak kepalanya, kemudian kupandang dia lekat-lekat. "Ya sudah, ndhak usah sarapan nasi dulu. Nanti, kubelikan serabi, dan putu ayu, ya. Kuantarkan ke rumah pintar untuk sarapan," ucapku.     

Manis langsung memelukku, kemudian dia tersenyum lebar. Sembari mengangkat dua jempolnya tinggi-tinggi.     

"Suamiku memang yang terbaik."     

"Oh, ya jelas, siapa dulu suamimu ini, Juragan Arjuna Hendarmoko," percaya diriku. Dia kembali tertawa, kemudian berganti pakaian, aku pun kembali keluar untuk mengambilkan susu hangat untuknya. Meski ndhak sarapan, seendhaknya dia minukm susu, agar tubuhnya punya sedikit energi.     

Dan setelah semuanya siap, Setya, dan Manis langsung diantar oleh Paklik Sobirin menuju rumah pintar bersama dengan Romo Nathan juga. Sebab nanti rencananya, Biung akan menyusul sembari membawa bekal. Memang sok romantis doa orangtua itu. Padahal jelas-jelas sarapannya sudah masak tadi, Romo bisa sarapan di rumah. Tapi kata Romo, kalau dia makan di rumah, penduduk kampung ndhak bisa melihat bagaimana manisnya hubungan mereka. Dasar Romo Nathan itu ada-ada saja, toh, akal bulusnya untuk bermanja-manja dengan Biung.     

"Jadi, sekarang apa yang harus kita lakukan, Juragan?" tanya Suwoto yang berhasil membuatku menoleh ke arahnya.     

Aku diam sejenak, kemudian aku melangkah masuk ke dalam lagi, Paklik Junet sudah bersiap untuk mengangkut mobil-mobil ke rumah pintar.     

"Kamu mandi dulu, sarapan, setelah itu pergi beli serabi, dan putu ayu," kubilang. Suwoto masih diam, sepertinya dia bingung dengan ajakannku.     

"Kok malah beli serabi, dan putu ayu, Juragan? Bukannya sekarang kampung sedang gawat?" tanyanya, aku tersenyum mendengar pertanyaannya itu.     

"Serabi, dan putu ayunya untuk dokter cantik yang betugas untuk menyelamatkan nyawa penduduk kampung...," jawabku sambil mengedipkan mataku ke arahnya. Langkahku kembali terhenti, kemudian aku membalikkan badan, membuat Suwoto langsung berhenti tanpa aba-aba. "Setelah itu, kita ke hutan, melihat jamur seperti apa yang sampai membuat semua warga kampung keracunan,"     

"Siap, Juragan!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.