JURAGAN ARJUNA

BAB 264



BAB 264

0Pemandangan di rumah pintar benar-benar sangat memilukan. Hampir seluruh penduduk kampung, dari mulai yang kecil sampai yang tua, mereka tampak sangat lemah sembari menekan perut mereka kesakitan. Bahkan ndhak jarang, ada yang muntah juga. Semuanya benar-benar sangat ndhak karu-karuan. Pantas benar jika Paklik Sobirin bilang kalau Kemuning diserang oleh wabah.     
0

Dan bisa kulihat dengan jelas, istri tercintaku itu tampak sibuk mengurusi beberapa orang yang ada di sana. Bahkan sampai sibuknya, dia ndhak memerhatikan hal-hal lain, selain aku yang sudah berdiri di belakangnya sambil melihatnya di setiap gerak langkahnya.     

Dan bisa kulihat, tangisan pilu penduduk yang lain, tatkala keluarganya sudah terkapar ndhak sadarkan diri. Dan tim medis yang baru saja datang cepat-cepat membuat Paklik Sobirin, dan abdi yang lain cepat-cepat membawa mereka ke rumah sakit.     

Sebenarnya, nantinya semuanya akan dibawa ke rumah sakit. Hanya saja saat ini, harus ada yang diprioritaskan terlebih dahulu. Yaitu bagi para penderita yang mengalami keracunan yang parah.     

"Kamu makan dulu, Sayang," kataku, setengah kutarik tangan Manis, untuk pergi dulu dari sana. Manis yang kaget pun langsung menaruh peralatan medisnya, meminta izin kepada Setya untuk menggantikannya sebentar. Untuk kemudian, dia mengikuti langkahku tanpa protes.     

"Juragan bagaimana, toh, istri Juragan ini sedang bertugas, lho. Kok ya malah diajak pergi, toh! Kami sedang membutuhkan istri Juragan, dia itu dokter!" teriak salah satu warga kampung yang ada di sana, yang berhasil membuatku meradang.     

Aku berhenti, kemudian memandangnya dengan tatapan sinisku. Bulik itu langsung ketakutan, seolah aku ingin membunuhnya hidup-hidup di sini.     

"Boleh saja istriku merawat kalian, tapi aku ndhak akan membiarkan istriku mati kelaparan hanya karena kebodohan yang telah kalian lakukan,"     

"Tapi—"     

"Bukankah sebelumnya Romo sudah bilang kalau jangan memakan jamur itu. Dan apa yang kalian katakan waktu itu? Ucapan dari Romo yang kalian anggap bodoh, dan ngawur ternyata benar-benar membuat nyawa kalian terancam, toh?"     

Aku tersenyum kecut tatkala Bulik itu menundukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian kutarik Manis keluar dari sana. Duduk di bawah pohon mangga yang ndhak jauh dari rumah pintar.     

Manis duduk di sampingku, sambil menghela napas panjang. Kemudian dia memandangku dengan senyumannya. Tumben benar dia ndhak marah, karena aku telah memarahi pasien berharganya itu.     

"Serabinya ada?" tanyanya, aku mengangguk. Membuka bungkusan yang sedari tadi kubawa sambil kutunjukkan padanya.     

Manis tampak memandang serabi itu dengan takjub, seolah-olah dia baru saja melihat yang namanya serabi. Tapi, tatkala dia hendak mengambil serabi itu, aku langsung menahannya, membuat dia mengerutkan dahinya bingung.     

"Aku suapi, tangan dan tubumu ndhak bersih," kubilang. Manis langsung mengangguk membuatku menyuapinya dengan hati-hati. "Bagaimana, kamu senang?" tanyaku. Manis mengangguk kuat-kuat.     

"Enak, Kangmas," jawabnya. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang seperti anak kecil itu.     

"Makan yang banyak, ya, Sayang. Nanti setelah ini minum vitamin. Biar istriku kuat menjadi Dokter yang hebat!"     

Manis langsung tertawa mendengarku mengucapkan hal itu. Sepertinya, baginya ucapanku adalah hal yang lucu. Padahal benar, memang, aku sungguh-sungguh ingin menyemangatinya. Bahkan aku ndhak bisa membayangkan, betapa lelah dia untuk merawat semua orang sebanyak ini berdua saja. Sementara sampai detik ini satu tim medis pun belum ada yang sampai.     

"Siap, Juragan!" jawabnya semangat. "Tapi aku lebih semangat kalau jadi Dokter pribadinya Juragan Arjuna, toh," lanjutnya.     

"Kenapa seperti itu?"     

"Karena bisa merawat Juragan Arjuna setiap waktu, merawat dengan sepenuh hati, merawat lahir batin,��� jawabnya.     

Aku kembali tertawa mendengar ucapannya itu. Mulutnya benar-benar manis sekarang.     

"Apalagi merawat di atas ranjang, aku yakin, dokter pribadiku ini paling ahli dalam hal itu,"     

"Bisa saja,"     

"Siapa dulu, suamimu tersayang,"     

"Ehm, memang Kangmas tersayangnya aku?" katanya, yang berhasil membuatku menarik sebelah alisku. Dia pun tertawa kemudian memeluk tubuhku. "Iya, Kangmasku ini adalah Kangmasnya Manis yang paliing tersayang."     

"Ah, masa, toh? Aku ndhak percaya," godaku.     

"Iya, serius,"     

"Ehm!" aku dan Manis menoleh, di sana Setya sudah berdiri sambil pura-pura melihat ke arah lain. Sepertinya, dia hendak berbicara denganku. "Sudah pacarannya Bu Dokter, dan Juragan Arjuna Hendarmoko?" tanyanya.     

"Belum, ada dokter jelek yang menganggu pacaranku, toh," kujawab. Dia langsung mendengus.     

Manis kembali tersenyum, kemudian dia beranjak dari duduknya, hendak kembali memeriksa beberapa orang yang ada di rumah pintar.     

"Oh ya, Manis, setelah kamu memeriksa dan memberikan penangan pertama, tunggu saja tim medis datang, dan ikuti saja apa yang mereka lakukan. Aku ingin mengajak suamimu ke suatu tempat. Laporan sudah kutaruh di atas meja, kamu serahkan saja kepada mereka, dan ceritakan dengan detil hal-hal yang terjadi kepada mereka serta obat yang kita berikan. Oke,"     

"Siap, Pak Dokter," jawab Manis, yang langsung pergi dari tempat ini.     

Aku melihat Setya yang masih memandangku sembari bersedekap, kemudian dia memandang ke arah Manis secara bergantian.     

"Yakin, kamu tidak mau kuberitahu rahasia tentang istrimu?" tanyanya.     

Aku berdiri, kemudian menggelengkan kepalaku. Rahasia apa, toh? Kurasa aku ndhak membutuhkan itu. Sebab aku yakin, jika Setya ingin memperdayaku, membuatku penasaran kemudian dia memerasku seperti saat kami kuliah dulu.     

"Apa yang kamu inginkan dariku? Kamu bilang kamu hendak mengajakku ke suatu tempat,"     

"Oh ya, aku ingin memintamu menemaniku ke tempat jamur-jamur itu tumbuh. Aku ingin memastikan jamur apa yang sebenarnya dimakan oleh penduduk kampung. Terlebih, kalian mengatakan itu jamur barat, kan? Aku benar-benar tidak tahu jenis apa jamur barat itu," ucapnya.     

"Oleh karena kami tidak tahu nama jamurnya, jadi kami menyebutnya jamur barat. Karena biasanya jamur itu muncul saat peralihan musim, saat aingin berembus dari timur ke barat, alias baratan. Kamu kan orang pesisir, kenapa kamu tidak tahu istilah ini,"     

"Ck! Tapi aku bukan orang kampung sepertimu," ujarnya. Kurang ajar benar orang jelek satu ini. "Kamu itu ibarat patung yang terbuat dari emas, ibarat pangeran yang sangat tampan, tapi letakmu di kampung. Jadi seperti bule nyasar, pangeran nyasar, atau patung nyasar. Seberapa bagus penampilan, dan wajahmu, tetap saja kamu orang kampung."     

"Aku tidak butuh penilaianmu itu. Aku bangga jadi orang kampung, sebab rejekiku melampaui orang-orang congkak sepertimu," sindirku.     

"Kamu tahu teman-teman kampus dulu menyebutmu apa?"     

"Aku ndhak mau tahu," ketusku.     

"Maka kukasih tahu," keras kepalanya. "Kamu itu orang Londo medok, bule medok, bule Jawa ya kamu itu, hahaha!"     

"Bicara lagi tak sumpal mulutmu dengan tai kerbau!" marahku pada akhirnya.     

Spontan, Setya langsung menutup mulutnya. Kemudian dia menundukkan kepalanya dalam-dalam.     

"Ngapunten (maaf), Juragan Besar Arjuna Hendarmoko, hahaha!"     

Kurang ajar benar bocah satu ini, tengil benar rupanya. Sifatnya, benar-benar ndhak berubah sama sekali. Awas saja, aku akan membuat perhitungan dengannya. Aku akan buat dia menyesal karena telah mengolok-olokku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.