JURAGAN ARJUNA

BAB 265



BAB 265

0"Jadi, di mana letak jamur-jamur itu? katanya ada banyak, ini kok tidak ada sama sekali,"     
0

Ini adalah kali ke lima bocah ndhak tahu diri ini mengeluh, sepertinya dia benar-benar hanya setengah hati untuk mengurus masalah keracunan di kampung kami.     

"Sudahlah, diam saja," kubilang. "Apa mungkin semua jamurnya habis dimakan oleh penduduk kampung?" kataku pada akhirnya.     

Setya kemudian menghentikan langkahnya, membuatku ikut berhenti melangkah. Lalu kulihat dia yang tampak berpikir keras.     

"Kurasa benar apa yang kamu katakan. Kalau dipikir-pikir, berapa, toh jumlah tumbuhan jamur yang bisa tumbuh di sini. Terlebih, penduduk kampung di sini cukup banyak," jawabnya.     

Aku kembali terdiam untuk sekadar memikirkan berbagai kemungkinan. Tapi kurasa, ndhak seperti itu juga.     

"Coba kita lihat di atas, mungkin masih ada sisa beberapa. Aku tidak percaya jamur-jamur itu akan langsung musnah dengan sendirinya," kubilang.     

Setya pun menyetujuinya, kami kembali berjalan masuk ke dalam hutan untuk mencari barangkali ada sisa jamur yang lolos dari petikan warga kampung.     

"Rakus juga, ya, warga Kemuning. Jamur sebanyak itu bisa habis dalam waktu sehari," kata Setya lagi. Sama, aku pun memikirkan hal yang sama. Sebenarnya mereka itu manusia atau kerbau, toh. Kok ya makannya banyak benar. Apa mereka pikir jika jamur ndhak mungkin tumbuh setiap saat itu sebabnya mereka mengambil semua jamur untuk dimasak dalam satu waktu. Duh Gusti, aku benar-benar ndhak menyangka, jika pepatah tua itu benar adanya. Akibat orang tamak, malah membuat mereka rugi sendiri.     

"Lho, itu ndhak jamur-jamurnya?" kata Setya, yang berhasil membuatku menoleh.     

Saat kami tahu ada tumbuhan putih itu memenuhi sebuah areal tanah yang agak landai, kami pun cepat-cepat untuk pergi mendekat. Kemudian, kami melihat tumbuhan jamur itu.     

"Apa benar ini yang kamu sebut dengan jamur barat?" tanya Setya lagi.     

Kucoba perhatikan bentuk, dan warna jamur itu dengan seksama. Sekilas, memang tampak seperti jamur barat yang sering dimakan oleh penduduk kampung saat musimnya tiba. Tapi kurasa ini sedikit berbeda. Jamur ini berwarna lebih kecokelatan, dengan kulit yang tampak lebih tebal.     

"Kamu yakin, jamur seperti ini yang sering dimakan oleh penduduk sini? Gila benar lambung dan tubuh penduduk sini, ya, bisa memakan makanan seajaib ini," kata Setya lagi.     

Aku melihat ke arahnya dengan sebal, sebab kurasa Setya benar-benar menyebalkan sekarang. Dia selalu memandang dan menilai apa pun itu harus dengan ilmu ndhak jelasnya itu, tanpa dia peduli jika penduduk kampung memiliki pemikiran primitifnya sendiri. Jika saja dia tahu, bahkan daging kadal, daging ular, dan lain sebagainya pun kadang dimakan, pasti dia akan menjelaskan dengan serentetan ilmu pengetahuannya jika semua itu adalah bukan makanan sehat, dan penduduk kampungku adalah manusia-manusia yang memiliki kesaktian luar biasa.     

"Kamu tahu tidak penduduk kampung itu tidak memiliki pengetahuan tinggi sepertimu?" kubilang. Setya agaknya diam. "Mereka memakan, menggukanakn, dan melakukan sesuatu menggunakan insting. Bukan dengan ilmu pengetahuan yang ada di buku-buku tebalmu it."     

"Ya... ya... ya... aku paham, penduduk kampung cenderung primitif, kan?"     

"Nah! Lantas kenapa kamu masih menggunakan ilmu pengetahuanmu yang berharga itu?"     

Setya berdecak, kemudian berjongok di sampingku. Mengambil satu jamur untuk dia lihat dengan mata dan kepalanya sendiri.     

"Kamu tahu ini bukan jamur yang bisa dimakan, Arjuna. Ini adalah jamur—"     

"Tidak usah kamu jelaskan jenisnya dengan nama latin yang membuatku tidak paham. Jadi, intinya bagaimana?" tanyaku setelah memotong ucapannya.     

Setya kembali berdecak, sepertinya dia benar-benar ingin membunuhku saat ini juga. Tapi, siapa peduli? Toh, meski dia menjelaskannya secara detil pun aku benar-benar ndhak akan paham dengan nama-nama aneh yang akan dia sebutkan kepadaku.     

"Jamur ini beracun. Bahkan lebih dari itu adalah, jamur ini mematikan. Paham?" katanya kemudian.     

"Nah, cukup seperti itu, aku sudah paham," kubilang. Dia langsung memukul lengangku.     

"Lain kali, beritahu semua warga kampungmu yang primitif itu. Berhenti makan makanan yang ndhak jelas asal usulnya. Tuhan sudah memberikan makanan-makanan sehat di bumi pertiwi kita, kok masih saja mencari mala petaka. Kalau begini yang repot siapa? Bukan hanya mereka, tapi kamu juga. Rugi tenaga, rugi waktu, dan rugi biaya. Memangnya, otak primitif mereka bisa menyelamatkan hidup mereka, apa? Yang ada, berapa belas korban yang mati dengan bodoh karena otak primitif dan pemikiran kolot mereka itu? Dasar! Inilah pentingnya ilmu pengetahuan harus diterapkan, meski tidak harus masuk sekolah yang tinggi. Setidaknya, ilmu pengetahuan dasar bisa membuat mereka tahu, mana yang baik, dan mana yang benar. Mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak bisa. Mana yang aman dan mana yang berbahaya. Mana yang... Arjuna! Kamu mau ke mana! Aku belum selesai bicara masalah ini dengan kamu, Arjuna!"     

Aku berlari sepenuh tenaga, meninggalkan Setya di tempat itu sendiri. Dia terus berteriak memanggil-manggil namaku. Rasakan, salah sendiri, toh, jadi jadi laki-laki kok ya cerewet sekali. Dia itu mau menjawab pertanyaanku tapi seperti menjawab pertanyaan saat sidang skripsi, panjang benar ditambah dengan teori-teorinya yang tinggi itu.     

"Hoy, Setya! Kamu tahu, di sana itu ada penunggunya! Sosok perempuan berbaju putih, rambutnya panjang! Dan sosok itu sangat menyukai perjaka sepertimu! Kalau kamu tidak lekas pergi, aku tidak janji kalau kamu bisa kembali ke Jakarta hidup-hidup!"     

Setya tampak menoleh kekiri—kekanan, kemudian dia langsung berlari dengan cepat mencoba untuk menyusulku. Aku paling tahu, di antara kawanku, dialah satu-satunya kawan yang paling penakut.     

Lihat saja larinya itu, benar-benar membuat perutku sakit karena tertawa. Dia langsung jatuh tersungkur, tapi masih berusaha sekuat tenaga untuk berlari. Bahkan, jubah putih kebesarannya, sekarang ndhak putih lagi. Jubah itu sudah menjadi kecokelatan karena terkena tanah yang basah. Setya, Setya... lugu benar kamu ini. Kenapa kamu lucu sekali, toh!     

"Kenapa kamu tinggalkan aku, Arjuna? Kenapa kamu tidak bilang tadi kalau di sana ada hantunya? Kamu ini benar-benar tidak setia kawan!" marahnya kepadaku. Lihatlah wajahnya yang merah itu, dia bahkan hampir menangis karena kubodohi itu.     

"Kalau aku tidak setia kawan, aku pasti telah meninggalkamu di sana tanpa memberitahumu, kan?" kataku pada akhirnya.     

Setya tampak terengah, kemudian dia berjalan sambil merangkulku. Menghirup udara sebanyak-banyaknya sembari menekan perutnya yang agaknya sakit. Aku kembali tersenyum dengan ekspresi lucunya itu. Dokter kok ya ada yang seperti dia, toh.     

"Kamu ini seorang dokter kok ya takut hantu. Apa kamu tidak pernah berpikir, jika pasien yang mati nantinya juga akan jadi hantu? Mereka akan menghantui kamu karena kamu tidak becus menyelamatkan nyawa mereka?"     

"Kamu ini, apa kamu benar-benar tidak butuh informasi penting tentang istrimu sampai kamu berani menjelek-jelekkanku seperti itu, iya?"     

Aku langsung pergi mengabaikannya, lagi-lagi dia mengatakan hal itu. Seperti dia paling tahu saja tentang istriku. Padahal aku yakin, jika dia ndhak tahu apa-apa sama sekali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.