JURAGAN ARJUNA

BAB 267



BAB 267

0Manis terdiam, Biung pun ikut terdiam. Bahkan aku bisa melihat, bagaimana mata bening Manis menjadi nanar. Kemudian dia tersenyum kaku, sambil menutup mulutnya. Untuk kemudian, dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Membuatku menariknya ke dalam pelukan.     
0

Kutepuk-tepuk punggunya dengan halus, tapi tubuhnya tampak bergetar. Apakah dia menangis? Jika iya, aku pantas yang disalahkan karena ini.     

"Dari awal aku sudah curiga," kubilang. "Pada saat tanggalmu biasa datang bulan, kita masih berhubungan seperti biasanya. Lalu kemudian kamu mendadak sakit. Mual-mual di pagi hari dan setelahnya kamu merasa ndhak apa-apa, terlebih obat lambung yang kubelikan itu adalah obat terbaik, kamu minum pun ndhak mempan, ditambah dengan mencium bau nasi kamu mual,"     

Manis lantas memandang ke arahku, kemudian dia mengulum senyum. Mungkin dia pikir, aku selama ini ndhak memerhatikannya, ndhak memerhatikan setiap detil apa yang ada pada dirinya. Padahal, ndhak ada orang yang kujaga bahkan seujung rambut pun selain dia.     

"Benar kata suamimu, Manis. Dari ciri-ciri yang kulihat juga, kemungkinan besar kamu tidak sedang sakit maag, melainkan tengah mengandung. Namun demikian, kamu harus periksa lagi agar bisa memastikan praduga kami ini salah atau benar,"     

"Jadi... jadi... menantuku ini hamil, toh? Kamu hamil, Ndhuk?" Biung pun ikut bersuara, kini dia tampak mendekat ke arah Manis, membingkai wajah mungil Manis kemudian memeluknya dengan erat. "Duh Gusti, betapa bahagia hati Biung jika kabar baik ini benar adanya. Kamu tahu, ini adalah kabar yang sangat menggembirakan!"     

"Biung, masih belum pasti. Ini hanya praduga semata, mungkin alangkah baiknya Setya memeriksa untuk memastikan benar apa endhaknya,"     

"Nah kalau itu aku setuju!" imbuh Setya.     

"Tapi, apa benar jika aku hamil?" kini suara Manis berhasil membuat kami menoleh ke arahnya. Ada rasa ragu yang terdengar sangat nyata. Suara ragu akan kabar yang mungkin akan membuatnya bahagia. Ada rasa ndhak percaya dan itu tergambar dengan jelas adanya. Namun sejatinya, aku benar-benar paham dengan apa yang telah ia rasakan.     

"Kamu ini...," kataku, sembari mencubit hidungnya dengan gemas. "Bukankah kamu sekarang ini adalah seorang dokter? Lantas bagaimana ceritanya kamu ndhak bisa mendiagnosa dirimu sendiri, hm?"     

"Iya, ini... percuma saja kalau kamu lulus kuliah kedokteran, bisa merawat dan menyembuhkan pasien. Tapi untuk dirimu sendiri, kamu bahkan tidak bisa menanganinya dengan baik. Wah... wah, Bu Dokter ini benar-benar," kini giliran Setya yang menggoda Manis. Tapi, Manis ndhak mengatakan apa-apa selain mengulum senyum sembari menundukkan wajahnya dalam-dalam.     

"Sudah, sudah... kalian ini apa, toh. Pemuda kok ya pada gemar benar menggoda anak perempuan ini, lho. Ya sudah ayo kita pulang, lagi pula Romo kalian sudah selesai berbincang dengan Pak Dokter. Nanti Setya biar memeriksa Manis dulu, kemudian makan, dan istirahat sejenak jika ingin kembali lagi di sini. Ndhak usah ribut, ayok... ayok,"     

"Iya, iya biungku yang paling sedunia," kubilang, sembari menggodanya.     

Biung langsung mencibir, tapi dia tetap tersenyum juga. Tampak benar jika dia bahagia dengan rayuanku itu.     

"Biung,"     

"Sudah, ndhak usah bicara ndhak jelas lagi, toh. Biung ndhak mau dengar," katanya dengan nada memperingati.     

"Setelah kulihat-lihat Biung itu—"     

"Arjuna!"     

"Biung itu sangat—"     

"Arjuna!"     

"Sangat—"     

"Arjuna Hendarmoko!!"     

"Hahaha, aku sayang Biung!"     

*****     

"Jadi bagaimana dengan kondisi istriku, Set? Apa benar dia hamil, atau dia benar-benar hanya sakit lambung?" tanyaku. Tatkala Setya sudah memriksa Manis. Dia menggeser posisi duduknya, sehingga berhadap-hadapan denganku. Untuk kemudian dia tampak termenung, seolah tangah memikirkan sesuatu yang sangat berat. Aku benar-benar penasaran, dengan ekspresi menyebalkan dari pemuda satu ini.     

"Bagaimana, ya...," katanya, seolah-olah sedang menimbang, apakah dia akan mengatakannya atau ndhak pernah sama sekali. "Jadi seperti—"     

"Hei kamu anak ingusan bermata lebar," Romo Nathan pun datang, sembari bersedekap. Kukerutkan keningku ndhak paham, dan setelahnya aku baru paham. Jika pemuda ingusan bermata lebar itu yang dimaksud Romo adalah Setya. Aku nyaris tertawa tatkala Romo mengatakan hal itu. Rasanya, sudah lama benar aku ndhak mendengar Romo menghina orang. "Kalau kamu mau bicara, bicara saja. Ndhak usah ruwet, seperti rambut keritingmu itu yang ruwet."     

"Kangmas ini bagaimana, toh. Ndhak sopan ini, lho. Setya ini adalah seorang dokter!" marah Biung.     

Romo Nathan kemudian berjalan mendekat, lalu dia memandang Setya dari atas dan bawah. Kemudian dia kembali berdecak.     

"Mau dia Dokter, mau dia raja, atau presiden sekali pun, aku ndhak suka kalau mau bicara saja mbulet seperti nginang,"     

"Santai, Juragan. santai!" kata Setya yang agaknya ndhak merasa tersinggung dengan ucapan Romo. Iya, mungkin dia sudah terbiasa. Sebab sedari dulu tatkala Romo menjengukku pun, hanya Setya kawanku yang paling suka digoda oleh Romo Nathan.     

"Jadi, sebelum aku memberitahu kalian hasil yang sebenarnya. Aku hendak memberi selamat untuk diriku sendiri."     

"Atas?" tanyaku yang semakin bingung. Apakah dia ingin menyelamati dirinya sendiri karena telah dihina oleh Romo Nathan? Atau mungkin, ucapan pedas Romo Nathan adalah suatu prestasi membanggakan untuk dirinya?     

"Karena sebentar lagi aku akan menjadi seorang Paman,"     

Sejenak kami pun terdiam, mencoba mencerna apa yang telah Setya katakan. Namun setelah itu, aku, Biung, dan Romo langsung memeluk Manis. Aku ndhak akan pernah menyangka, jika hari ini akhirnya tiba. Sebuah ucapan selamat dari orang, atas kabar bahagia jika istriku sedang mengandung. Ya... mengandung buah cinta kami. Gusti, terimakasih... terimakasih karena kamu telah mengabulkan semua doa-doaku. Gusti, terimakasih... terimakasih karena kamu telah memberiku kesempatan untuk merasakan menjadi seorang Romo. Terimakasih, Gusti.     

"Tapi untuk pemeriksaan selanjutnya, aku sarankan pergi saja ke bidan atau dokter spesialis kandungan. Sebab kurasa, mereka jauh lebih paham mengenai hal ini. Aku bukan dokter spesialis kandungan, meski aku sempat belajar mengenai hal ini waktu di Universitas,"     

Aku langsung memeluk Setya, dia agaknya kaget dengan pelukanku itu. Tapi, dia tampak tertawa. Membalas pelukanku dengan sangat kuat.     

"Terimakasih, Set. Kamu adalah kawan baikku."     

"Aku tidak pernah menyangka. Aku pikir, kamu tidak akan tahu mengenai ini. Itu sebabnya berkali-kali aku mencoba ingin memberitahumu, tapi kamu keras kepala. Rupanya, untuk urusan seperti ini kurasa tidak butuh seorang dokter, sebab insting suami jauh lebih kuat dari pada pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter, benar?"     

"Karena kami ada ikatan, itu sebabnya insting kami kuat."     

"Iya, iya... tidak usah kamu perjelas. Kamu mau pamer sama aku yang belum punya pacar ini?"     

Aku pun tertawa mendengar ucapan Setya itu, kemudian kupandang lagi Manis yang tampaknya sudah memandangku. Dia meneteskan air mata sementara bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Aku tahu dia bahagia, sebab aku merasakan kebahagiaan itu juga.     

Manisku sayang, apa yang telah kita doakan sekarang telah menjadi kenyataan. Kamu telah mengandung buah hatiku dan itu benar-benar membuatku bahagia. Terimakasih, terimakasih karena telah sudi kututupi benih anak kita. Kuharap, kedepannya, kamu bisa merawat benih itu dengan baik hingga waktunya tiba, dia datang ke dunia dengan wujud utuhnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.