JURAGAN ARJUNA

BAB 266



BAB 266

Setelah kami kembali ke rumah pintar, tim medis sudah ada di sana. Bahkan ada beberapa dokter senior yang turut serta juga untuk menangani masalah ini. Aku menyapa mereka sebentar, kemudian aku memilih untuk mengamati bersama dengan Romo Nathan. Melihat Manis sesekali yang tampak sibuk mencatat sesuatu. Setelah itu dia kembali sibuk dengan beberapa hal lainnya.     

Aku takut jika hal ini bisa membuat Manis ndhak bisa istirahat, menganggu kesehatannya, kemudian dia jatuh sakit lagi. Apa yang harus kulakukan untuk membantu Manisku agar dia ndhak terlalu bekerja keras mengurusi ini? Toh, sudah banyak ahli medis yang lebih pengalaman dari dia.     

"Kalau boleh Juragan Nathan, dan Pak Lurah, kami hendak bertanya beberapa hal dengan kalian. Apa kami boleh bicara sebentar?" tanya salah seorang dokter.     

Romo Nathan, dan Lurah itu pun mengangguk setuju. Kemudian ketiganya pergi ke tempat yang agak sepi. Bicara sesuatu yang tampaknya serius, membuatku memandangi mereka dari kejauhan meski aku ndhak mendengar percakapan mereka.     

"kenapa?" tanya Setya, sambil menepuk bahuku. Kemudian kuputar pandanganku ke arahnya, aku hanya tersenyum simpul menjawabi pertanyaannya itu.     

"Bagaimana?" tanyaku, yang mengabaikan pertanyaannya itu.     

Setya tampak menghela napas beratnya, kemudian memandang keadaan yang ada di depannya. Sudah banyak penduduk kampung yang tampak tenang, mereka tampak sedang beristirahat sekarang. Sementara untuk beberapa penduduk kampung yang keracunan parah, mereka sudah diantar ke rumah sakit tadi pagi. Kondisinya sudah agak mendingan dari tadi, yang tersisa hanya beberapa orang yang mengeluh kesakitan sembari berteriak lemah. Aku kembali mengembuskan napasku, andai saja semuanya ndhak seperti ini. Pasti kampungku akan menjadi kampung yang asri sekali.     

"Rumah sakit agaknya susah mencari bangsal untuk menampung warga kampung sebanyak ini. Jadi, kita ambil jalan tengahnya saja,"     

"Apa?"     

"Bagi penduduk yang sakit tidak begitu parah, bisa dirawat di sini saja. Dengan bantuan alat, dan obat yang dikirim dari rumah sakit. Besok, atau lusa, kemungkinan sudah akan banyak penduduk yang sembuh."     

Aku mengangguk saja menjawabi ucapan dari Setya, baguslah kalau memang seperti itu. seendhaknya aku bisa tenang, jika penduduk kampung sudah bisa diselamatkan. Tinggal menunggu proses penyembuhan, dan perkara lain-lain yang mungkin ndhak harus sampai setakut kemarin, karena biar bagaimanapun, ini menyakut nyawa. Nyawa dari banyak orang tentunya.     

Aku kembali memandang ke arah Manis, ini sudah petang, dan sampai detik ini istriku belum juga istirahat barang sebentar. Aku benar-benar kuatir akan keadaanya, aku benar-benar ndhak mau kalau sampai dia kenapa-napa.     

"Manis sudah boleh kuajak pulang? Dari pagi dia terus di sini, aku tidak tega melihatnya bekerja keras seperti ini," kataku pada akhirnya.     

Setya mengangguk, seolah paham dengan apa yang sedang kutanyakan. Untuk kemudian, dia menepuk-nepuk bahuku beberapa kali.     

"Iya aku paham dengan apa yang kamu rasakan. Dia benar-benar pekerja keras, Arjuna. Entah karena dia merasa jika sebentar lagi dia benar-benar menjadi seorang dokter atau memang hatinya terpanggil untuk berusaha membantu penduduk kampung. Yang jelas, kelak, tatkala dia telah menjadi seorang dokter, aku yakin, dia akan menjadi seorang dokter yang benar-benar hebat. Dokter yang bisa mengabdikan seluruh jiwa dan raganya untuk penduduk kampung yang membutuhkan. Kamu, benar-benar tidak salah memilih seorang istri."     

"Jelaslah, siapa dulu. Aku... Juragan Arjuna Hendarmoko. Tidak kayak kamu, sampai sekarang tidak laku. Mau jadi perjaka tua sampai kapan?" sindirku.     

Setya hanya mencibir, tapi dia ndhak membalas ucapanku dengan ejekannya lagi. kemudian dia kembali menepuk-nepuk bahuku.     

"Kamu harus menjaga istrimu mulai dari sekarang. Jaga pola makannya, istirahatnya, dan emosinya. Jangan boleh terlalu lelah, terlalu setres, dan lain sebagainya. Dia sedang butuh banyak istirahat sekarang, lebih dari perempuan-perempuan pada umumnya."     

Aku mengangguki ucapan dari Setya, kemudian kulihat dari kejauhan Paklik Sobirin tampak berlari menuju ke arahku. Belum sempat aku bertanya kenapa, dia langsung memelukku dengan tangisan terpecah itu. Tubuhnya tampak gemetaran, dan aku ndhak tahu apa yang terjadi sampai dia seperti ini.     

"Ada apa, Paklik?" tanyaku, yang khawatir juga dengannya tampak begitu ketakutan.     

"Duh Gusti, Juragan! Syukur Gusti, syukur!" katanya, yang masih memelukku dengan erat. Kupaksa lepas pelukan Paklik Sobirin, dia sudah menangis sambil mengusap ingusnya dengan lengan bajunya. "Saya... saya... saya ndhak pernah menyangka, toh, jika dalam hidup saya, saya akan mengalami kejadian mengerikan seperti ini, Juragan. Saya ndhak pernah menyangka, jika penduduk Kemuning akan mengalami keracunan dahsyat seperti ini. Tatkala tadi saya mengendarai mobil menuju rumah sakit. Saya merasa memiliki tanggung jawab besar atas nyawa seseorang. Jika telat sedikit saya sampai kesana maka... maka ada nyawa yang ndhak selamat karena saya, Juragan. Saya benar-benar ketakutan."     

Aku langsung memeluk tubuh Paklik Sobirin, kemudian kutepuk pelan punggungnya yang tampak bergetar. Iya, sejatinya aku tahu apa yang dirasakan oleh Paklik Sobirin saat ini. Bahkan bisa selamat dari racun yang menyerang seluruh penduduk Kemuning pun itu sudah sesuatu yang sangat luar biasa.     

"Paklik ndhak usah cemas, toh, Paklik ndhak perlu kuatir lagi. Sudah ada aku di sini, sudah ada aku untuk Paklik. Jadi, Paklik harus bisa tegar, dan kuat, ya. Kalau Paklik seperti ini, lantas bagaimana dengan nasibku nanti."     

Paklik Sobirin tampak tersenyum, kemudian dia mengusap lagi air matanya dengan kasar. Dia mengangguk kuat, seolah telah memiiki semangat baru karena ucapanku itu.     

"Terimakasih, Juragan! Juragan benar-benar seorang yang patut kuabdikan hidup dan mati saya!"     

Aku diam saja mendengar ucapan aneh dari Paklik Sobirin, sebab pandanganku tertuju kepada Manis yang nyaris pingsan.     

Setelah aku menepuk bahu Setya dan Paklik Sobirin, aku segera berlari ke arah Manis. Buru-buru menangkap tubuh Manis sampai dia memandang ke arahku.     

"Kamu kenapa, Ndhuk?" kutanya. Manis masih berusaha untuk bangkit sembari memijat pelipisnya. "Seharian ini kamu makan, kan?" tanyaku lagi memastikan.     

"Iya, Kangmas. Meski ndhak makan nasi tapi tetap aku makan."     

"Ndhak muntah lagi?" tanyaku lagi kepadanya. Manis kembali menggeleng.     

Kuhelakan napas beratku, kemudian kutuntun dia untuk duduk. Biung yang kebetulan baru sampai sini pun mendekat, melihat kondisi Manis sekarang.     

"Kamu kenapa, Ndhuk? Kamu ndhak apa-apa, toh?" tanya Biung agaknya cemas.     

Kucoba mengingat-ingat tentang gejala penyakit dari Manis. Kemudian kupandangi lagi wajah Manis yang tampak pucat.     

"Ndhak kenapa-napa, Biung. Hanya saja mungkin saat ini aku sedikit lelah. Itu saja, toh," jawab Manis. Mungkin niatnya, agar Biung ndhak kepikiran dengannya.     

"Kamu ini terlalu memaksakan diri. Kata suamimu, di Jakarta kemarin saja kamu sakit. Baru saja kamu tiba di Kemuning, sudah bekerja sekeras ini. Bagaimana penyakitmu ndhak kambuh itu lho, Ndhuk,"     

Manis hanya tersenyum saja tatkala Biung mengatakan hal itu. Tapi, pikiranku terganggu akan satu hal.     

"Ndhuk, boleh aku bertanya kepadamu?"     

"Tanya apa, Kangmas?"     

"Bulan ini kamu sudah datang bulan atau endhak?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.