JURAGAN ARJUNA

BAB 268



BAB 268

0"Kangmas," panggil Manis, yang kini dia sudah berbaring di dalam dekapanku. Kuelus rambutnya yang lembut, kemudian aku memandang ke arahnya. "Akhirnya kita punya anak. Apa kamu bahagia?" tanyanya lagi.     
0

Aku tersenyum mendengar pertanyaan bodoh itu. Bagaimana bisa, pertanyaan yang jawabannya sudah pasti itu masih ditanyakan lagi? Oh ya, aku tahu... perempuan kan seperti itu. Cenderung ingin diyakinkan setiap waktu, meski mereka sendiri tahu ditanya berapa kali pun, jawabannya akan tetap sama. Ya, aku bahagia karena akan memiliki anak dengannya.     

"Bagaimana jika aku ndhak bahagia, toh, Ndhuk. Doa-doa kita telah dikabulkan oleh Gusti Pangeran dengan cara nyata. Asal kamu tahu, rasa bahagiaku ini bahkan ndhak bisa kubendung dengan apa pun. Bahkan sekarang rasanya aku ingin terus memelukmu sepanjang waktu. Ingin menjagamu agar ndhak ada hal apa pun yang bisa membahayakanmu dengan buah cinta kita. Dan selalu membuatmu bahagia. Semua yang terbaik, selalu ingin kuberikan kepadamu, Sayang."     

Manis kembali merengkuh tubuhku, kemudian dia kembali tersenyum lebar. Dadanya tampak kembang-kempis ndhak beraturan, seolah dia benar-benar tenang tanpa beban.     

"Kali ini aku janji, Kangmas. Aku akan menjaga buah hati kita baik-baik. Kali ini aku janji, akan melahirkan buah hati kita dengan selamat lahir di dunia,"     

"Iya, aku tahu. Aku percaya seratus persen dengan istriku tercinta,"     

"Kangmas...," kata Manis memanggilku. "Aku mencintaimu," bisiknya.     

Kutelan ludahku, sembari tersenyum simpul. Kali ini, Manis benar-benar sangat manis sekali. Bisa ndhak aku berharap jika dia mengandung terus, agar dia bisa semanja ini denganku sepanjang waktu?     

"Ndhuk," kubilang. "Kalau kamu terus merayuku, aku takut ndhak bisa menahan hasratku untuk mencumbumu. Sementara kamu tahu, aku benar-benar ingin menjaga buah hati kita. Kurasa, berhubungan tatkala kamu masih hamil di minggu awal bukanlah perkara yang bagus,"     

"Ehm, jadi Kangmas harus puasa dulu," katanya, sepertinya bahagia benar melihatku teriksa seperti ini.     

"Puasa apa?"     

"Puasa ndhak kelon (bercinta)," jawabnya. Aku tampak berpikir keras, karena hendak menggodanya.     

"Bagaimana, ya. Sepertinya aku ndhak kuat,"     

"Kangmas!" marahnya kemudian.     

Aku tertawa mendengar gerutuannya itu. Suara marah yang di telingaku terdengar sangat manja dan penuh cinta. Aku bahkan ndhak pernah membayangkan, jika hari ini akan ada di dalam hidupku. Orang-orang rupanya memang benar, jika Gusti Pangeran akan memberimu apa yang kamu mau di saat yang tepat, bukan di saat kamu inginkan. Sebab sejatinya yang terjadi di dunia ini, adalah anugerah dan rasa belas kasihan Gusti Pangeran kepada kita.     

*****     

Pagi ini aku sedang sibuk menyuapi Manis dengan bubur ketan hitam, sebab dia masih ndhak bisa makan nasi sampai sekarang. Kemudian, kubuatkan dia perasan jeruk yang tadi pagi kupetik dari kebun belakang. Sembari kusiapkan pepaya yang baru saja kukupas untuknya. Semuanya, kusiapkan dengan kedua tanganku sendiri. Meski untuk urusan bubur Biunglah yang membuatnya.     

Aku ingin, memberinya yang terbaik lewat tanganku sendiri, aku ingin merawatnya dengan kedua tanganku sendiri, dan aku ingin selalu menjaganya dengan kekuatanku sendiri. Sebab itu adalah hal yang sangat kuinginkan sedari dulu tatkala Manis mengandung anakku.     

"Sayang, kamu ndhak pergi ke kebun, toh?" tanya Manis, dengan gaya bicara anehnya itu, sebab mulutnya masih penuh dengan bubur.     

"Urusan kebun pagi ini sudah ditangani Paklik Sobirin, dan Paklik Junet, Ndhuk. Jadi tugasku di saat pagi mulai hari ini, adalah melayani Ratuku dan calon buah hati kita. Jadi, Baginda Ratu, apakah Anda bersedia menerima pelayanan dengan penuh cinta yang ditawarkan oleh suamimu ini?"     

Manis pun tertawa mendengar ucapanku, kemudian dia menebuk bahuku sesekali. Sepertinya, ucapanku adalah lucu baginya. Itu sebabnya dia sampai tertawa sebahagia itu.     

"Sekarang Ratumu ini sedang ingin dielus-elus perutnya, toh, Kangmas. Dielus-elus sampai Ratumu tertidur," manjanya.     

Aku tersenyum saja, padahal perutnya masih benar-benar rata. Tapi dia sudah mau dielus-elus saja. kuletakkan bubur di atas meja, kemudian aku naik di atas ranjang. Lalu, kutepuk-tepuk pahaku, untuk memberi isyarat padanya agar dia tidur di pangkuanku. Manis pun menurut, untuk setelahnya kuelus lembut rambut juga perutnya yang masih rata itu.     

"Bagaimana, Baginda Ratu, apakah kamu merasa bahagia dengan layanan dari suamimu tercinta ini?" tanyaku padanya.     

Manis yang memejamkan matanya pun mengangguk, tangannya memegang pergelangan tanganku yang mengelus perutnya dengan erat.     

"Bahagia, Kangmas. Bahkan saking bahagianya aku sampai ndhak tahu harus berkata apa," jawabnya. Aku kembali tersenyum.     

"Juragan, bisa saya menghadap Juragan sekarang?"     

Kudengar ketukan pintu itu tampak ndhak sabaran, dan aku tahu betul suara siapa itu yang ada di luar. Manis lantas langsung mengambil posisi duduk, kemudian dia memandang ke arahku seolah bingung.     

"Suwoto," kubilang, dia pun akhirnya mengangguk paham. "Masuklah, Suwoto. Apa yang hendhak kamu bicarakan denganku," perintahku pada akhirnya.     

Pelan akhirnya Suwoto membuka pintu, kemudian dia menundukkan kepalanya dalam-dalam dan mendekat ke arahku, ndhak begitu dekat, dia pun berhenti. Seolah-olah sungkan karena telah masuk ke kamar pribadiku.     

"Maaf, Juragan. Saya hanya ingin melapor jika beberapa besar penduduk kampung yang keracunan kini telah sembuh. Dan bahkan sudah ada yang boleh pulang. Namun begitu...," katanya terputus, dia masih menundukkan kepalanya dan itu benar-benar membuatku penasaran dibuatnya. "Namun begitu, ada dua penduduk kampung yang dibawa ke rumah sakit kemarin yang ndhak tertolong, Juragan. Meninggal."     

Kulirik Manis yang agaknya kaget dengan kabar itu, tapi aku langsung mengelus punggungnya dengan lembut. Aku ndhak mau, karena masalah ini malah akan membebankan pikirannya, yang berdampak akan ndhak baik bagi pertumbuhan bayi kami. Aku hanya ingin membuatnya merasa tenang, dan memikirkan hal apa pun lagi termasuk hal-hal seperti itu dulu. Seendhaknya, sampai masa hamilnya menginjak empat bulan.     

"Semua yang hidup pasti akan mati. Setiap manusia memiliki takdirnya sendiri. Kapan mereka akan mati, dan bagaimana mereka akan mati. Kita sebagai manusia, ndhak elok jika harus merasa terbebani atas musibah, dan kehidupan yang terjadi kepada orang lain. Sebab sejatinya, itu bukanlah tanggung jawab kita sama sekali. Yang kita lakukan hanyalah sebatas menolong, dan berdoa. Sebab keputusan akhir, hanya Gusti Pangeran saja yang bisa memutuskannya,"     

Suwoto, dan Manis tampak mengangguk. Seolah mereka benar-benar paham dengan apa yang telah kusampaikan. Terlebih ini untuk Manis, semoga dia mengerti, bahwasanya setiap kehidupan dari seseorang memiliki titik awal pun titik akhir. Kita benar-benar ndhak bisa campur tangan untuk perkara itu.     

"Oh ya, Suwoto, sudahkah kamu kuberitahu kabar bahagiaku saat ini?" tanyaku, Suwoto tampak menggeleng. Sepertinya, kabar bahagiaku ini belum diperdengarkan kemana-mana. "Kamu akan punya Ndoro, atau Juragan Kecil yang nanti harus kamu urus dengan baik, sebagaimana kamu mengurusku selama ini,"     

Suwoto langsung memandangku kaget, begitupun, Paklik Sobirin, dan Paklik Junet yang kebetulan lewat dan mendengar percakapan kami. Keduanya langsung masuk, mulut mereka terbuka lebar, dengan mata yang berkaca-kaca.     

"A... apa itu benar, Juragan? A... apa itu berarti Ndoro Manis... Ndoro Manis telah mengandung anak dari Juragan Arjuna?" tanya Paklik Sobirin dengan senyuman yang merekah.     

Kupandang mereka satu persatu, kemudian aku mengangguk sembari berkata, "ya, Ndoro Manis telah mengandung anakku,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.