JURAGAN ARJUNA

BAB 269



BAB 269

0Sejenak, mereka tampak terdiam. Kemudian saling pandang satu sama lain. Namun setelah itu, ketiganya langsung bersorak-sorai, seolah mereka telah memenangkan undian berhadiah. Aku sama sekali ndhak menyangka, jika kabar kehamilan istriku akan sangat membuat mereka bahagia. Bahkan kurasa, mereka ndhak pernah sebahagia ini sebelumnya.     
0

"Duh Gusti, selamat, ya, Juragan, Ndoro. Akhirnya yang dinanti selama ini datang juga, toh. Akhirnya kalian diberi kepercayaan oleh Gusti Pangeran untuk memiliki seorang buah hati,"     

"Benar kata Sobirin, Jun. Aku benar-benar ndhak sabar ini, lho, untuk menimang cucu. Duh Gusti, Duh Gusti... terimakasih atas berkahmu ini!"     

"Lha bukannya Abimanyu juga cucu Paklik Junet?" kubilang, Paklik Junet malah mencibir.     

"Apanya, aku kalau sama Abimanyu itu, ndhak boleh dekat-dekat sama Rianti. Terlebih, pernah sekali kuajak pergi, malah-malah dia mengbabiskan uangku karena minta gundu (kelereng) tekor aku,"     

Aku dan Manis pun tertawa mendengar penuturan dari Paklik Junet itu. Hanya sebatas kelereng saja dia langsung ndhak mau mengakui kalau Abimanyu adalah cucunya juga, dasar Paklik Junet.     

"Ini baru kelereng, Paklik. Nanti tatkala anakku sudah lahir, lantas dia memintamu membelikan mainan yang lebih mahal bisa-bisa anakku kamu sumpahi ndhak karu-karuan,"     

Semua orang yang ada di sana pun tertawa, membuat Paklik Junet agaknya mendengus. Sepertinya, dia benar-benar sebal dengan guyonanku sekarang.     

"Ya sudah, ndhak usah bercanda lagi, toh. Hari ini, aku ingin meminta bantuan kepada tiga kawanku yang baik hati ini, untuk memberikan warga kampung sembako, dan semuanya harus diberikan secara merata. Anggap saja ini sebagai raha syukurku kepada Gusti Pangeran karena telah memberiku hadiah yang ndhak ternilai ini. Itu sebabnya aku ingin berbagi kebahagiaan ini kepada mereka."     

"Siap, Juragan!"     

Ke tiga orang itu lantas pergi, membuatku dan Manis saling pandang. Kemudian, kami tertawa sendiri.     

"Dasar mereka," kubilang, Manis mengangguk kuat-kuat.     

"Ndhak bisa kubayangkan kalau anak kita lahir laki-laki, Kangmas. Jangan-jangan mereka akan mengajari anak kita yang aneh-aneh,"     

Aku juga ndhak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika anakku kelak adalah laki-laki. Bisa-bisa, aku ndhak punya waktu untuk mengurus anakku gara-gara sudah diurus oleh mereka bertiga.     

"Duh Gusti, pasangan suami—istri ini, kok pulang ndhak memberi kabar, toh,"     

Aku menoleh mendengar suara itu, ternyata Wangi sudah di ambang pintu. Manis tampak lebih bahagia, lihat saja betapa dia langsung menggeser duduknya kemudian menyuruh Wangi untuk segera masuk. Padahal aturannya, ini adalah kamar pribadi Juragan, yang ndhak sembarang orang bisa masuk. Bagaimana bisa, kamar pribadi kini seperti kamar di sebuah rumah sakit, yang siapa pun boleh datang untuk berkunjung.     

"Sini saja di luar, lihat bagaimana mimik wajah dari suamimu itu. Seperti singa yang hendak menerkam mangsanya,"     

Kulirik Wangi yang tersenyum sinis ke arahku, kemudian kutuntun juga Manis untuk keluar. Menuju ke tempat tamu biasanya duduk, tentu saja. Tapi, selain balai tamu. Tempat ini lebih masuk ke dalam, ruangannya ndhak begitu lebar. Kursinya hanya kursi berbentuk bundar dan hanya berjumlah empat. Kata Romo, dia sengaja membuat balai ini kalau-kalau ingin menjamu kawannya yang akrab, sebab di sini langsung menghadap ke arah kamar-kamar pribadi si empunya kediaman. Juga ada sebuah perpustakaan kecil, jikalau tamunya bosan bisa membaca sembari menikmati pemandangan samping rumah yang penuh dengan hijau-hijauan juga ndhak lupa, sepetak kecil kolam ikan yang pengairannya dari bambu. Kolam itu diisi oleh ikan emas, karena kata Romo barang siapa yang bisa merawat ikan emas dalam jumlah genap, maka ia akan hidup bahagia. Entah benar apa endhak, kok ya aku baru mendengar hal itu sekarang.     

Kupapah Manis untuk duduk dengan sangat hati-hati, membuat Wangi yang melihatku memperlakukan Manis seperti ini pun menarik sebelah alisnya. Aku yakin, jika dia pasti bingung dengan perlakuanku kepada Manis.     

"Kamu ini berlebihan sekali, toh. Wong ya Manis hanya mau duduk saja kok ya harus dipapah dan didudukkan seperti itu. Memangnya Manis itu lumpuh!" marahnya kepadaku. Dasar perempuan macan, paling pandai benar bicara kasar.     

"Aku hanya ingin lebih hati-hati dalam menjaganya, agar sesuatu yang berharga dalam dirinya terjamin keselamatannya," kujawab. Tapi, Wangi sudah mengabaikanku, membuat Manis langsung menepuk bahuku seolah menyuruhku untuk diam, dan duduk.     

"Aneh-aneh saja, kamu memangnya ndhak mengurusi kebunmu, toh? Sudah lama kamu berada di Jakarta dan pulang-pulang kenapa duduk manis di rumah saja itu, lho."     

"Lha kok dirimu yang sewot itu bagaimana, toh? Istiku saja ndhak protes sama sekali kalau aku duduk di rumah. Aku ini ingin mengurus istriku tercinta, apa itu salah?"     

Wangi kembali memutar bola matanya, kemudian dia bersedekap sembari memandang wajahku dengan tatapan menyebalkannya itu.     

"Bicara sama kamu itu seperti bicara dengan pengacara. Ndhak mau pernah mengalah, dan mengakui salah. Lebih baik, aku diam saja," putusnya kemudian.     

Manis yang merasa ndhak enak hati pun langsung mengelus punggung tangan Wangi, untuk kemudian dia memukul lenganku dengan kencang. Sepertinya, di mata Manis aku yang salah sekarang.     

"Mbakyu Wangi, ndhak usah kamu pedulikan Kangmas, toh. Kamu, kan, dulu kawannya, pasti kamu lebih tahu perihal wataknya yang selalu ingin menang sendiri itu," Duh Gusti, istriku ini... kenapa dia ndhak bisa barang sekali saja memujiku, toh. Kenapa gemar benar dia menjelek-jelekkanku terlebih di depan perempuan menyebalkan itu. "Ohya, Mbakyu Wangi ada apa ke sini? Apakah rindu aku, toh?"     

"Iya, aku dapat kabar dari Romo kalau kamu baru saja pulang dari Jakarta setelah sekian lama ndhak bertemu. Itu sebabnya aku memutuskan untuk mengunjungimu. Bagaimana kabarmu, apakah kamu baik? Kok aku dengar dari penduduk kampung kalau kamu sakit,"     

Manis tersenyum simpul, kemudian dia kembali mengelus punggung tangan dari Wangi. Mata bundarnya memandang Wangi dengan begitu hangat, sebuah pandangan yang jika aku memandangnya pasti akan sangat menyejukkan hati.     

"Aku ndhak apa-apa, Mbakyu. Terimakasih sudah sudi untuk mengkhawatirkanku. Perkara rindu, aku juga sangat merindukanmu, toh. Tapi, mengejar pelajaran kuliah agar bisa cepat lulus itu rupanya adalah perkara yang ndhak mudah sama sekali. Menyita waktu, tenaga, juga pikiran,"     

Wangi tertawa mendengar keluh-kesah Manis itu, kemudian dia mengambil buah tangan yang baru saja ia bawa. Diserahkan kepada Manis, membuat Manis melihat buah tangan itu kemudian memeluknya dengan erat.     

"Terimakasih, Mbakyu. Aku sudah dengan dasternya."     

"Kamu tahu, ndhak ada yang namanya belajar itu mudah dalam dunia pendidikan, terlebih jurusan yang kamu ambil memang jurusan yang termasuk susah. Ndhak usah diambil pusing, yang jelas sekarang kamu sudah menikmati hasinya, toh? Tinggal nunggu lulus?" tanyanya, Manis mengangguk semangat. "Perkara daster itu, aku sendiri yang membuat. Belajar darimu dulu, semoga pas dan kamu suka, ya,"     

"Suka... suka sekali, Mbakyu."     

"Arjuna, kenapa kamu tidak datang ke rumah pintar!"     

Percakapan Manis, dan Wangi harus terhenti, tatkala Setya memotong pembicaraan mereka.     

Mata Setya langsung melotot ke arah Wangi begitu pun sebaliknya. Sambil saling tunjuk, mereka pun berkata,     

"Kamu?!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.