JURAGAN ARJUNA

BAB 270



BAB 270

0"Kamu?!" kata Setya, dan Wangi bersamaan.     
0

Aku menoleh ke arah Setya, lihatlah mimik wajahnya tampak begitu bahagia. Iya, aku lupa memberitahu kepada kalian. Setya, dan Wangi adalah kawanku saat kuliah. Jadi secara otomatis meski mereka ndhak satu jurusan, mereka beberapa kali bertemu karenaku. Dan tentu, dari mimik wajah mereka kalian bisa menebak bagaimana situasinya kala itu.     

Setya yang memandang Wangi dengan tatapan penuh cinta, tapi sebaliknya Wangi memandang Setya dengan tatapan sebal ndhak terkira.     

Aku tersenyum melihat Wangi yang tampak bersedekap, sembari memalingkan wajahnya ke arah lain. Sementara Setya, langsung bergegas mendekat ke arah Wangi.     

Manis tampak heran bukan main, tapi kuisyaratkan dia untuk ndhak menganggu dua insan yang sedang meluapkan rasa rindu itu.     

"Lho, Wangi, kamu berada di sini? Apakah kita memang ditakdirkan bertemu? Bagaimana bisa setelah sekian lama kita tidak bertemu Tuhan mempertemukan kita dengan cara semenyenangkannya ini?"     

Setya hendak memeluk Wangi, tapi dengan cepat Wangi mendorong Setya sampai Setya hampir jatuh ke lantai. Kutahan rasa geliku, sementara Manis tampak kaget dengan perlakuan kasar dari Wangi itu. Dia mungkin ndhak pernah tahu, kalau selama ini Wangi yang dipikir lembut, bisa sekasar itu dengan laki-laki.     

"Tidak usah besar kepala, kamu! Takdir busuk mana yang mempertemukan kita? Asal kamu tahu, rumahku di Berjo, dekat sini! Jadi, tidak usah terlalu berharap akan hal yang tidak mungkin terjadi!" marahnya.     

Dia kemudian memandang ke arahku, tatapannya tampak tajam, seolah adanya Setya di sini dan pertemuan mereka adalah salahku juga.     

"Lho, aku ndhak tahu ini. Setya ke sini memang aku sedang butuh dia untuk membantu mengobati warga kampung. Sementara kamu, salah sendiri kamu ke sini ndhak bilang-bilang. Jadi, aku ndhak sempat memberitahumu kalau Setya di sini juga,"     

"Kenapa toh kamu itu menyebalkan, Arjuna!" marah Wangi pada akhirnya. Manis langsung mencubit pinggangku, seolah gemas denganku. Tapi jujur, aku berani sumpah, aku benar-benar lupa kalau ada Wangin, dan Setya berarti akan ada keributan yang luar biasa. Sebab, fokusku sekarang adalah Manis, bukan yang lainnya lagi.     

"Wangi, janganlah kamu marah-marah. Sudah lama kita tidak ketemu, apa kamu tidak rindu aku? sini, duduklah dulu. Aku saja baru sampai dari rumah pintar, ini. Mengurusi warga kampung yang keracunan."     

"Aku tidak tanya," ketus Wangi lagi.     

Dia masih enggan duduk, tapi kutarik tangannya agar dia ikut duduk. Ndhak berapa lama, Bulik Sari datang membawa cemilan dan minuman, kemudian mereka memakan cemilan itu dalam diam.     

"Kangmas, sebenarnya ini ada apa, toh? Bagaimana bisa Mbakyu Wangi bisa sebenci itu dengan Pak Dokter Setya?" bisik Manis pelan-pelan. Aku kembali mengulum senyum, andaikan dia tahu cerita di balik ini semua, pastilah dia akan benar-benar paham bagaimana bisa Wangi semarah itu kepada Setya bahkan sampai sekarang.     

"Ini ibarat kata, cinta bertepuk sebelah tangan, Sayang. Jadi, biarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri," jawabku.     

"Wangi kamu tahu kan aku belum menikah, belum punya pacar pula. Aku benar-benar masih lajang...," kata Setya semangat. Tapi, Wangi sama sekali ndhak mempedulikan ucapan dari Setya sama sekali, wajahnya pun masih dipalingkan ke arah lain, apa ndhak capek itu, lho. "Aku sedang mencari istri, siapa tahu kamu ingin," lanjut Setya yang berhasil membuat Wangi melotot ke arahnya. Bahkan mata bulatnya itu hampir keluar sepenuhnya karena pelototannya itu.     

"Enak saja, bahkan bumi kiamat pun aku tidak sudi. Tentunya juga kamu tahu, kan, dari dulu siapa laki-laki yang kucinta. Bahkan sampai sekarang cinta itu tetap sama, tidak akan berubah sedikit pun!" geram Wangi.     

Setya yang masih tersenyum pun menanggapi ucapan Wangi dengan santai. Ya seperti itulah Setya, beribu ucapan pedas yang dikatakan Wangi benar-benar ndhak akan pernah bisa membuat hatinya sakit.     

"Tapi bagaimana, tuh Arjuna sudah ada Manis. Manis bahkan sudah hamil, lagi," kata Setya.     

Wangi langsung menoleh ke arah Manis, dia hendak tersenyum girang tapi buru-buru dia melotot sambil menggenggam tangan Manis erat-erat.     

"Lalu kenapa kalau Manis hamil? Seorang Juragan sah-sah saja memiliki banyak istri. Lagi pula, Manis juga sudah menerimaku sebagai istri kedua suaminya. Iya, kan, Manis?" kata Wangi lagi, kini dia memandang Manis seolah meminta Manis untuk ikut bersandiwara dengannya.     

Tapi, Manis tetaplah Manis. Berbohong saja ndhak bisa apalagi disuruh bersandiwara. Dia hanya mengsem, dengan wajah kakunya itu.     

Merasa jika Setya masih ndhak percaya, Wangi lantas berdiri, kemudian duduk di sampingku. Mrengkuh lenganku sembari merebahkan kepalanya di bahuku. Aku berusaha melepaskan rengkuhannya, tapi tangannya menahanku sambil melotot ke arahku. Duh Gusti, bagaimana bisa aku dan istriku terjebak oleh permainan dua manusia menyebalkan ini.     

"Ya, toh, Kangmas Sayang?" tanya Wangi. Aku ndhak menjawab, tapi kakiku langsung diinjak kakinya yang memakai sepatu itu. Sakitnya bukan main. "Iya, toh, Kangmas?" katanya lagi.     

Kulirik Setya sembari menyipitkan mataku karena menahan sakit ini, kemudian aku mengenggaguk sekenaku.     

"Iya, Sayang... iya, puas?" kubilang pada akhirnya.     

Setya pun langsung tertawa dibuatnya, membuat wajah Wangi merah padam. Memangnya, siapa aku dan Setya, kami adalah kawan baik lebih dari siapa pun. Dan Setya paling tahu aku kalau aku ndhak akan pernah jatuh hati dengan Wangi. Tapi, Setya ndhak mau mengatakan apa pun, karena dia ndhak mau membuat usaha Wangi untuk bersandiwara terbongkar, dan dia akan malu karena itu.     

"Ya sudah, ya sudah... terserah kamu saja...," putus Setya pada akhirnya. "Aku lapar, mau sarapan dulu. Wangi, kamu tidak mau menemaniku sarapan?" ajak Setya lagi.     

"Cuih! Aku tidak sudi!" katanya.     

Setya kembali tertawa kemudian dia berpamitan denganku, dan Manis untuk masuk ke dalam. Kemudian, Wangi melepaskan rengkuhannya, pindah duduk di antaraku dan Manis kemudian menggenggam bahu Manis dengan semangat.     

"Kamu hamil, Manis? Duh Gusti, kenapa kamu ndhak bilang kepadaku tadi, toh. Kenapa kabar baik ini ndhak kamu beritahukan kepadaku?" katanya semangat. Lihatlah, bagaimana semangat perempuan itu, seolah-olah dialah yang sedang hamil sendiri.     

"Iya, Mbakyu, aku hamil. Aku saja ndhak tahu, baru tahu kemarin. Rasanya benar-benar ndhak percaya bahkan sampai detik ini kalau aku tengah hamil,"     

Kini Wangi melirik ke arahku sembari menarik ujung bibirnya, seolah dia sedang menilaiku yang sedari tadi tampak aneh.     

"Pantas saja suamimu ndhak mau kemana-mana dan maunya mengurusi kamu. Ternyata istri tercintanya sedang hamil, toh,"     

"Baru sadar?" kujawab. Wangi kembali mencibir.     

"Nanti kalau usia kandunganmu sudah besar, kita harus pergi berbelanja beberapa barang-barang untuk anakmu, ya."     

"Ndhak akan aku izinkan," putusku. Aku sudah cukup trauma dengan kejadian Widuri dulu. Jadi, aku ndhak mau mengulang hal yang mengerikan itu lagi. Manis, hanya akan di rumah sampai melahirkan. Dia hanya boleh pergi keluar tatkala sedang kuliah. Itu saja, titik!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.