JURAGAN ARJUNA

BAB 271



BAB 271

0"Kamu ini kenapa, toh, Arjuna? Punya dendam dengan aku apa, toh? Kok ya aku ingin pergi dengan Manis berdua saja ndhak boleh itu, lho. Aku juga ingin ikut merayakan kebahagiaan kalian," kata Wangi yang sepertinya tersinggung dengan ucapanku.     
0

Manis langsung menarik tangan Wangi, sampai perempuan itu memandangnya. Kemudian, Manis memandangku sekilas.     

"Bukan seperti itu, Mbakyu. Kamu sedang salah paham kepada Kangmas...," katanya pada akhirnya. "Mungkin Kangmas ndhak memperbolehkan aku pergi denganmu itu ndhak lebih karena dia masih trauma waktu kejadian dulu di Jakarta."     

"Kejadian apa, Manis? Adakah sesuatu hal buruk yang terjadi di Jakarta?" tanya Wangi yang mendapatkan anggukan kepada Manis.     

"Iya, Mbakyu. Sebenarnya beberapa waktu yang lalu, ada kawanku yang sedang menginap di rumah untuk beberapa hari. Kebetulan kawanku itu sedang hamil besar. Dan pada malam dia mengajakku juga Kangmas pergi, kawanku itu mengalami kecelakaan yang menewaskan dirinya juga anak yang ada di dalam perutnya, Mbakyu. Terlebih... terlebih...," kata Manis terhenti, dia tampak menelan ludahnya dengan susah. "Terlebih, aku dan Kangmas juga pernah kehilangan buah hati kami dengan cara menyakitkan. Mungkin itu yang menjadi salah satu hal yang membuat Kangmas lebih hati-hati di kehamilanku kali ini."     

Aku diam, mataku ndhak bisa lepas dari wajah Manis. Rasanya aku ingin menangis tatkala dia menceritakan kejadian-kejadian pilu itu secara lancar. Bisa saja dia bilang jika kawan yang dia maksud adalah Widuri, perempuan yang telah dihamili suaminya sendiri. Bisa pula dia ndhak perlu membahas masalah kandungannya yang lalu, karena jelas kenangan itu adalah kenangan terburuk baginya. Tapi, melihatnya bisa menceritakannya seperti ini, adalah hal yang benar-benar luar biasa bagiku.     

"Lho, kamu pernah keguguran, Manis? Kapan? Duh Gust, kok aku ndhak tahu kabar itu, toh?" kata Wangi yang berhasil membuat Manis agaknya bingung harus menjawabnya seperti apa.     

"Sudah dulu, Mbakyu," jawabnya ndhak mantab.     

Aku langsung berdiri, kemudian menarik tangan Manis untuk berdiri bersamaku. Wangi tampak memandangku dengan tatapan bingungnya.     

"Ndhak usah banyak tanya, itu bukan urusanmu," ketusku.     

"Arjuna Hendarmoko, kamu bukan laki-laki hidung belang, toh?" selidik Wangi yang agaknya mulai menangkap apa maksud dari ucapan Manis.     

"Istriku tercinta ini mau istirahat, jadi kamu pulang atau ikut makan di dalam?" tawarku pada akhirnya.     

Wangi berdiri, dia hendak melangkah ke dalam tapi dia berhenti. "Endhak, ah. Aku mau ke rumah pintar saja, di dalam ada perjaka tua yang ndhak tahu diri," ucapnya kemudian.     

Dasar Wangi, melihat Setya seperti melihat dhemit dari mana. Aku bahkan ndhak pernah mengira, jika rasa sebalnya kepada Setya akan mendarah daging sampai detik ini. Kurasa dulu rasa sebal itu hanya rasa sebal sementara, bahkan dulu aku berpikir jika Wangi dan Setya bisa dapat bersama. Tapi nyatanya, Gusti Pangeran punya cara lain untuk setiap takdir umatnya.     

****     

Pagi ini aku sudah berada di Berjo, untuk melihat kebun tembakau yang bibitnya adalah hasil dari pengolahan Bima beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya, ini adalah panen di Berjo yang ke-sekian kali, sebab sudah berapa tahun aku bahkan ndhak sempat berkunjung ke sini. Melihat kualitasnya, benar-benar membuatku takjub, bahkan kata mandor yang ada di sini. Sampai sekarang bahkan sampai musim tikus turun gunung, mereka ndhak bisa lagi merusak tanaman-tamanan yang ada di kebun.     

"Rasanya sudah berapa tahun Juragan ndhak berkunjung ke sini. Rindu juga melihat Juragan tatkala sedang meninjau kebun dengan Paklik Sobirin, mengikat tangan Juragan di belakang sembari mengitari satu demi satu lahan yang ada di sini," kata salah satu mandor di perkebunan.     

Aku tersenyum saja mendengar hal itu, rasanya bersalah juga. Sebab sudah terlalu lama ndhak kembali ke kampung halaman.     

"Ohya, Paklik untuk beberapa tahun ini panen dan masalah perawatan ndhak ada masalah, toh? Semuanya lancar?" tanyaku mengabaikan ucapannya yang tadi.     

Mandor itu tampak mengangguk kuat, kemudian dia memberikan sebuah buku catatan yang membuatku mengambil buku itu kemudian memeriksanya dengan seksama.     

"Berkat Juragan Bima, semuanya jadi aman terkendali, Juragan. Dia memiliki cara modern untuk membuat tikus-tikus hutan itu ndhak kembali lagi dan merusak perkebunan kita. Sepertinya ucapan Juragan Arjuna memang benar adanya, jika sebenarnya teknologi dan kemajuan zaman bukanlah hal buruk untuk alam pertiwi kita. Jika kita mampu menggunakannya dengan bijak, maka hal itu akan sangat bermanfaat bagi kita semua, iya, toh?" katanya. Aku mengangguk menjawabi ucapannya, kemudian kutepuk pundaknya beberapa kali.     

"Bagaimanapun, yang penting antara alam dan teknologi modern berjalan dengan seimbang, dan selaras, maka semuanya akan menjadi lebih baik. Semuanya untung, dan hasil alam akan menjadi berlipat lebih berkualitas serta lebih banyak dari yang sebelumnya. Iya, toh?"     

"Benar, Juragan, saya setuju!"     

"Sudah, aku pergi ke sana dulu. Teruskan pekerjaanmu yang luar biasa ini, toh."     

"Siap, Juragan!"     

Aku langsung melangkah pergi, menyusuri jalan setapak yang ada di perkebunan. Sembari melihat arak-arakan Bulik-Bulik yang baru saja pulang dari kebun. Melihat mereka itu benar-benar sejuk sekali. Sebuah potret khas penduduk pedesaan yang ndhak akan pernah bisa ditemui di mana pun itu.     

"Juragan! Selamat pagi!" sapa para Bulik itu. Hanya menjawabinya dengan anggukan, sembari tesenyum sekenaku. Untuk kemudian, aku mendekat ke arah Paklik Sobirin yang masih sibuk dengan beberapa hal lainnya.     

"Bagaimana, sudah beres belum, Paklik?" tanyaku.     

"Belum, Juragan. Masih ada beberapa hal yang belum dicatat untuk dibeli ke kota," jawabnya.     

Aku mengangguk saja, kemudian memilih duduk di atas kayu besar yang kemungkinan baru saja rubuh. Kulihat pemandangan sekitar, kemudian aku kembali menatap birunya langit yang ada di atasku. Awan putih tampak berarak-arakan dengan begitu tenang, membuat damai hati siapa pun yang melihatnya saat ini.     

"Juragan,"     

"Hm?"     

"Sedang melihat apa, toh, Juragan? Kok ya asyik benar?" tanya Paklik Sobirin, sepertinya dia cukup penasaran dengan arah pandangku.     

"Aku sedang memandang sesuatu yang indah."     

"Apa itu, Juragan?"     

"Yang jelas bukan wajah jelekmu itu, Paklik," jawabku. Paklik Sobirin tampak diam.     

"Dulu, tempat ini, jauh... jauh lebih asri dan indah dari pada yang ada sekarang ini, Juragan. Dulu di setiap malam minggu ada pargelaran wayang kulit. Ndoro Larasati, dan Juragan Nathan sering bertandang ke sini. Tempat ini juga adalah salah satu tempat kenangan terindah Ndoro Larasati, dan Juragan Adrian,"     

"Karena Biung menjalani sebagian besar hukuman diasingkan itu di sini, bukan?" tebakku. Paklik Sobirin mengangguk.     

"Asal Juragan tahu, ndhak hanya hal sedih saja, toh, yang menjadi saksi atas cinta Juragan Adrian dan Ndoro Larasati. Dulu... di sana itu...," kata Paklik Sobirin sambil menunggu sebuah tempat yang agak kosong dan lapang. "Di situ ada sebuah pasar. Sekarang pasarnya telah dipindah tempat. Dan Juragan tahu, saking rindunya Juragan Adrian ingin jalan-jalan dengan Ndoro Larasati, dia sampai berpakaian lusuh, sampai dikira penduduk miskin oleh Bulik-Bulik penjual yang ada di pasar. Kisah cinta mereka itu benar-benar indah, Juragan. Ndhak bisa diungkapkan dengan kata-kata."     

Aku diam mendengar penuturan itu, indah.... pasti akan sangat indah. Sebab kalau endhak, mana mungkin ruh Romo Adrian masih terus membayang-bayangi Biung ke mana pun Biung pergi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.