JURAGAN ARJUNA

BAB 272



BAB 272

0"Paklik, apakah kamu pikir aku ini ndhak romantis?" tanyaku tiba-tiba. Paklik Sobirin tampak memandangku dengan tatapan bingungnya, membuatku membalas pandangan anehnya itu. "Aku merasa sepertinya aku ndhak seromantis romo-romoku. Mengetahui kisahnya dari Paklik, dan membaca buku yang dibuat oleh Romo dan Biung benar-benar membuatku sangat iri dibuatnya."     
0

Paklik Sobirin lantas tersenyum, mendengar ucapanku itu. Seolah-olah ucapanku sangat lucu baginya. Aku kembali menundukkan kepalaku, kemudian menggaruknya yang mendadak terasa gatal. Entah kenapa tatkala membahas masalah cinta seperti ini, aku benar-benar merasa ndhak percaya diri. Aku merasa jika aku jauh dari segalanya dari romo-romoku.     

"Juragan, apa, toh yang Juragan katakan. Sejatinya semua orang memiliki caranya sendiri untuk mencintai. Benar mungkin Juragan Arjuna tampak ndhak seromantis Juragan Adrian, dan Juragan Nathan dalam urusan cinta, dan menunjukkannya dengan nyata. Namun percayalah, semua orang pun tahu jika cinta Juragan Arjuna itu nyata adanya. Meski, cara menunjukkannya memang berbeda. Ndhak ada yang pernah sama, Juragan. Setiap orang ditakdirkan dengan cara yang berbeda-beda. Toh buktinya, Ndoro Manis tetap mencintai Juragan dengan apa adanya. Bukankah itu lebih dari mendebarkan?" kata Paklik Sobirin sembari menarik turunkan alisnya. "Coba Juragan pikir, kira-kira laki-laki mana yang bisa seberuntung Juragan bisa mendapatkan perempuan seperti Ndoro Manis di dunia ini? Aku rasa ndhak ada, bahkan nyaris benar-benar ndhak ada. Dari segi sifat, ilmu pengetahuan, dan rasa cinta yang besar kepada Juragan sudah lulus uji dan ndhak perlu diragukan lagi. Lantas dengan hal seperti itu, Juragan masih iri dengan kisah cinta yang mana lagi?"     

Aku tertawa mendengar ucapan dari Paklik Sobirin itu. Ucapannya kadang-kadang seperti orang benar saja, toh. Tumben benar dia bisa berkata-kata seperti itu? kupikir, yang dia tahu hanya tentang mengurusi kerbau-kerbaunya yang banyak itu.     

"Halah Paklik, Paklik. Kesurupan lelembut mana, toh, kamu ini? Tumben benar ucapannya seperti orang benar. Biasanya, kalau ndhak ruwet yang ndhak nyambung,"     

"Bagaimana lagi, toh, Juragan. Saya sedang sangat dilema dan Bingung perkara bulikmu Amah, Juragan malah ikut-ikutan bikin bingung,"     

"Kenapa, toh, Paklik? Tumben benar Bulik Amah bikin Paklik bingung,"     

Paklik Sobirin lantas menghela napasnya berat, kemudian dia ikut duduk di sampingku. Matanya memandang ke arah depan dengan tatapan sayunya. Lagi, dia kembali menghela napas beratnya lagi.     

"Bagaimana endhak, toh, Juragan. Kemarin, tatkala kami pulang ke rumah. Saya hanya minta dikerokin, tapi dia marah-marah. Saya bilang kepadanya, kalau dia ndhak mau ngerokin ya sudah. Aku mau mencari istri baru saja yang mau merawatku tatkala aku sakit. Tapi, apa yang kuucapkan malah menjadi bumerang. Dia semakin murka, dan melempar semua yang ada di rumah dengan beringasnya. Kemudian, dia berkata kalau dia ndhak peduli kalau saya kawin lagi. Dan sampai detik ini, dia ndhak mau berbicara kepadaku sama sekali,"     

Aku tertawa mendengar ceritanya itu. Jadi, masalah ini hanya sekadar minta kerok, toh. Duh Gusti mereka ini ada-ada sekali.     

"Juragan ndhak usah tertawa, toh. Asal Juragan tahu, orang yang punya kawan dekat, jika satu di antaranya mengalami kesialan dalam urusan cinta, maka percayalah, orang lainnya pun akan merasakan hal yang sama."     

"Kamu menyumpahiku?" tanyaku ndhak terima. Paklik Sobirin tampak mencibir.     

"Endhak, Juragan. Mana mungkin, saya menyumpahi Juragan. Saya hanya bilang yang saya tahu," jelasnya. Dasar orangtua ini, ternyata dia sudah berani juga untuk bersilat lidah kepadaku, toh.     

"Lagi pula, kenapa Paklik ndhak bilang kalau kemarin Paklik ndhak enak badan? Di rumah ada banyak dokter, Paklik bisa berobat dengan tenang, toh."     

"Saya ndhak mau dengan dokter, Juragan. Saya takut," ucapnya. Ohya, aku lupa, Paklik Sobirin ini kan takut disuntik oleh dokter.     

"Ya sudah begini saja, bagaimana jika Paklik memetikkan bunga kepada Bulik Amah? Kemudian Paklik berikan dengan romantis. Asal Paklik tahu, semua perempuan itu menyukai bunga. Aku jamin, Bulik Amah akan luluh dengan usaha tulus yang Paklik lakukan kepadanya,"     

"Benarkah itu, Juragan?" tanyanya penuh harap. Aku mengangguk kuat-kuat kemudian menepuk bahunya dengan mantab.     

"Benar, aku jamin, setelah ini pasti Bulik Amah ndhak akan pernah mau jauh dari Paklik Sobirin lagi."     

Dan setelah itu, sebuah senyum langsung mengembang. Paklik Sobirin lang bergegas mengambil bunga kertas dan bunga mawar aneka warna yang tumbuh liar di sisi kanan jalan, dan membuatku mau ndhak mau ikut juga. Bunga-bunga mawar ini, sangat sayang jika layu dengan percuma. Aku harus mengambil beberapa batangnya juga, agar bisa ditanam Manis di pekarangan depan rumah. Melihatnya tumbuh mekar dengan semerbaknya yang nyata, bukankah itu adalah pemandangan paling indah yang ndhak terkira?     

Setelah merasa cukup memetik bunga, kami pun memutuskan untuk pulang. Paklik Sobirin, tampak mengikat bunga-bunga itu dengan sangat rapi. Membuatku iri dibuatnya. Rupanya, salah satu bakat dari Paklik Sobirin selain menjadi abdi dalem adalah merangkai bunga dengan sangat sempurna.     

Ndhak berapa lama, kami pun sampai. Paklik Sobirin buru-buru mencari di mana keberadaan Bulik Amah karena hendak diberi kejutan. Sementara aku bergegas masuk ke dalam kamar, karena ingin memberikan bunga cantik ini kepada perempuan cantik di muka bumi.     

Kuketuk pintu kamar dengan ndhak sabaran, membuat Manis yang ada di dalam pun bersuara. Ndhak lama dari itu pintu kamar terbuka, membuatku bersembunyi, dan hanya mengulurkan bunga mawar itu di depan pintu.     

Manis terdiam, ndhak ada apa pun yang terjadi selain hening. Membuatku pelan-pelan keluar dariku bersembunyi, dan melihat Manis yang masih memandang ke arah bunga-bunga itu dengan wajah masamnya.     

"Bunga cantik untuk perempuan cantik di seluruh negeri," kubilang, kuraih punggung tangannya, kemudian kukecup dengan mesra. Tapi yang ada adalah, bukannya aku dipeluk atau dia akan mengatakan terimakasih atau apa. Malah-malah Manis tampak berkacak pinggang sembari memandangku dengan tatapan garangnya itu. Jujur, aku benar-benar ndhak tahu, bagaimana ceritanya dia sampai marah kepadaku, toh. Aku hanya ingin memberinya kejutan romantis, lantas kenapa harus berakhir seperti ini. Apa dia ndhak suka bunga? Tapi aku tahu pasti, jika dia sangat gemar untuk menanam bunga.     

"K... kamu kenapa, Sayang?" tanyaku. Manis kini bersedekap.     

"Bunga-bunga yang kamu rusak dari kebun siapa, Kangmas?" tanyanya. Merusak? Siapa yang merusak bunga, toh? Aku hanya memetiknya. Bukankah lebih baik membawanya pulang dari pada membiarkannya layu dan mengering begitu saja di pohonnya?     

"Kamu ini bicara apa, toh? Siapa yang merusak? Lihat... ini, bukankah sangat cantik? Aku memetikkan bunga-bunga cantik ini untukmu, Sayang."     

"Yang Kangmas lakukan itulah yang disebut merusak. Apa Kangmas ndhak paham dengan ucpaanku, toh," katanya pada akhirnya. "Bunga itu juga makhluk hidup, Kangmas, yang sama seperti kita. Jika Kangmas memetiknya dengan cara brutal seperti ini, itu sama saja jika Kangmas membunuh mereka dengan sengaja. Apa Kangmas ndhak paham masalah itu?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.