JURAGAN ARJUNA

BAB 273



BAB 273

0"Lho, kamu kok marah, toh, Sayang? Aku kan ingin memberimu kejutan dengan memberi bunga. Kenapa kamu malah marah-marah denganku?" tanyaku yang masih ndhak terima.     
0

Aku masuk ke kamar, sementara Manis sudah mendiamiku. Duh gusti, salah apa aku ini, sampai dia mendiamiku seperti ini. Hanya masalah bunga mawar saja, lho, dia sampai semarah itu. Apa benar kata Paklik Sobirin, kalau marahnya perempuan itu menular? Jika benar, amit-amit sekali, lebih baik aku ndhak berteman dengan Paklik Sobirin agar dia ndhak menularkan hal-hal buruk kepadaku.     

"Tapi kasihan bunganya, Kangmas."     

"Sayang, tanaman ini adalah tanaman liar. Dari pada aku ndhak tega melihatnya mati dengan sia-sia bukankah lebih baik kupetik? Nanti, kita bisa menaruhnya dibotol yang diberi air, agar dia awet sebagai hiasan kamar kita. Lagi pula, aku sudah mengambil beberapa pohonnya, agar kamu bisa menanamnya di taman rumah kita."     

Manis masih diam, hal itu benar-benar membuatku hilang akal. Harus bagaimana aku merayunya? Agar dia bisa bicara kepadaku.     

Lantas, aku melihat Suwoto tampak lewat di depan kamarku, membuatku berjalan ke arahnya.     

"Suwoto, bisa kamu ke sini sebentar?" panggilku.     

Suwoto langsung masuk, sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dengan sungkan, dia melihat ke arahku.     

"Ada apa, Juragan?" tanyanya sopan.     

"Kamu tahu, toh, hutan yang ada di Berjo. Yang ndhak jauh dari telaga yang kata penduduknya angker itu? Di sana ada banyak bunga mawar yang tumbuh. Ambil semua bunga-bunga itu kemudian suruh abdi perempuan untuk menanamnya di rumah kita."     

"Kangmas...."     

Aku langsung menoleh ke arah Manis, yang rupanya sudah memandangku dengan mata nanarnya. Sepertinya, dia benar-benar kesal kepadaku kali ini.     

"Aku ndhak tega melihat bunga-bunga itu mati begitu saja tanpa ada merawat. Jika kamu marah aku memetiknya atau bahkan mengambil beberapa tangkainya. Bukankah lebih baik kusuruh Suwoto untuk mengambil semua mawar liar untuk kemudian kupindah tanam di sini? Biar para abdi bisa mengurus bunga-bunga itu. Bunga-bunga itu bisa tumbuh dengan subur di sini."     

Manis lantas menyuruh Suwoto pergi, kemudian dia kembali memandang ke arahku. Mengatur napasnya berkali-kali seolah benar berbicara denganku adalah hal yang menguras emosi.     

"Kangmas ini benar-benar seperti Biung Larasati, toh. Tapi kurasa Kangmas ini benar-benar aneh sekali. Antara ndhak tegaan, atau malah menyebalkan. Mana yang sebenarnya menjadi sifat dasar dari Kangmas?" tanya Manis. Aku terdiam mendengarnya mengomel seperti ini. Membuatku ingin segera memeluk dan mencium bibirnya. Tapi, ndhak aku lakukan, karena aku ndhak mau emosinya semakin meletup-letup dan kemudian mempengaruhi kesehatan bayi kita. Aku ndhak mau terjadi sesuatu kepadanya dan bayi kami. "Jadi seumpama, ada ribuan bunga liar di hutan akan Kangmas bawa pulang semua, karena Kangmas merasa kasihan dengan bunga-bunga itu, Kangmas? Tanpa peduli jika ekosistem alam itu membutuhkan mereka. Karena bunga-bunga itu adalah bagian dari rantai agar alam kita tetap seimbang,"     

Aku lantas bertopang dagu, melihat Manis memandang ke arahku lagi. Dia sekarang berperan kembali seperti Biung.     

"Kangmas, kamu itu bukan Gusti Pangeran. Kamu ndhak bisa sok dermawan dengan ingin menjaga dan melindungi apa pun agar mereka tetap aman. Sebab makhluk hidup itu punya takdirnya sendiri. Pun dengan bunga-bunga yang kamu ambil ini. Andai kamu ndhak mengambilnya, pastilah lebah-lebah yang ada di hutan bisa menghisap madu-madunya, membantu proses penyerbukan dengan sempurna. Dengan Kangmas memetiknya secara sembarangan, bisa saja pohon yang ada di hutan itu mati, toh? Dan bunga-bunga ini hanya akan menjadi percuma. Mereka ndhak bisa menjadi sebuah benih agar bisa jatuh kemudian tumbuh dengan kehidupan baru lagi. Akan tetapi, hanya bisa menjadi hiasan rumah yang nantinya juga akan layu kemudian dibuang. Jadi, apa Kangmas paham dengan apa yang kukatakan? Itu sebabnya, dulu, tatkala Kangmas mencoba sok perkasa ingin melindungi Mbakyu Arni benar-benar membuatku hilang sabar. Sebab bagaimana pun, sifat Kangmas yang terlalu sok pahlawan dan dermawan itu ndhaklah bagus. Karena Mbakyu Arni punya kehidupannya sendiri, punya keluarganya sendiri, terlebih dia juga punya takdirnya sendiri. Dengan Kangmas masuk dalam kehidupan mereka, apa yang Kangmas dapatkan? Apa yang Muri, dan Mbakyu Arni dapatkan dulu? Lebih... lebih, tatkala Kangmas salah mengartikan rasa kasihan dengan cinta. Dengan lantang dan menggebu-gebu pula Kangmas mengakuinya. Dan sekarang mereka bahkan ndhak hidup, mereka bahkan sudah menjadi tanah. Coba aku tanya, pernah ndhak sekali saja Kangmas berpikir seperti ini," Manis tampak menata duduknya, kemudian memandangku dengan semakin lekat. "Seumpama dulu Kangmas membantu sekadarnya, dengan menyekolahkan Manis, dan memberikan upah yang pantas untuk Mbakyu Arni agar seendhaknya dia bisa membeli sayur untuk makan sehari-hari. Kurasa, itu sudah lebih dari cukup. Perkaranya yang selalu ribut dengan Muri sesunggunya bukanlah tanggung jawabmu yang harus bisa kamu selesaikan. Sebab mereka adalah suami istri, mereka adalah keluarga, yang orang lain ndhak ada hak untuk ikut campur. Andaikan masih seperti itu, maka Arni masih bisa melanjutkan hidupnya meski pas-pasan, dia pasti akan terus hidup dengan caranya itu. Kangmas hanya perlu membantu, tanpa harus memaksa mengubah takdir dari seseorang. Andaikan Kangmas ndhak memberikan usaha untuk menjual sembako, maka laki-laki hidung belang yang menggoda Mbakyu Arni tentunya ndhak akan ada, toh? Dan Muri pasti ndhak akan cemburu dan naik pitam."     

"Jadi kamu menyalahkan aku, Manis?" tanyaku. Meski aku sendiri benar-benar merasa tertampar dengan ucapan Manis.     

Benar, seandainya aku ndhak terlalu angkuh dan sombong dan merasa jika aku bisa membantu semua orang, pastilah saat aku melihat Arni hidup dengan menderita aku ndhak akan merasa dan berkewajiban menolongnya. Aku pasti, ndhak begitu merasa iba, sehingga aku bisa membantunya dengan cara yang masih masuk akal.     

Benar, seandianya saja aku ndhak mengakui kalau aku mencintai Arni di depan Muri, pastilah semua rentetan peristiwa ini ndhak akan terjadi. Arni pasti ndhak perlu ke kota, dan aku pasti ndhak perlu memberikan ide atas sebuah usaha barunya. Yang berakibat, usaha itu malah menjadi awal celakanya kedua orang itu.     

Dan yang paling bodoh lagi adalah, aku selalu menggunakan hasrat alami sebagai seorang laki-laki dan mengatas namakan ketertarikan itu sebagai rasa cinta yang menggebu.     

Gusti, aku memang benar-benar bodoh. Bahkan saking bodohnya sampai aku sendiri ndhak tahu harus berbuat apa.     

"Bukan, aku ndhak menyalahkan Kangmas...," kata Manis yang berhasil membuatku kembali mendongak ke arahnya. "Hanya saja aku sedang menyalahkan takdir. Karena kenapa harus Kangmas orangnya. Kenapa harus Kangmas yang membuat semua itu menjadi runyam. Itulah salah satu penyebab, bagaimana aku merasa bersalah sekali dengan Ningrum, sebab kurasa Ningrum adalah korban dari tingkah menyebalkannya banyak orang. Ya terutama tingkah Kangmas itu,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.