JURAGAN ARJUNA

BAB 274



BAB 274

0Aku langsung menunduk tatkala Manis mengatakan hal itu. Iya, benar semua yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. Yang membuat Ningrum harus kehilangan keluarganya bukanlah Muri, atau orang lain yang membuat Muri cemburu. Melainkan, semua itu bermula dari tanganku sendiri. Aku adalah orang yang telah membunuh mereka. Aku adalah orang yang telah menyakiti mereka.     
0

Saat ini aku melihat telapak tanganku, rasanya keduanya tampak berlumuran dengan darah, dan itu adalah dari dari Arni, Muri, juga anak laki-laki mereka. Seketika aku langsung menangis, merasa sangat bersalah dan frustasi. Aku seperti seorang yang kotor, yang telah membunuh semua orang dengan kedua tanganku sendiri.     

"Kangmas! Kangmas!" panggil Manis yang kuabaikan, untuk kemudian semuanya menjadi... gelap.     

Sudah berapa aku ndhak sadarkan diri, tatkala kubuka mata, semua orang sudah ada di sini dengan perasaan panik mereka. Manis yang terus menangis sambil memelukku, dan Biung juga Romo yang tampak begitu mengkhawatirkanku.     

"Kangmas, kamu sudah sadar?" kata Manis. Yang melihatku tampa membuka mata.     

Aku mengangguk saja, kemudian mengambil posisi duduk. Cepat-cepat Manis memberiku segelas air putih, dan aku pun langsung meminumnya.     

"Kamu ndhak apa-apa, Arjuna? Kamu kenapa, toh? Bagaimana bisa kamu tiba-tiba ndhak sadarkan diri seperti itu? Untung masih ada Nak Setya, jadi kami ndhak perlu membawamu ke rumah mantri,"     

Aku melihat Setya yang agaknya diam, memandangku dengan perasaan bingungnya. Sementara aku ndhak mengatakan apa-apa, sebab kurasa aku benar-benar merasa tubuhku ini sangat aneh. Tepat setelah kejadian dengan Suwoto dulu.     

"Bulik, Paklik, dan Manis, aku hendak bicara dengan Arjuna empat mata. Apa kalian bersedia menunggu kami di luar terlebih dahulu?" ucap Setya pada akhirnya.     

Ketiga orang itu pun menurut, mereka kemudian pergi, meninggalkan aku Setya berdua saja di sini.     

Lama Setya terdiam, kemudian dia memandangku lekat-lekat. "Arjuna, kondisimu seperti ini apakah kamu sudah tahu?" tanyanya. Aku masih terdiam, ndhak menjawabi apa-apa. Mana aku tahu kondisiku, lha wong aku bukan doket. "Aku memeriksa di kepalamu, dan beberapa bagian tubuhmu. Ada bekas luka jahitan. Kenapa kamu mendapatkan luka-luka itu, Arjuna?" tanyanya lagi.     

"Dulu aku pernah mengalami insiden yang cukup menyeramkan, bisa hidup saja sudah mukjizat. Aku dikepung oleh orang-orang ndhak bertanggung jawab, kemudian tubuhku ditusuk dengan parang. Tubuhku lalu diseret, sampai kepalaku beberapa kali terbentur mengenai batu. Dan setelah itu tubuhku dibuang ke jurang. Waktu itu aku terluka sangat parah, dan ajaibnya aku masih hidup. Dan setelah itu memang benar katamu, aku sudah ndhak sekuat dulu. Bahkan beberapa waktu yang lalu, aku sempat dilarikan di rumah sakit. Dan dioperasi karena luka yang pernah kudapatkan waktu itu. Sekarang aku mudah pusing, dan merasa tiba-tiba tenagaku menghilang begitu saja. Atau kalau endhak, tenagaku tiba-tiba menghilang. Apa mungkin aku akan segera mati?" tanyaku.     

Setya lantas tersenyum, kemudian dia meninju lenganku. "Apa kamu pikir mati akan semuda itu? Jika kamu telah menjalani operasi dan operasi itu berhasil ya sudah. Mungkin itu menandakan jika kepalamu sudah tidak seperti manusia pada umumnya. Behati-hatilah, jangan sampai terkena benturan dalam bentuk apa pun. Dan jangan terlalu memikirkan masalah yang terlalu memeras otak. Sebab kalau kamu melakukannya, maka kejadian tadi akan kamu alami lagi. Terkapar dengan sangat menyedihkan,"     

Aku diam saja mendengar penjelasan dari Setya, mendengar ucapannya dengan mimik wajah anehnya itu, sesungguhnya aku tahu, jika penyakitmu memang lebih dari itu.     

"Sudahlah, wajah anehmu itu tidak akan pernah pantas untuk memasang ekspresi seserius itu. Yang ada hanya, ayam-ayamku nanti akan mati karena kena sawan gara-gara melihat wajah jelekmu itu," sindirku.     

Setya tampak mencibir, tapi dia ndhak menjawabi ucapanku. Dia memilih berdiri, kemudian dia kembali memandang ke arahku.     

"Sekarang istirahat sajalah kamu. Aku akan menyuruh Paklik Sobirin mengatakan kepada Wangi kalau kamu sakit."     

"Maksudmu?" tanyaku bingung, kok aku merasa ndhak enak, ya. Apa yang sebenarnya direncanakan oleh perjaka tua satu ini.     

"Ya, kalau Wangi tahu kamu sakit, pasti dia akan ke sini menjengukmu. Jadi, aku bisa bertemu dengannya. Jadi saranku, kamu harus itirahat total selama satu minggu. Agar selama satu minggu itu, aku bisa bertemu dengan Wangi selalu."     

"Bangsat!" marahku, sambil melempar bantal ke arahnya.     

Dan benar saja, apa yang dikatakan oleh Setya, Wangi benar-benar datang ke sini. Setya terus mewanti-wantiku untuk tetap berbaring di ranjang, sementara Manis diberitahu Setya kalau kondisiku sangat lemah. Membuatku mau ndhak mau menuruti perintahnya, mau bagaimana lagi, memang. Ada kawan yang sedang usaha mendapatkan pujaan hatinya, jadi meski menyusahkan aku harus membantunya sebisaku.     

"Jadi, bagaimana dengan keadaanmu, Arjuna? Kamu ndhak apa-apa, toh?" tanya Wangi yang agaknya khawatir. Aku dan Manis saling tukar pandang, tapi kami hanya diam, ndhak mengatakan apa pun. Sebab, lakon (pemeran) dalam kisah ini tentunya bukan aku dan Manis. Melainkan Setya dan Wangi yang tengah dia jebak dengan sangat nyata.     

"Penyakitnya sangat-sangat serius...," kata Setya membuka suara. "Bahkan dia harus beristirahat total selama satu minggu. Jadi saranku, kamu haru berkunjung ke sini setiap hari. Agar Arjuna bisa semangat dan lekas sembuhnya," lanjutnya kemudian.     

Adakah hubungan antara penyakitku dan kedatangan Wangi ke sini setiap hari? Bukannya cepat sembuh, malah-malah membuat penyakitku kambuh karena kupingku panas mendengar penuturan cerewet Wangi setiap waktu.     

"Pasti, aku pasti akan selalu berkunjung ke sini, Arjuna. Jadi kamu harus sehat. Kasihan Manis, dia sedang mengandung calon anakmu. Kamu harus lekas sembuh dan menjaga istrimu. Iya toh?" katanya lagi. Aku mengangguk sekenaku sembari menguap berkali-kali.     

"Manis apa kamu ndhak mengantuk? Bukankah seorang hamil harus banyak istirahat agar tetap sehat?" paksaku, karena aku sudah ndhak betah jika terus-terusan jadi bonekanya mereka berdua.     

Manis yang agakbya mengerti dengan apa yang kumaksud pun langsung pura-pura menguap, untuk kemudian dia memasang tampang memelas sembari melihatku, Wangi, dan Setya bergantian.     

"Aku juga mengantuk, Kangmas," jawabnya kemudian.     

"Lho, bagus... bagus, kalian itu harus istirahat yang cukup. Biarkan Wangi yang merawat kalian. Sebab, kalian pasti sangat butuh orang yang merawat. Aku yakin, Pasti Wangi akan melakukannya dengan senang hati. Iya, kan, Wangi?" kata Setya lagi kini dia melirik ke arah Wangi dengan senyuman menjijikkannya itu.     

Dasar Setya, pandai benar dia mencari cara agar bisa dekat dengan Wangi. Bahkan sekarang dia ingin menjadikan Wangi sebagai asisten pribadinya, agar apa? Agar dia bisa bersama dan berduaan dengan Wangi jauh lebih lama.     

Sekarang, kupandang Wangi yang agaknya bingung. Jika perempuan satu ini setuju, berarti dia adalah perempuan yang benar-benar lugu. Percuma saja sudah pernah menikah tiga kali, kalau otaknya ndhak bisa dipakai barang sebentar untuk sekadar mencerna apa yang ada di dalam otak udang milik Setya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.