JURAGAN ARJUNA

BAB 275



BAB 275

0"Aku benar-benar ndhak paham sama Pak Dokter," kata Manis pada akhirnya, sambil bersender di pundakku.     
0

"Aku yang sudah lama kenal saja ndhak paham, apalagi kamu, Ndhuk," ucapku pada akhirnya.     

"Memangnya dia seperti itu sudah sedari lama, toh, Kangmas?" tanya Manis lagi, agaknya dia cukup penasaran dengan kisah cinta yang konyol antara Setya dan Wangi, atau dia sangat penasaran kenapa ada manusia ndhak punya malu seperti Setya ini.     

"Dulu lebih menakutkan lagi. Bayangkan saja, di mana ada Wangi, di situ Setya akan datang. Bahkan sampai Wangi bersembunyi, karena saking takutnya dikejar-kejar oleh Setya. Hal itu benar-benar membuat Wangi trauma, toh. Dan benar-benar membuat kawan-kawan sampai hilang akal," ceritaku. Manis malah tampak terkekeh mendengar ceritaku itu. Seolah-olah dia berada di posisi itu saat itu, dan tahu segalanya.     

"Aku ndhak bisa membayangkan, Kangmas," ucapnya.     

Aku lantas memandang wajahnya yang masih tertawa itu tanpa kedip. Melihat wajahnya yang memerah karena tertawa, benar-benar membuat jantung bedegup dengan cara yang luar biasa.     

"Sudah ndhak usah dibayangkan...," kubilang, yang masih memandang Manis dengan tatapanku itu. "Bagaimana kalau membayangkan kita saja?"     

Manis terdiam, kemudian dia melirik ke arahku dengan malu-malu. Senyumnya tampak samar-samar membuatku gemas dibuatnya.     

Aku langsung menarik selimut, kemudian kuselimuti tubuhku dan Manis. Manis langsung menjerit, saat kulucuti semua pakaiannya, dan kulempar ke segala arah. Manis masih memekik, membuatku ndhak sabar juga dibuatnya. Melihatnya semakin seperti ini, malah membuatku semakin bernafsu.     

"Kangmas masih sakit, toh," katanya, mencoba mencegahku untuk melakukannya. Padahal, aku sudah di atasnya dengan posisi kami sudah telanjang seutuhnya.     

Aku hampir menciumi lehernya, tapi tangan Manis menahanku lagi. Mata bulatnya berkedip-kedip lucu seolah dia ndhak punya dosa apa-apa.     

"Kangmas, aku hamil masih awal, toh. Jangan kelon (bercinta) terus," ucapnya lagi.     

"Kamu jangan mencoba-coba membodohiku, Sayang? Bahkan aku sudah menanyakan ini kepada Bidan, jika kita bisa melakukannya asalkan dengan hati-hati,"     

"Kangmas—"     

Aku langsung menyerbu Manis, membuatnya kembali tertawa di tengah-tengah kesenangan kami. Ndhak apa-apa kami harus tinggal di rumah untuk saat ini, dan ndhak apa-apa jika aku harus beristirahat di atas ranjang sepanjang hari. Jika di ranjangnya ada Manis juga, hari-hariku ndhak akan pernah membosankan, melainkan akan sangat menyenangkan.     

"Besok aku akan ke Purwokerto," bisikku kepada Manis saat kami sedang berpelukan. Manis langsung menatapku, seolah dia penasaran, kenapa aku akan ke sana. "Bukankah putri kita ada di sana? Aku ingin menjenguknya, dan ingin melihat bagaimana keadaan sekolahnya setelah masalah beberapa waktu yang lalu."     

"Ikut," manjanya, sembari mengerucutkan bibirnya, kemudian tangannya merengkuh lenganku. "Aku sudah lama ndhak bertemu Ningrum. Aku rindu dia,"     

"Tapi, Sayang, kamu—"     

"Sayang, aku hanya hamil. Aku bukan seorang berpenyakit serius yang akan mati tatkala aku berpergian, aku juga bukan seorang tua yang akan pikun dan hilang di tengah keramaian. Aku hanya hamil, hamil anak kita. Dan Ningrum, adalah anak pertama kita. Aku ingin memberikan kabar gembira ini, kalau sebentar lagi dia mempunyai seorang adik kecil yang bisa menjadi kawannya bermain,"     

Aku diam sebentar untuk mencoba menimang-nimang permintaan dari Manis. Jujur, dari pada harus mengajaknya berpergian aku lebih suka melihatnya berdiam diri di rumah saja. Seendhaknya, itu membuatku ndhak kuatir dan kepikiran. Tapi bagaimanapun, ucapannya pun benar adanya. Aku ndhak memiliki hak apa pun untuk melarang seorang Biung menemui putrinya. Toh, di sini sudah terkendali, semua warga kampung sudah mulai sembuh seutuhnya. Bahkan mereka, sudah bisa melakukan aktifitas seperti biasa.     

"Minggu depan aku sudah harus kembali ke Jakarta, Kangmas. Apa Kangmas tega membuatku mengemban rindu yang teramat dalam pada putriku tercinta?" manjanya. Duh Gusti, ingin rasanya tak uyel-uyel perempuan satu ini.     

"Iya, iya... boleh. Besok aku akan mengajakmu. Tapi...."     

"Tapi apa, Kangmas?"     

"Ada syaratnya," kubilang.     

Manis langsung memutar bola matanya kemudian dia memalingkan pandangannya dariku.     

"Aku tahu, pasti minta jatahnya dinaikin, toh?" jawabnya yang tampak sebal itu.     

Aku tertawa saja mendengar ucapannya. Seperti apa saja minta jatahnya dinaikin, memangnya dia pikir urusan seperti itu seperti orang mimum obat, toh. Yang harus dilakukan sehari tiga kali. Dasar istriku ini.     

"Lho, iya, toh, istriku ini mesumnya luar biasa. Siapa juga yang mau nambah jatah. Memangnya kamu pikir, seperti itu seperti sedang makan nasi saja,toh."     

"Kangmas!" marahnya yang tampaknya emos. Wajahnya sudah sangat merah, sepertinya dia benar-benar malu dengan ucapanku itu.     

Untuk kemudian, kucoba peluk dia meski berkali-kali dia menepis tanganku. "Aku ndhak butuh itu. Toh jika aku mau, aku bisa memintanya sepanjang wakti," kubilang sembari menghiburnya. "Yang aku inginkan adalah...," kataku sengaja kugantung. Manis yang tadinya cemberut, lantas memandangiku dengan rasa penasaran yang luar biasa. "Adalah...,"     

Buk!!!     

Dia langsung memukul lenganku, matanya sudah melotot seolah apa yang hendak kukatakan adalah hal yang sangat menyebalkan untuknya.     

"Sudah kalau ndhak mau bicara mboknya diam saja, toh. Bikin naik darah terus rupanya Kangmas ini," katanya sewot.     

Duh sabar, istri hamil ternyata memang emosinya benar-benar ndhak terkendali, sebentar manja, sebentar ketus, sebentar marah, sebentar senyum, sebentar emosi. Kok ya seperti musim di Indonesia saja, yang lambat laun semakin ndhak menentu.     

"Besok kita berangkatnya pagi, dan besok mungkin berangkatnya harus dengan hati-hati. Ndhak boleh protes kalau sampainya lama. Sebab prioritas keselamatanmu juga bayi kita adalah hal utama. Dan setelah sampai di Purwokerto, kamu harus istirahat, sebelum melanjutkan aktifitas lainnya lagi. Bagaimana, apa kamu setuju dengan syaratku itu?" tanyaku.     

Manis langsung tersenyum sebentar untuk kemudian dia mengangguk setuju. Kubalas senyuman pelitnya itu, tapi kemudian dia langsung memunggungiku dan tidur.     

Lagi, aku menghela napas panjang, hari ini aku benar-benar dicuaki oleh istriku sekarang. Ndhak apa-apa, hanya sembilan bulan. Aku kuat untuk menyiapkan rasa sabar yang sebesar gunung himalaya.     

Tapi, kalau setelah dia melahirkan sifat ndhak jelasnya ini masih tetap sama ya ceritanya berbeda lagi, toh. Atau malah jangan-jangan aku telah mendapat karma dari apa yang kulakukan dulu.     

Aku melirik ke arah Manis lagi yang tampaknya sudah terlelap, kemudian kupeluk tubuhnya dari belakang dengan perasaan sangat sayang. Apa pun yang dia lakukan, apa pun yang dia katakan, aku benar-benar ndhak keberatan. Asalkan dia bahagia, maka aku sudah cukup merasakan rasa bahagia yang sama. Lagi pula, duniaku adalah dia. Poros dari kebahagiaannya adalah milikku juga.     

Romo, sekarang lihatlah. Aku juga sama sepertimu, telah menemukan cinta sejati dalam hidupku. Aku berjanji jika aku ndhak akan menyia-nyiakannya, dan aku akan selalu menjaganya sampai mati. Jika nanti cucumu telah lahir, Romo, maka kamu harus melihatnya sendiri, agar kamu tahu bagaimana rupa cucumu ini. Romo harus berjanji itu kepadaku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.