JURAGAN ARJUNA

BAB 276



BAB 276

0Siang ini, aku dan Manis sudah berada di Purwokerto. Maklum saja, perjalanan lebih lambat satu jam dari biasanya. Bagaimana endhak, aku harus mengemudi dengan cukup pelan dan hati-hati seendhaknya agar anak dan istriku bisa selamat sampai tujuan. Dan sekarang, Manis langsung izin untuk langsung tidur, sebab dia merasa benar-benar lelah sekarang. Sementara aku, ingin memutuskan untuk segera pergi ke sekolah Ningrum. Aku hanya penasaran, bagaimana kira-kira kehidupan putriku setelah peristiwa kemarin. Apakah semuanya menjadi lebih baik? Atau malah Ningrum ndhak punya kawan karena ulahku.     
0

Dan setelah aku sampai di sana, aku buru-buru berkata basa-basi kepada kepala sekolah. Untuk kemudian dia mengajakku ke suatu tempat, sebuah gedung yang cukup sepi, namun cukup pula untuk sekadar melihat beberapa siswa dari berbagai tempat.     

"Biasanya tatkala aku ingin melihat apakah semua murid baik-baik saja, aku selalu datang ke sini, Juragan," kata kepala sekolah kepadaku.     

Aku mengangguk saja, jika benar dia benar-benar memerhatikan siswanya, pastilah kejadian Ningrum ndhak akan pernah terjadi. Bahkan sampai berakibat parah seperti itu.     

Aku melihat Ningrum baru saja keluar bersama kawan-kawannya, mereka kemudian duduk di depan kelas. Kusunggingkan sulas senyum, sebab ndhak ada hal apa pun yang dilakukan putriku selain benar-benar duduk di sana. Setelahnya, kawan-kawannya tampak berdiri kemudian pergi. Tapi, Ningrum masih duduk di sana sendiri sambil membaca buku. Kuperhatikan lagi, sekelompok anak mendekat ke arah Ningrum, saat kuperhatikan anak-anak itu adalah anak-anak nakal kemarin. Aku hendak keluar dari ruangan itu, tapi dtahan oleh kepala sekolah, senyumnya tersungging, seolah menyuruhku diam dan memerhatikan kejadian apa yang ada di sana selanjutnya.     

Ketua anak nakal itu bercakap dengan Ningrum, mimik wajahnya tampak santai. Kulihat dengan sesksama mimik wajah Ningrum, tampaknya pun sama. Mereka tampak tertawa kemudian bergurau bersama. Lalu, gurauan mereka berhenti tatkala ada seorang pemuda mendekat ke arah mereka. Pemuda itu cukup tinggi, warna kulitnya lunging langsat. Dengan malu-malu pemuda itu mendekat, dan bercakap beberapa kalimat dengan Ningrum, dan anak nakal itu. Lalu kemudian, Ningrum berdiri, berkali-kali dia menepuk bahu ketua anak nakal itu, lalu dia berlari pergi. Yang tersisa hanyalah ketua anak nakal itu yang kini tampak malu dengan pemuda yang ekor matanya masih melihat ke arah kepergian Ningrum.     

Apakah pemuda yang yang menjadi rebutan? Yang membuat anak-anak nakal itu mengerjai anakku? Jika iya, aku harus bicara empat mata dengannya, agar seendhaknya mereka cukup tahu diri agar ndhak menganggu putriku. Putriku masih sangat kecil untuk masalah cinta. Dia masih jauh dari kata pantas untuk mengenal rasa yang dewasa itu. Biarkan dia lulus sekolah dulu, biarkan dia kuliah dulu. Dan seumpama nanti ada laki-laki yang tertarik dengannya pun, aku ndhak akan segan-segan untuk mencari tahu sampai ke akar-akarnya tentang siapa gerangan laki-laki itu.     

Bukan berarti aku menginginkan seorang menantu yang kaya, tentu itu bukan sama sekali. Hanya saja aku ndhak mau kalau sampai putriku salah memilih, mencintai laki-laki yang ndhak tahu diri yang bahkan hanya akan menyakiti putriku sendiri. Aku ndhak mau kalau sampai itu terjadi. Ibaratnya saja, ndhak peduli seberapa susah hidup berumah tanggamu kelak, asalkan bersama dengan laki-laki bertanggung jawab dan mencintaimu, maka sekeras apa pun rintangan hidup, akan kita lalui dengan sangat mudah.     

"Aku sudah memerhatikan beberapa pekan ini, Juragan. Jika ada perubahan cukup besar yang terjadi di sekolah ini," kata kepala sekolah yang ndhak begitu kudengarkan. Sebab yang kulihat sekarang adalah, bagaimana terpaksanya pemuda itu harus bercakap berdua dengan perempuan nakal itu.     

Jangan sampai karena masalah beberapa waktu yang lalu niatku menyelamatkan putriku malah akan menghancurkan kehidupan orang lain. Membuat seseorang harus menerima perasaan yang sebenarnya dia ndhak menginginkannya sama sekali.     

"Pak kepala sekolah bisa memanggil pemuda yang bercakap dengan gadis nakal itu?" tanyaku.     

Kepala sekolah agaknya kaget, tapi dia menuruti permintaanku. Lalu dia menyuruh staff sekolah untuk memanggil pemuda itu. Lihatlah, betapa mimik wajah lega tampak begitu nyata terpancar dari wajah pemuda itu tatkala dia tahu harus berpisah dengan gadis nakal itu.     

"Anak itu namanya Pandu, Juragan. Salah satu siswa berprestasi di sini. Dia anak dari keluarga kurang mampu, dan bisa sekolah sampai detik ini karena kegigihannya sampai beberapa kali mendapat beasiswa. Bahkan ndhak jarang juga, selepas sekolah dia menggantikan bapaknya berjualan bakso berkeliling kampung. Wajahnya yang tampan, memang menjadi daya tarik tersendiri, terlebih pakaiannya yang selalu rapi. Itu mungkin sebabnya, banyak anak-anak perempuan yang menjadikannya rebutan,"     

Hatiku rasanya terenyuh juga mendengar ucapan dari kepala sekolah ini. Pandu, namanya?     

"Permisi, Pak kepala sekolah?"     

Aku, dan kepala sekolah menoleh. Ternyata, pemuda bernama Pandu sudah berada di sini. Kepala sekolah langsung memandang ke arahku, kemudian dia berjalan mendekat ke arah Pandu.     

"Oh, Pandu sudah datang?"     

"Iya, Pak, ada apa, ya?" tanya pemuda itu dengan sopan.     

Sedikit membungkuk gestur tubuh Pandu, seolah menandakan jika dia sedang menghormati lawan yang dia ajak bicara dengan sopan. Kemudian tangannya dipegang satu, tatapan ramahnya ndhak lepas dari wajah kepala sekolah. Pemuda ini benar-benar, memiliki sopan-santun yang luar biasa.     

"Sebenarnya, bukan Bapak yang hendak berbicara denganmu. Akan tetapi seseorang yang bersama dengan Bapak," kata kepala sekolah, yang membuatku berjalan mendekat ke arah mereka.     

Pandu tampak mengerutkan keningnya, kemudian dia memandang kembali ke arah kepala sekolah. Namun demikian, dia mengambil tanganku sambil menciumnya.     

Seketika aku tersenyum melihat bagaimana sopannya pemuda ini, yang bahkan sekarang akan sangat jarang sekali kutemui pemuda seperti ini.     

"Namamu Pandu?" kutanya, Pandu tampak mengangguk.     

"Ya sudah, aku pamit dulu," kata kepala sekolah kemudian dia pergi.     

"Sini, duduk... aku ingin bicara santai denganmu," ajakku, mempersilakan pandu untuk duduk di sebuah kursi yang berhadapan denganku.     

Aku melipat tanganku di dada sembari menatapnya dari atas ke bawah, semuanya memang tampak sederhana, bahkan sepatunya pun tampak rusah, nyaris menampakkan jempol kakinya dengan nyata.     

"Mas siapa, toh? Ada perlu apa denganku?" tanya Pandu pada akhirnya. Aku mengulum senyum tatkala dia memanggilku 'Mas'.     

"Maaf, aku sangat takjub dengan pemuda sepertimu, sampai-sampai aku lupa ingin menanyakan beberapa hal kepadamu, Pandu,"     

"Takjub bagaimana, toh, Mas... Mas. Takjub dengan penampilan jelekku ini?" ucapnya yang masih tampak sopan.     

"Aku lihat kamu mendekati siswa di sini yang bernama Ningrum. Kalian ada hubungan apa?" tanyaku tanpa basa-basi. Pandu langsung kaget, memandang ke arahku, kemudian dia menggaruk tengkuknya yang kurasa ndhak gatal sama sekali.     

"Oh itu...," katanya. "Mas ini kenalannya Ningrum, toh? Atau jangan-jangan... pacarnya Ningrum?" tebaknya lagi yang benar-benar ngawur sekali.     

Apa pemuda ini ndhak tahu kalau aku kemarin ke sini, toh? Kenapa sampai pertanyaannya sejauh itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.