JURAGAN ARJUNA

BAB 277



BAB 277

0"Bisa disebut seperti itu. Hubunganku dengan Ningrum sangat dekat, kami bahkan selalu bersama saat di Kemuning, dia sering kupeluk dan kucium, ya... itu adalah hal yang sangat lumrah kami lakukan sehari-hari," jelasku sembari melirik ke arah Pandu yang kini sudah menunduk dengan wajah merah padamnya. Jelas benar pemuda ini gampang ditebak, bagaimana bisa dia langsung percaya begitu saja.     
0

"Aku lihat ekspresimu ini malau ndhak salah, kamu telah tertarik dengan Ningrum, apa aku benar?" kutanya, dia langsung menatapku dengan mata lebarnya itu.     

"Oh, tentu saja endhak, Mas. Tentu saja endhak! Aku cukup sadar diri siapa aku dan siapa dia! Mana berani aku jatuh hati kepadanya. Apalagi sekarang, aku telah bertemu dengan pujaan hatinya," kata Pandu dengan nada ketakutan luar biasa.     

"Memangya siapa Ningrum itu? Dia hanya manusia, anak dari manusia. Sama juga sepertimu, toh?" tanyaku lagi.     

Pandu tampak tersenyum kaku, kemudian dia kembali menggaruk kepalanya. Sepertinya, dia ini benar-benar sangat grogi.     

"Kabarnya, dia adalah putri dari Juragan paling kaya di negeri ini, Mas. Tentunya hal itu membuatku sadar diri untuk tahu di mana posisiku, dan posisinya. Terlebih, bagaimanapun, kami masih sama-sama muda, kami masih berada di bangku SMU. Mana mungkin aku punya pikiran lain-lain selain ingin berkawan baik dengannya. Seendhaknya, aku masih boleh berkawan dengannya, toh, Mas? Atau Mas ini keberatan kalau aku ingin berkawan dengannya?"     

Aku tertawa saja mendengar ucapan Pandu seperti itu. Duh Gusti, pemuda zaman sekarang ini. Dulu, zamanku memang seperti itu. Tatkala semua perawan nyaris hilang keberadaannya karena setelah lulus sekolah dasar mereka satu persatu pasti akan dinikahkan dengan cara perjodohan. Bahkan untuk lulusan SMU pun adalah perkara hitungan jari. Kalau bukan pola pikir keluarganya yang maju, ya keluarganya dari orang berada yang punya cita-cita anak perempuannya bersekolah setinggi mungkin. Ndhak seperti sekarang ini, ketika kesataraan sudah bisa dirasakan. Di mana hak asasi perempuan dan laki-laki hampir seimbang, di mana perempuan memiliki hak mengenyam pendidikan sepadan dengan laki-laki. Jadi, dulu ibarat kata perempuan dipaksa matang sebelum waktunya, dan laki-laki masih dengan sifat kekanakannya. Jadi ndhak usah kaget, kalau laki-laki tua menikahi perempuan yang masih sangat belia. Iya, seperti itu adalah perkara wajar adanya.     

Jadi kalau ada perkara anak sekolah pacaran seperti ini ya, sedikit aneh memang untuk diterima. Tapi bagaimana lagi, toh aku juga merasakan pacaran juga pada akhirnya.     

"Memangnya kamu pikir usiaku ini berapa kok masih kamu panggil dengan sebutan Mas?" tanyaku kepada Pandu.     

Pandu hanya tersenyum kaku, kemudian dia memandangku lagi dengan seksama. "Lantas, kalau aku ndhak memanggil sampean (kamu) Mas, tak panggil apa lagi, toh? Wong wajahe Mas ini memang terlihat hanya sedikit tua dariku, itu saja,"     

"Paklik, panggil aku Paklik. Aku ndhak enak sama sekali kamu panggil seperti itu."     

"Panggilan Paklik kan untuk laki-laki yang sudah pantas dipanggil seperti itu, Mas. Atau seendhaknya sudah menikah dan punya anak."     

"Nah, aku sudah melakukan keduanya. Aku sudah punya istri, dan punya seorang putri yang cantik jelita," kujawab.     

Pandu langsung kaget melihat ke arahku, kemudian dia mengerutkan keningnya semakin bingung.     

"Aku tahu dari kepala sekolah kalau kamu adalah anak berprestasi, benar?" tanyaku, dia mengangguk dengan ragu.     

"Tapi tunggu, Mas... eh Paklik. Jika Paklik ini sudah punya anak, dan istri, lantas kenapa Paklik mengaku kalau Paklik ada hubungan spesial dengan Ningrum? Apakah Paklik berencana untuk menjadikan Ningrum istri kedua? Jika iya, aku sangat ndhak menyetujuinya. Masa depannya masih panjang, dia adalah siswa yang berprestasi, dia—"     

"Aku ingin membantumu masalah biaya, sampai kamu kuliah nanti. Jadi, usahakan selepas sekolah datanglah ke alamat ini. jangan sampai telat," kubilang sembari memberikannya secarik kertas. Pandu masih tampak bingung, dan enggan mengambil kertas itu, membuatku menaruh di atas pangkuannya. "Perkara pertanyaanmu tentang Ningrum dan aku, nanti kamu akan mendapatkan jawabannya sendiri tanpa aku menjelaskannya kepadamu."     

"Tapi—"     

Aku langsung pergi meninggalkan Pandu. Sepertinya, mempermainkan anak kecil lumayan seru juga.     

"Lho, Romo?!"     

Aku langsung kaget saat Ningrum sudah ada di depanku, sambil menunjukku. Sepertinya, dia cukup penasaran kenapa aku sampai ada di sini.     

"Jangan panggil-panggil Romo," kataku kepadanya, yang berhasil membuat Ningrum semakin bingung.     

"Kenapa?" tanyanya.     

Pandu tampak keluar dari ruangan itu, membuatku langsung memeluk Ningrum dengan erat.     

"Duh Gusti, cantik benar, toh, Ningrumku ini. Anak siapa, toh?" ucapku, yang sekarang sudah mencium pipinya, dan hal itu mungkin benar-benar membuat Ningrum bingung.     

Lihat saja, bahkan ndhak hanya Pandu, tapi semua mata tertuju kepadaku dan Ningrum saat ini.     

Dengan emosi, Pandu langsung menarik tangan Ningrum, kemudian mendorong tubuhku agar menjauhi Ningrum. Ningrum yang hendak menolongku pun kularang dengan isyarat, membuatnya langsung berhanti di tempat.     

"Paklik ndhak usah kurang ajar! Ini di sekolah! Kenapa Paklik melecehkan seorang siswa seperti itu, toh? Aku bisa lho ini melaporkannya kepada para guru sekarang juga!"     

"Tapi, Pandu... dia—"     

"Ndhak usah bicara kamu Ningrum. Aku tahu kalau dia tampak masih muda. Tapi ketahuilah, dia itu sudah punya anak dan istri," kata Pandu menjelaskan, jujur aku benar-benar ingin tertawa karena sikap Pandu ini.     

"Iya, kan aku ini—"     

"Ningrumku sayang, nanti di rumah aku tunggu, ya... aku akan tidur di ranjangmu, dan mendekapmu sampai kamu tertidur,"     

"Paklik!"     

"Duh Gusti!" marah Ningrum pada akhirnya. Yang sepertinya sudah paham, dengan apa yang kulakukan sekarang. Dia kemudian melangkah mendekat ke arahku dengan gemas, matanya langsung melotot ndhak suka. "Aku ndhak suka dipermainkan seperti ini, aku ndhak suka! Sudah, pulang sana. Ndhak usah datang-datang ke sekolahku lagi!" marahnya kepadaku. Kemudian dia memandang Pandu, lalu dia pergi dari kami.     

"Paklik, aku pasti akan ke rumahmu. Aku ndhak akan membiarkan kamu memperdaya anak orang dengan begitu mudahnya!" kini Pandu yang mengancamku. Berlari mengejar Ningrum, tapi Ningrum tampak marah-marah dikejar seperti itu.     

Ah, sepertinya hubungan mereka kurang maju. Mereka di usia sebesar ini masih kejar-kejaran dengan malu-malu. Sementara aku dan Manis dulu, sudah... ah sudahlah, ndhak perlu kuceritakan kepada kalian semua! Nanti kalian iri.     

Aku langsung cepat-cepat pergi ke rumah. Ada beberapa hal yang harus kusiapkan sebelum dua muda-mudi itu pulang. Terlebih dengan Manis, aku harus mengatakan sesuatu kepadanya, sebelum semuanya semakin ndhak jelas karena dia ini seperti Ningrum, ndhak mau barang sebentar untuk membantuku bersandiwara.     

"Juragan, tunggu!" langkahku terhenti tatkala mendengar Pak Agus memanggil. Rupanya, dia masih ingat dengan aku, toh. Aku berhenti, kemudian melihatnya yang tampak terburu mendekat ke arahku sembari membawa sebuah map cokelat.     

"Ada apa, Pak? Apa ada yang bisa kubantu, toh?"     

"Sebenarnya, saya ingin memberitahu sesuatu, Juragan. Ini adalah tugas mengarang dari Ningrum, saya sangat terenyuh membaca setiap isi di dalamnya. Jika ada waktu, Juragan berkenan membaca ini kemudian menerangkan kepada saya tentang apa yang sebenarnya terjadi?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.