JURAGAN ARJUNA

BAB 278



BAB 278

0"Sayang! Istriku yang paling manis sedunia raya!" teriakku, setengah tergesa aku masuk ke dalam kamar. Membuat para abdi memandangku dengan tatapan bingung mereka.     
0

Manis yang rupanya baru bangun tidur pun berjalan ke arahku sembari menyipitkan matanya, kemudian dia memandangku dengan pandangan yang sangat aneh.     

Entah karena aku pulang sambil membawa banyak sayur-sayuran segar, atau karena wajah rupawanku ini memang sangat keterlaluan. Tapi, saat ini hal itu benar-benar ndhak penting. Aku harus memberitahu Manis untuk segera bersiap sebelum semuanya terlambat.     

"Ayolah, lekas kamu mandi dan bersiap. Kemudian, siapkan beberapa hidangan yang nikmat. Ada tamu agung yang hendak bertandang ke rumah kita ini lho," kubilang.     

Manis masih diam di tempatnya, membuatku harus mendorongnya agar dia mau berjalan. Masih memandang ke arahku dengan tatapan bingung, Manis kini berhenti. Berkacak pinggang kemudian dia memandangku lekat-lekat.     

"Tamu agung siapa, toh? Kawan lamamu, atau pacar lamamu yang agung itu?" selidiknya, yang tampak benar dia curiga kalau aku akan membawa orang yang ndhak dia suka untuk bertandang ke rumah. Ini kejutan, dan aku ingin memberinya juga Ningrum kejutan. Tentang siapa gerangan yang akan bertandang hari ini.     

"Yang jelas dia adalah seorang pemuda yang masih sangat muda. Dia dari keluarga yang ndhak begitu berada. Namun demikian, menurut penuturan orang-orang pemuda ini benar-benar sangat pekerja keras dan juga pandai. Wajahnya juga ndhak kalah rupawan seperti wajah suamimu tercinta ini. Kira-kira, jika wajah suamimu ini nilainya sepuluh, maka wajah pemuda itu nilainya lima koma lima."     

Manis langsung mencubit pinggangku, membuatku mengaduh kesakitan. Kutaruh sayur-mayur di atas meja, kemudian aku mengekori langkahnya.     

"Percaya dirinya suamiku itu lho, benar-benar di luar batas, toh. Bilang kalau wajah rupawannya nilainya sepuluh," gumam Manis mengolok-olokku.     

"Lalu kalau ndhak sepuluh, nilainya berapa? Sembilan koma tujuh?" tawarku.     

Manis langsung tersenyum, kemudian menoel pinggangku. Dia kemudian mengambil plastik yang aku bawa tadi, kemudian membukanya. Dibantu oleh seorang abdi dalem untuk mengurusi sayur-mayur itu.     

"Memangnya wajah Kangmas ini sayuran apa toh, kok ya ditawar-tawar."     

"Lebih berharga dari sayur-mayur," godaku, yang mendekatkan wajahku padanya. Tapi, Manis langsung mendorongku, sebab mungkin dia sungkan dengan abdi dalem yang kini menundukkan wajahnya dalam-dalam.     

"Ndhak sopan," katanya.     

"Bulik, ndhak sopan, ya, suami yang ingin mencium istrinya?" tanyaku meminta pendapat.     

Abdi dalem itu tampak salah tingkah, wajahnya pun tampak memerah. Untuk kemudian dia menjawab, "oh, ndhak apa-apa Juragan. Ndhak apa-apa,"     

"Ndhak apa-apa, toh?" ucapku kepada Manis, sambil menaik-turunkan alisku. Manis langsung memukul wajahku dengan kangkung, kemudian dia menunduk sambil malu-malu. Dasar istriku ini, kenapa dia bertingkah seperti itu. Ndhak sadar apa toh, dia. Semakin dia bertingkah seperti itu, semakin pula aku ingin membawanya ke dalam kamar dan kuajak untuk bercinta. "Bulik, bisa hadap ke barat sebentat?" kubilang pada abdi dalem kami. "Jangan menoleh sebelum kusuruh," putusku.     

Aku langsung menarik tubuh Manis, kemudian kulumat bibir istriku dengan rakus. Lidahku sudah menjelajahi setiap inci dari mulut manisnya. Pelukanku semakin kueratkan, tanganku yang bebas sudah menyelinap masuk di balik dasternya. Menjelajahi setiap lekuk tubuh indah istriku. Sambil meraba perutnya sudah mulai tampak sedikit besar itu.     

Kemudian, kulepas panggutan bibirku. Manis masih memejamkan matanya rapat-rapat. Lagi, kukecup sekilas bibirnya, kemudian kubenahi dasternya yang telah kubuat berantakan.     

"Bulik silakan lanjutkan, aku mau siap-siap dulu," perintahku. Sambil tersenyum dan memukul pelan kepala Manis.     

"Dasar," gumamnya yang masih protes. Padahal, aku bisa melihat dengan jelas, bagaimana bibir ranumnya itu tersenyum. Tapi, bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Dasar, istriku tercinta.     

Setelah bersiap, aku pun mondar-mandir ndhak jelas di dalam rumah. Ini benar-benar aneh. Padahal yang kutunggu hanya Pandu, tapi seperti aku sedang menunggu seorang menteri atau presiden saja datang ke rumah.     

Manis yang tampaknya sudah siap pun menghidangkan masakanannya di atas meja. Untuk kemudian dia bersih-bersih diri.     

Kulihat Ningrum sudah pulang, dia menatapku dengan tatapan galaknya. Kemudian, dia memandang ke arah sekitar. Sebuah hidangan penuh di meja beserta beberapa makanan ringan beserta buah-buahan di meja tamu.     

Lagi, Ningrum berjalan mendekat ke arahku. Dahinya berkerut melihat penampilan sempurnaku. Lihatlah, sampai anak perempuanku saja terpesona dengan ketampanan yang rupawan romonya ini. Apalagi seorang Pandu, aku yakin dia akan langsung pingsan karena terpesona dengan wajah rupawanku ini.     

"Romo mau ke mana? Kok ya dandannya rapi sekali...," kata Ningrum, kini dia mengendus tubuhku. "Wangi lagi. Berapa kilo minyak yang Romo pakai ini? Sampai-sampai, orang-orang seluruh kampung ini mencium baunya Romo," katanya kemudian.     

"Ck! Bisa ndhak kamu ini bicara yang manis-manis kepada romomu? Kok ya bicaranya seperti itu terus, toh," sebalku.     

Ningrum langsung mencubit pinggangku, dan itu benar-benar terasa sakit sekali. Aku yakin, iya aku yakin kalau dia ini benar-benar dendam terhadapku.     

"Aku masih sebal dengan Romo tadi. Maksudnya apa, toh, kok ya sok jadi pacarku itu, lho. Romo ini kan tahu, sudah banyak yang menganggap kalau Romo itu bukan romoku di sekolah. Mbok ya tingkahnya yang seperti seorang Romo begitu lho!" marahnya kemudian. Ya, maklum, anak kalau sudah menginjak remaja ya seperti ini. Dicium romonya di depan umum saja protes.     

"Jadi kamu sudah ndhak mau dipeluk, dan dicium Romo lagi, seperti itu?" tanyaku.     

"Ya endhak! Tapi ucapan Romo itu lho, ambigu. Bisa membuat orang yang ndhak tahu salah paham. Bukan perkara dicium atau dipeluk," gerutunya. Ah aku tahu, mungkin dia ndhak mau kalau cintanya itu salah paham.     

"Ini marahmu kepada Romo karena tingkah Romo atau karena kamu takut jika ada yang salah paham dengan ucapan Romo tersebut?"     

Wajah Ningrum langsung memerah, kemudian dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Aku tersenyum saja melihat ekspresi lucunya itu.     

"Peluk ndhak?" tawarku. Ningrum langsung memelukku sembari menenggelamkan wajahnya di dadaku.     

"Romo ini, bicara apa, toh," rajuknya kemudian.     

Aku tersenyum mendengar ucapannya itu. Ini sama sekali di luar dugaan, aku sama sekali ndhak tahu kalau ternyata anakku bisa seperti ini. Layaknya seorang gadis yang sedang kasmaran. Tampak malu-malu dan tingkahnya sangat lucu.     

Kukecup kening Ningrum, kubalas pelukannya dengan semakin erat. Kemudian, kulirik arah pintu. Di sana sudah ada sosok yang memandangku dan Ningrum yang sedang berpelukan. Sosok itu tampak kaget bukan main, jari telunjuknya menunjukku dan Ningrum bergantian.     

"K... kalian?!" pekik sosok itu.     

Aku menanggapinya dengan sangat santai, semakin kupeluk tubuh Ningrum, sampai wajah sosok itu memerah dengan sempurna. Aku yakin, sekarang pikirannya sudah kemana-mana.     

"Kangmas baju warna unguku kok ya ndhak ada," kini Manis keluar dari kamar. Dia memandang ke arah tamu yang ndhak dia tahu itu kaget. "Dia siapa?" tanya bingung.     

"Dia adalah Pandu, kawan sekolah Ningrum, putri kita,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.