JURAGAN ARJUNA

BAB 279



BAB 279

0"A... apa? Putri? Ningrum putri Paklik?" ucap Pandu dengan rasa bingung yang luar biasa.     
0

Aku melepaskan pelukanku, kemudian aku berjalan mendekat ke arah Pandu yang agaknya masih sangat bingung dengan semua ini. Jujur, aku ingin tertawa terbahak. Tapi, tatkala melihat wajah jeleknya itu benar-benar membuatku ndhak tega juga.     

"Kamu itu sudah ditipu oleh Romo. Sedari di sekolah, Romo telah memperdayaimu dengan mengatakan hal-hal yang ndhak jelas. Itu sebabnya aku marah, kadang-kadang romoku seperti itu, terlalu percaya diri sampai-sampai berpikir kalau dia ini masih muda dan bujang," gerutu Ningrum menerangkan. "Oh ya, kenapa kamu ada di sini?" tanyanya kemudian.     

Manis yang agaknya ikut gemas dengan tingkahku pun, langsung menyikut lenganku. Kemudian dia berjalan mendekat ke arah Pandu yang masih bingung.     

"Sudah... sudah... kamu duduk. Siapa gerangan namamu? Lantas ada perkara apa datang ke sini? Ingin mengerjakan tugas dengan Ningrum? Atau ingin bermain?" tanya Manis yang malah lebih membuat Pandu deg-degan ndhak karuan.     

"Oh itu, aku... itu...."     

"Duh Sayang, masak ya ada, pemuda dan seorang gadis yang sudah menginjak dewasa bermain bersama. Memangnya, permainan jenis apa yang bisa mereka mainkan berdua? Rumah-rumahan? Atau... cinta-cintaan?"     

"Kangmas!" marah Manis lagi.     

"Ya udah, aku pamit pulang saja," kata Pandu pada akhirnya.     

Aku langsung menarik kerah seragamnya, sampai dia kembali di tempatnya semula. Duduk dengan patuh, dengan wajahnya yang menunduk dalam-dalam.     

"Sudah... sudah, ndhak usah bercanda. Ini ndhak waktunya main-main," kubilang.     

"Lha yang sedari tadi main-main itu lho, siapa? Kangmas, toh?"     

"Sayang ndhak usah marah-marah, kasihan bayi kita yang ada di perutmu. Nanti dia akan ngomel-ngomel saja kalau lahir."     

"Kangmas!!"     

Wajah Manis sudah merah padam, sepertinya kali ini aku memang sudah sangat keterlaluan. Aku berdehem beberapa kali kemudian duduk di antara keduanya.     

"Biung hamil? Serius Biung hamil?" tanya Ningrum yang rupanya telah mendengarkan ucapanku tadi.     

Dengan senyum merekah Ningrum langsung duduk di samping biungnya, kemudian mengelus perut biungnya yang masih terlihat rata. Senyuman itu ndhak lepas dari bibir mungilnya.     

"Biung benar-benar hamil? Aku akan punya adik? Benarkah itu?" tanyanya semangat.     

"Jelas, toh, kamu akan punya kawan setelah ini," kujawab.     

Manis yang tersenyum pun mengangguk, membuat Ningrum langsung memeluk Manis dengan erat.     

"Duh Gusti, Duh Gusti, terimakasih... karena engkau telah mengabulkan doaku. Akhirnya, aku ndhak kesepian lagi. Akhirnya aku akan segera punya adik, toh!" ucapnya lagi.     

Pandu yang sedari tadi diam saja pun tampak memerhatikan kami. Entah apa yang ada di dalam pikirannya sekarang ini.     

"Maaf, kalian ini menikah karena Bulik ini hamil duluan, toh?" tanyanya tiba-tiba. Aku dan Manis langsung menoleh ke arahnya kaget, membuat dia langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Ndhak seperti itu, hanya saja, aku pikir kalian ini masih sangat mudah, toh. Tapi, anak pertama kalian sudah SMU. Lebih-lebih sekarang dengan jarak antara Ningrum dan anak kedua kalian benar-benar sangat jauh," jelasnya kemudian.     

"Waktu itu istriku ini masih sekolah menengah pertama, aku melamarnya dan segera menikah. Pernikahan kami sembunyi-sembunyi. Hingga akhirnya lulus sekolah menengah pertama dia hamil dan melahirkan Ningrum, lalu dia melanjutkan sekolahnya lagi. Meski sempat terhenti karena mengurusi putri pertama kami, dia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah juga. Dan sekarang sudah semester akhir di di sebuah Universitas, dan mengambil jurusan kedokteran."     

Ningrum langsung memandangku tanpa kedip, bahkan bisa kulihat kalau matanya kini berkaca-kaca. Aku ndhak mau menggodanya atau apa pun, sebab aku ndhak mau jika dia menangis sekarang karena terharu. Terlebih itu di depan Pandu. Aku ndhak mau putriku yang kuat ini terlihat lemah, di depan pemuda mana pun juga. Hanya aku... hanya aku yang boleh melihatnya menangis. Hanya aku yang boleh melihatnya lemah. Ndhak boleh ada pemuda yang lain. Sebab aku ndhak mau, lemahnya putriku mereka gunakan sebagai senjata untuk menyakiti hati putriku tercinta.     

"Lho, Bulik ini calon dokter, toh?" tanya Pandu semangat. Manis tersenyum sambil mengangguk kuat-kuat.     

"Menunggu jadwal sidang skripsi, kemudian lulus," jawabnya kemudian.     

"Jadi, Pandu. Rencanaku mengundangmu ke sini adalah aku hendak menanyakan beberapa pertanyaan kepadamu," kubilang pada akhirnya. "Aku dengar dari kepala sekolah, jika keluargamu dalam kondisi yang ndhak mampu. Apa itu benar?" tanyaku lagi, ragu Pandu akhirnya mengangguk.     

"Emak dan Bapak sudah sangat tua, Paklik. Aku adalah anak ke tujuh, dari tujuh bersaudara. Kebetulan sekali saudara-saudaraku ini perempuan semua, yang kebetulan tatkala mereka menikah, mereka langsung diboyong oleh suaminya. Tinggal aku yang bersama orantuaku. Dan mau bagaimanapun aku harus membantu orangtuaku untuk mencari nafkah. Saat pagi aku sekolah, siangnya aku berjualan bakso keliling kampung. Dan itu memang sudah lama aku lakukan. Kira-kira, setelah aku lulus sekolah dasar."     

Baik Ningrum, dan Manis tampak terdiam. Sepertinya mereka baru mengetahu ada hal seperti ini terlebih itu diami oleh pemuda yang sedang duduk di depan mereka. Seoorang pemuda berpakaian sangat rapi, berpenampilan sangat rapi, dan wajahnya bagus itu ternyata memiliki duka yang orang lain bahkan ndhak bisa melihatnya. Untuk kemudian, Manis memerhatikan Pandu dengan seksama. Matanya terpaku kepada sepatu dan tas yang Pandu kenakan. Kugenggam tangan Manis, agar dia ndhak terlalu seperti itu. Aku ndhak mau kalau sampai Pandu merasa tersinggung atau bagaimana karena pandangan Manis itu.     

"Pandu kamu tahu, kamu benar-benar mengingatkanku kepada diriku waktu kecil dulu...," kata Manis pada akhirnya. "Aku berasal dari seorang yatim piatu, aku dibesarkan oleh Simbah di Kemuning. Untuk bisa sekolah aku harus rela menanam singkong di tempat-tempat yang sedikit kosong. Bila singkong itu sudah berbuah, aku menjadikannya gaplek. Untuk kemudian kujual gaplek-gaplek itu agar aku bisa pergi ke sekolah. Membeli sebuah buku, dan pensil, sementara yang lainnya seadannya. Untuk kemudian, Bung dari suamiku ini, Ndoro Larasati mengetahuiku. Aku disuruh belajar di rumah pintar dan harus mendapat juara satu, jika aku ingin disekolahkan di sekolah terbaik tanpa mengeluarkan biaya. Waktu itu aku seperti melihat seorang bidadari, dengan paras cantik, dan hati yang benar-benar mulia datang menolongku yang bukan siapa-siapanya ini. Setamat sekolah pertama aku berhenti sejenak, karena Simbah agaknya melarang aku untuk sekolah. Kira-kira empat tahun kalau ndhak salah sampai aku sekolah lagi dengan dalih, menemani adik perempuan dari suamiku ini bersekolah. Namanya Ndoro Rianti. Meski usia kami berbeda agak jauh, tapi kami bersahabat baik. Hingga akhirnya kami lulus sekolah menengah pertama, dia langsung kuliah di jurusan kedokteran. Dan selepas meni—"     

"Selepas Ningrum besar," ralatku karena hampir saja Manis keceplosan.     

"Oh ya, selepas Ningrum besar aku memutuskan untuk melanjutkan belajarku. Pandu aku hanya mau bilang, ndhak ada yang ndhak mungkin di dunia ini. Gusti Pangeran selalu punya caranya sendiri untuk mengentas kesakitan umatnya. Dan percayalah, sekarang kamu bertemu dengan orang yang tepat. Kamu pasti akan menjadi seseorang hebat suatu hari kelak."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.