JURAGAN ARJUNA

BAB 280



BAB 280

0Pandu tampak tersenyum, kemudian dia mengangguk menjawabi ucapan Manis. Seolah mungkin ucapan Manis hanyalah dongeng pengantar tidurnya saja.     
0

"Aku akan membiayaimu sekolah sampai lulus sarjana, setelah itu kamu bisa bekerja di pabrikku. Kebetulan aku ada pabrik baru di Jakarta. Untuk urusan nafkah orangtuamu sekarang sampai kamu selesai kuliah akan kutanggung semuanya," ucapku pada akhirnya.     

Pandu tampak terperangah ndhak percaya, lihatlah betapa besar matanya melotot dan mulutnya menganga itu.     

"S... serius, Paklik?" tanyanya sekali lagi. Mungkin niatnya untuk meyakinkan dirinya sendiri.     

Aku mengangguk menjawabi pertanyaannya kemudian aku melirik ke arah Ningrum yang juga sama terperangahnya. Membuatku terbesit sebuah ide yang lucu.     

"Mulai sekarang kamu ndhak usah jualan bakso lagi. Cukup fokus dengan sekolah. Pekerjaanmu sekarang telah kuganti, yaitu untuk menjaga putriku. Jangan sampai ada satu nyamuk pun yang berani menyakitinya. Kalau endhak, kamu yang akan menerima akibatnya dariku."     

"Tapi—"     

"Baik, Paklik. Aku bersedia!"     

Ningrum langsung memandang ke arahku, dan ke arah Pandu dengan perasaan bingungnya. Lihatlah, bagaimana wajahnya tampak memerah. Entah karena dia malu, atau karena dia terlalu bahagia bisa dijaga oleh Pandu.     

"Tapi, aku hanya sekolah, toh. Aku ndhak pergi ke medan perang. Semuanya baik-baik saja dan aku sama sekali ndhak perlu dijaga. Jadi, Romo, ndhak usah berlebihan seperti itu."     

"Tapi kemarin kamu dikerjai oleh kakak kelasmu yang nakal-nakal itu, toh?" kataku. Ningrum langsung diam, dia ndhak bisa berkata apa-apa lagi. "Lebih-lebih Romo tahu kalau penyebab kamu dijerjai hanya karena cinta monyet," celetukku. Kini yang penasaran ndhak hanya Ningrum dan Pandu, melainkan Manis.     

"Maksud Kangmas?" tanyanya ndhak paham.     

"Jadi seperti ini, lho, Ndhuk. Sebenarnya beberapa waktu yang lalu sekolah putri kita mengadakan rapat wali murid. Mereka membahas perkara tindakan ndhak sehat murid-murid yang suka menjahili kawan-kawannya. Dan kamu tahu, siapa korban dari kejahilan mereka selama ini? Dia adalah putri kita. Sampai kemarin itu, aku bawa putri kita ke rumah sakit. Ada lima anak kira-kira yang mengeroyok putri kita. Seperti sekelompok preman yang buta ilmu dan pengajaran orangtua. Setelah aku putuskan kalau mereka ndhak akan diterima di Universitas mana pun, salah satu guru yang ada di sana rupanya telah mengaku."     

"Mengaku apa, Kangmas?"     

"Dia mengaku, jika salah satu alasan dari anak-anak nakal itu menjahili putri kita ndhak lain adalah, karena salah satu di antaranya cemburu dengan putri kita. Ya cemburu dengan siapa lagi, ya dengan pemuda yang bertamu di rumah kita ini,"     

Pandu tampak menundukkan wajahnya, wajahnya sudah semerah udang rebus. Lihatlah dia tampak sungkan sekali kepada kami. Sementara Ningrum, dia terus-terusan menarik lenganku, seolah menyuruhku untuk ndhak usah mengatakan banyak hal kepada biungnya.     

"Katanya, salah satu anak nakal itu naksir dengan Pandu. Kemudian dia sering bercerita dan mencurahkan isi hatinya kepada putri kita. Tapi rupanya, cintanya ndhak terbalas. Malah-malah Pandu mendekati putri kita. Yang berakhir menjadi sebuah kesalah pahaman dan membuat hubungan perkawanan menjadi saling menyelakai. Aku juga sebenarnya penasaran dengan Pandu. Ingin pula aku bertanya banyak hal dengan dia. Banyak hal yang mungkin aku ndhak tahu...," kataku, kini pandanganku teralih kepada Pandu yang memandangku dengan wajah takutnya itu. "Jadi, apa benar warta (berita) itu, jika kamu menaruh hati kepada anakku, Ningrum?" selidikku.     

Wajah Ningrum, dan Pandu tampak kembali memerah. Kini Ningrum langsung memeluk tubuh biungnya, sembari menyembunyikan wajahnya di punggung biungnya. Dia sepertinya ndhak berani sama sekali untuk melihat ke arahku.     

"Benar itu, Pandu?" ulangku sekali lagi.     

"Paklik, Paklik ini bicara apa, toh. Mana mungkin aku berani menaruh hati kepada Ningrum. Kami masih sama-sama kecil."     

"Kurasa usia kalian hampir atau malah sudah tujuh belas tahun. Lantas. Di mana bagian kecilnya di usia tersebut? Bahkan dulu perawan-perawan berusaha sepuluh tahun, mereka telah memiliki suami. Jadi kurasa, di usiamu yang sekarang ini, menjawab pertanyaanku dengan jelas, dan tepat bukanlah sebuah masalah. Sebab aku menganggap jika kamu itu sudah dewasa. Dan asal kamu perlu ketahui, laki-laki itu yang dipengang ucapannya, Pandu. Apa kamu paham dengan hal itu?"     

Pandu menganggukkan kepalanya, meski awalnya ragu kini mulai mantab. Matanya yang sedari tadi tampak ndhak berani memandangku, kini pelan-pelan memandang ke arahku.     

"Jadi aku tanya kepadamu sekali lagi, apa kamu ada rasa dengan putriku, Ningrum?"     

"Iya, Paklik."     

Ningrum diam, sementara Manis tampak terperangah dengan jawaban dari Pandu yang mantab itu.     

"Tapi mereka masih sekolah, lho. Masa depannya masih panjang. Ningrumku masih sangat kecil untuk sekadar membahas masalah hati. Lagi pula, Kangmas, kita ndhak pernah tahu ke depannya seperti apa, toh?" ucap Manis pada akhirnya.     

Aku tahu, sejatinya sebagai seorang Biung di mana pun di dunia ini akan mengatakan hal yang sama. Selalu menganggap putri mereka itu masih kecil untuk sekadar mengenal asmara. Tahu ketahuilah, semua itu butuh proses dan pengenalan dengan cara yang nyata.     

"Kamu ndhak usah khawatir, Ndhuk. Biarkan suamimu ini yang menanganinya...," kataku kepadanya. Kini, pandanganku kembali tertuju kepada Pandu. "Jika demikian aku akan melihat usahamu mulai dari sekarang. Apa kamu benar-benar jatuh hati dengan putriku, atau perasaanmu itu hanyalah gelora sesaat dari perasaan seorang pemuda. Untuk saat ini aku ndhak akan menanyakan kepada putriku bagaimana perasaannya kepadamu. Sebab yang kubutuhkan adalah, kesungguhanmu dalam mendapatkan hatinya itu. Namun jika nantinya akan berubah, dan takdir Gusti Pangeran berkehendak lain, semuanya ndhak akan berubah sama sekali. Aku tetap akan menguliahkanmu sampai lulus, dan kamu akan tetap bekerja di pabrikku. Bagaimana?"     

"T... tapi, Paklik... kenapa Paklik begitu baik kepadaku?"     

"Bukannya aku baik kepadamu. Hanya saja, mendalami satu karakter seseorang yang sudah kutahu siapa orangnya bukankah jauh lebih mudah dari pada putriku membawa seorang pemuda yang aku sama sekali ndhak mengenalnya? Jadi anggap saja, ini adalah proses pengenalanku denganmu. Dan jangan pernah berharap jika aku memberimu restu, lebih-lebih kalau kamu sampai macam-macam menjamah putriku. Sebab aku ndhak akan tinggal diam, kalau kamu sampai melewati batasanmu. Aku sendiri yang akan menghabisi nyawamu."     

Manis lantas langsung memukul lenganku, matanya kini sudah melotot ke arahku. Sepertinya aku telah salah ucap lagi.     

"Kangmas ini bicara apa, toh? Anak orang mau dihabisi dengan mudah sekali. Mbok ya kalau bicara itu, lho dipikir dulu. Jangan asal mangap seperti itu. Memangnya Pandu itu kambing apa, yang dengan mudah digorok kalau ingin. Dasar, Kangmas ini!" marahnya kepadaku. "Ndu, sudah ndhak usah hiraukan orangtua itu. Ndhak akan paham kamu dengan jalan pikirannya yang sakti itu. kalau dia bicara cukup iya, iya saja. Agar hatinya senang. Sudah... ndhak usah diambil hati. Lebih baik kita makan sekarang. Bulik sudah memasak banyak makanan ini lho."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.