JURAGAN ARJUNA

BAB 284



BAB 284

0Manis lantas memukul kepalaku dengan buku yang sedari tadi dia bawa, dasar istriku ini ndhak sopan sama sekali. Tapi aku semakin suka, kalau dia ndhak sopan seperti ini.     
0

"Sayang, ndhak semua hubungan antar laki-laki dan perempuan itu pasti melibatkan perasaan. Ndhak semua hubungan antara laki-laki dan perempuan itu harus melulu perkara dengan cinta. Lagi pula, perempuan itu sudah memiliki satu anak. Bisa dibilang seperti Mbakyu untuk Bima sendiri."     

"Aku masih ndhak percaya, karena kurasa ndhak akan pernah ada ceritanya ada hubungan benar-benar kawan antara laki-laki dan perempuan. Entah salah satu yang memendam, atau salah duanya. Yang jelas salah satu di antara mereka memiliki perasaan, entah yang mana," bantahku.     

Manis kembali mencubit lenganku dengan gemas, tapi dia ndhak mengatakan apa-apa lagi.     

"Misalnya hubungan tentang kita dulu yang katanya adalah kawan. Apa kamu pikir perasaan kita hanya sebatas itu?" kutanya. Manis langsung menoleh. "Bukankah kamu diam-diam telah jatuh hati kepadaku?" tembakku.     

Wajahnya tampak merona, kemudian dia mangap-mangap ndhak jelas, dan itu benar-benar sangat lucu.     

"Aku ndhak jatuh hati kepadamu, hanya saja kamu yang sudah kelewat batas. Memangnya hubungan pertemanan macam apa yang mencium temannya sendiri? Kemudian masuk ke kamar temannya sendiri, dan mencumbunya... kurasa perempuan mana pun di dunia ini yang diperlakukan seperti itu akan salah paham. Ndhak hanya aku. lebih-lebih setelah itu kamu menghilang tanpa kabar, datang lagi seolah semuanya ndhak pernah terjadi. Benar-benar pemuda yang ndhak tahu diri," marahnya. Aku hanya mengsam-mengsem tatkala dia mengatakan hal seperti itu.     

"Kamu pikir hatiku ini jemuran apa, toh, yang kamu bisa gantung sesuka hati," lanjutnya.     

Dan hal itu semakin membuatku tertawa semaki keras, sampai buku yang di tangannya mendarat manis di bibirku.     

"Dan dari situ aku mulai berpikir kalau seorang Arjuna itu benar-benar ndhak ubahnya seperti Arjuna di dalam pewayangan. Kemudian aku berpikir jika sudah banyak perempuan yang kamu lakukan seperti itu. Cih! Ternyata benar, sudah berapa perempuan yang sudah mengicipi bibir dan tubuhmu itu,"     

"Memangnya kamu pikir bibir dan tubuhku ini makanan kok ya dicicipi toh, Sayang?" godaku.     

Wajah Manis kini memerah, sepertinya dia benar-benar terbawa emosi tatkala mengingat kembali hal yang lalu.     

"Sebahagia itu, toh, sudah merasakan bibir dan tubuh banyak perempuan? Ah, benar saja, Arjuna itu kan pemuda yang dipuja banyak perempuan, pasti bangga itu,"     

Aku langsung menghentikan mobilku, kemudian kupandang Manis lekat-lekat. Rahangku mengerasa memandang bibirnya yang terus berkata sepedas itu.     

"Kenapa? Kamu marah? Aku mengatakan yang sebenarnya, toh?" ucapnya.     

"Pertama, selama aku sekolah menengah atas, sampai kuliah, sampai lulus, ndhak ada perempuan mana pun yang kucium dan kucumbu selain dirimu," kubilang. Manis langsung hendak memalingkan wajahnya tapi kutahan. "Kedua masalah dengan Arni, kamu sendiri tahu kalau aku saat itu ndhak paham dengan perasaanku sendiri. Dengan Wangi aku ndhak melakukan apa pun. Dan dengan Widuri, aku benar-benar ndhak sadar dengan apa yang kulakukan. Lantas dengan siapa lagi yang menurutmu aku ini sangat menikmati mencumbu banyak perempuan, hm?"     

Manis langsung diam, mata bulatnya memandangku takut-takut. Sepertinya, dia takut sekali kalau aku akan marah karena ucapannya kali ini.     

"Jangan pernah meragukan aku, meski aku dibilang laki-laki plin-plan dan ndhak seromantis romo-romoku tapi aku bisa menjaminkan hatiku ini seutuhnya untukmu. Ndhak pernah kurang, dan ndhak pernah terbagi kepada siapa pun selama itu aku sadar akan diriku sendiri. Jadi, jangan pernah mengatakan hal itu lagi, kalau ndhak...," kataku terhenti, lihatlah matanya sudah merah seperti itu. Dia pasti akan menangis sekarang. "Kalau ndhak kuperkosa kamu di sini sekarang juga."     

Aku langsung menarik tubuhku, kembali mengemudikan mobil. Manis tampak diam, sambil menundukkan wajahnya. Sesekali kulihat dia mengusap matanya dengan kasar.     

Lalu, kuelus perutnya, sembari mencoba mentralkan emosiku yang meletup-letup sekarang.     

"Bayiku, tolong, bilang kepada biungmu. Bahwa di kehidupan ini aku sangat mencintainya. Ndhak peduli seburuk apa pun orang lain menilaiku seperti apa. Asal bukan dia... bukan dia yang menilai buruk kepada Romo. Maka Romo ndhak akan apa-apa," kubilang. "Tapi kalau biungmu sudah meragukan Romo, itu adalah perkara yang benar-benar serius. Itu benar-benar menghancurkan hati Romo. Jadi, bayiku, katakan kepada Biung, ya. Jangan pernah meragukan Romo lagi. Bahkan saat ini, jika biungmu meminta Romo untuk membelah dada Romo maka akan Romo lakukan, agar biungmu tahu jika di dalam hati Romo hanya ada namanya. Bayiku, tolong, bilang kepada Biung, jika Romo sangat sedih tatkala Biung terus-terusan mengungkit kesalahan di masa lalu Romo."     

Tangisa Manis semakin menjadi, membuatku kembali menghentikan mobil. Lalu kupeluk dia erat-erat, sambil mengelus punggungnya yang bergetar.     

"Maafkan aku, Sayang. Maaf jika aku menyakitimu," kubilang.     

"Maafkan aku, Kangmas...," kata Manis pada akhirnya. "Aku selalu saja mengulang-ngulang hal itu. Aku selalu saja mengungkitnya. Maafkan aku,"     

"Ndhak apa-apa, aku sudah paham, jika sejatinya otak perempuan itu adalah perekam paling baik sedunia. Jangankan kesalahan sebesar itu, bahkan hal kecil yang kulakukan kepadamu sampai membuatmu kecewa aku yakin kamu masih bisa mengingatnya dengan sempurna," sindirku.     

Manis hanya menunduk, membuatku mengusap wajahnya yang sudah berderaian dengan air mata.     

"Istriku sayang, bagaimana ini. Seperti apa pun dirimu aku tetap saja selalu mencintaimu. Meski kamu sering marah-marah ndhak jelas karena mengandung, meski kamu mendiamiku karena suatu hal aku tetap mencintaimu, meski nanti tubuhmu telah berubah karena melahirkan aku pun akan tetap mencintaimu. Cintaku ndhak akan pernah berkurang, malah akan selalu bertambah sampai kapan pun itu. Dan jika nanti jika kamu sudah menua dan bahkan kamu lupa dengan cintaku ini, aku ndhak akan dengan senang hati mengulangnya kepadamu, agar kamu bisa mengingatnya kembali setiap waktu. Aku mencintaimu, sampai kapan pun aku akan tetap mencintaimu."     

"Sampai nanti kalau aku sudah ndhak cantik lagi?" tanya Manis.     

"Lho siapa memang yang bilang sekarang kamu cantik? Kamu sekarang sudah ndhak cantik lagi aku tetap cinta."     

"Kangmas!"     

Aku tersenyum mendengar ucapannya itu.     

"Iya, Sayang, iya. Kalau kamu ndhak cantik lagi, wajahmu sudah keriput, gigimu habis semua, dan kamu pikun. Atau kalau jalanmu sudah bungkuk sekalipun aku akan," ucapanku terhenti. Manis tampak menarik sebelah alisnya.     

"Akan apa, Kangmas?"     

"Akan lari, kamu benar-benar seperti nenek lampir pasti jika saat itu tiba."     

"Kangmas!"     

Aku kembali tertawa kemudian memeluk tubuhnya semakin erat. Meski aku ndhak bisa membayangkan bagaimana itu nanti.     

"Endhak... endhak, aku selalu cinta. Bahkan saat istriku ini marah-marah kepadaku sambil membawa tongkat, dengan jalannya yang bungkuk itu, aku akan tetap cinta."     

Manis lantas membalas pelukanku, dia tampak tersenyum dengan lebar. Matanya ia tutup rapat, seolah menikmati momen kami saat ini.     

"Kangmas, jujur, aku ndhak pernah merasa pantas bersanding denganmu sampai detik ini. itu sebabnya pikiranku selalu kemana-mana. Bukan karena meragukanmu, tapi itu karena aku ndhak percaya diri dengan diriku sendiri. Aku takut jika nanti ada permepuan yang lebih menarik dan baik dariku, kamu akan pergi meninggalkanku. Jujur, memikirkan hal itu benar-benar membuatku frustasi."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.