JURAGAN ARJUNA

BAB 282



BAB 282

0Pagi ini, aku agaknya dikagetkan dengan kedatangan Pandu. Bagaimana endhak, toh. Pagi-pagi sekali dia sudah ada di depan rumah dan sudah memakai seragam sekolah lengkap dengan tas, dan sepatunya. Padahal kurasa ayam saja baru kerkokok satu, dan fajar pun masih enggan menyingsing. Akan tetapi anak manusia satu ini bagaimana bisa sudah ada di sini, toh.     
0

"Kamu itu ada apa, pagi buta ke sini? Mau jadi tukang kebon sekolahan?" tanyaku.     

Pandu langsung tersenyum, kemudian dia melangkah mendekat ke arahku sambil menunduk. Sepertinya, dia tengah sungkan karena kedatangannya yang memang ndhak tepat waktu.     

"Kata Paklik, kan, aku disuruh untuk menjaga Ningrum. Jadi aku sudah siap ini untuk menjaga Ningrum."     

Mendengar jawabannya aku benar-benar ndhak habis pikir, toh. Memangnya, pekerjaanku anakku itu ayam atau bagaimana? Sampai-sampai harus dijaga sepagi buta seperti ini.     

"Kamu ini sepertinya benar-benar jatuh hati dengan putriku, toh? Sampai sesemangat ini hendak menjaganya tanpa peduli jika pagi ini bahkan fajar pun belum menyingsing. Apa kamu ndhak lihat itu di timur? Mataharinya belum tampak sama sekali. Ini benar-benar masih petang," gemasku.     

Lagi Pandu tersenyum, tampak salah tingkah dan benar-benar membuatku ingin memukul kepalanya saja. kalau dia kembali ke rumah juga kasihan.     

"Ya sudah, mobilku kotor, kamu bisa membersihkannya sembari menunggu sarapan siap. Di dalam aku ada beberapa pakaian yang masih baru. Ganti seragammu dengan pakaian itu," putusku. Masuk ke dalam rumah untuk mengambilkan pakaian untuk Pandu.     

"Kangmas, siapa, toh? Pagi-pagi kok ya sudah berkunjung seperti ini?" tanya Manis yang agaknya ikut penasaran juga.     

"Siapa lagi kalau bukan calon mantumu. Saking semangatnya diberi tugas untuk menjaga Ningrum, dia sudah da di depan rumah kita sekarang,"     

"Duh Gusti, kok ya sampai seperti itu bagaimana, toh? Terus dia sekarang di mana, Kangmas?"     

"Mau masuk, tolong carikan pakaian ganti untuknya. Cari pakaianku yang belum kupakai, ya. Aku menyuruhnya untuk membersihkan mobil, sembari menunggu sarapan matang."     

Manis menampilkan seulas senyum, kemudian dia mengelus lenganku dengan lembut. Tatapannya benar-benar penuh cinta, dan tatapan itu juga benar-benar membuatku mulai gila.     

"Terimakasih, Kangmas...," katanya padaku. "Aku ndhak pernah menyangka, jika Gusti Pangeran menjodohkanku dengan seorang laki-laki yang memiliki hati yang benar-benar luar biasa. Hati seluas samudra, dan semegah istana berlapiskan emas. Ndhak habis-habis sikap dermawannya kepada orang-orang yang membutuhkan, meski mereka baru saling kenal. Aku bangga memiliki suami sepertimu. Aku bangga menjadi istrimu."     

Aku langsung memeluk tubuhnya, dan rasa penat dalam dadaku tiba-tiba menguap begitu saja. Bahkan hanya dengan seperti ini aku sudah cukup bahagia. Bahkan, hanya dengan seperti ini rasanya aku ingin menghentikan waktu untuk sekejab saja.     

"Kalau kamu terus menyanjungku, kapan kamu akan mengambilkan pakaian untuk pemuda ndhak jelas yang ada di depan itu, Ndhuk," kubilang.     

"Duh Gusti, lupa aku kalau ada pemuda ndhak jelas di rumah kita. Terlebih, pemuda ndhak jelas itu adalah calon menantu kita. Kok bisa, ya, pemuda ndhak jelas itu mendapatkan pakaian baru dari Juragan yang harganya ndhak murah. Lebih-lebih, hanya untuk membersihkan sebuah mobil,"     

"Manis?" hardikku. Dia langsung tertawa sambil berjalan menuju kamar. "Hati-hati, jalan hati-hati, kalau kamu lari aku akan menggendongmu!"     

"Iya, iya... duh, cerewet benar suamiku ini."     

"Aku ndhak mau kamu dan bayi kita kenapa-napa. Apa kamu paham?"     

"Iya, Sayang!!" jawabnya lagi.     

Aku tersenyum mendengar suaranya yang melengking itu tatkala memanggilku sayang. Sebuah panggilan yang jarang sekali ia ucapkan untukku. Dan sekarang, dia lebih sering mengucapkannya.     

Lagi aku kembali tersenyum, namun nyatanya sudah ada Pandu yang ada di depanku sambil memandangku dengan tatapan anehnya itu. Yang berhasil membuat senyumku mendadak hilang, berganti dengan deheman. Aku ndhak mau disangka ndhak waras sama Pandu, karena aku senyum-senyum sendiri.     

"Paklik ndhak kenapa-kenapa, toh?" tanyanya. "Kok senyum-senyum sendiri. Membayangkan sesuatu yang lucu, ya?" tebaknya.     

"Mau tahu atau mau tahu sekali?" ucapku kepadanya. Pandu kembali tersenyum. "Tapi aku ndhak mau memberitahu pemuda jelek sepertimu," lanjutku. Sambil menebas kausku kemudian aku masuk ke dalam kamar.     

Melihat Manis yang sudah sibuk memilah pakaian, kemudian Ningrum yang tampak mencuri-curi pandang ke arah cermin. Seolah, dia ingin memastikan jika penampilan bangun tidurnya itu sempurna. Ndhak ileran, dan ndhak ada belek atau pun semacamnya.     

"Belekmu itu ada di sudut mata kananmu," kataku. Ningrum langsung memeriksa sudut yang kumaksud tapi ndhak ada. Aku tersenyum saja sembari mengerjai putriku itu. "Upilmu itu lho, tampak besar sekali. Hijau lagi," imbuhku. Yang berhasil membuat Ningrum langsung memeriksa hidungnya. Saat dia sadar ndhak ada sesuatu yang salah. Dia langsung memutar badannya ke arahku. Matanya sudah tampak benar kalau dia ini sebal. "Salah sendiri, tumben benar bangun tidur ndhak meluk Romo atau Biung malah-malah sekarang curi-curi pandang ke arah cermin. Kamu tahu kalau di luar ada Pandu? Ck! Ck! Ck! Kelakuanmu ini benar-benar seperti seorang perawan kasmaran, yang selalu ingin tampil cantik kepada pemuda yang dicintai. Ck! Ck! Ck! Kenapa ndhak mandi dan pakai bedak sekalian. Kemudian kamu mengakuinya kalau kamu baru bangun tidur,"     

Aku langsung berjalan keluar, membuat Ningrum melengos. Kulihat, tangannya sudah ada sepotong pakaian baruku, yang mungkin hendak diberikan untuk Pandu. Gusti, putriku ini, sejak kapan dia memiliki sifat seperti ini? Bakat pendekatannya ini dia belajar dari siapa, toh? Aku benar-benar penasaran dibuatnya.     

"Lihat itu, lihat...," kataku kepada Manis. Tatkala melihat Ningrum menyerahkan pakaian itu dengan malu-malu. Rasanya, ingin sekali kutarik tangannya dan kumasukkan ke dalam kamar. Agar dia ndhak bersikap malu-maluin seperti itu. Akan tetapi mau bagaimana lagi, aku juga pernah muda, aku juga pernah mengalami hal seperti yang dia alami. Jadi, aku hanya bisa melihat dan mengawasinya dari kejauhan saja. "Anak perempuanmu itu benar-benar seperti ayam betina yang sedang minta kawin,"     

"Kangmas ini bagaimana, toh!" marah Manis sambil memukul lenganku. "Kemarin tatkala putri kita bilang ndhak tertarik kepada Pandu, Kangmas sendiri yang keras kepala kalau itu hanya perasaan jual mahal putri kita saja. Sekarang tatkala putri kita tampak malu-malu seperti itu, malah dibilang seperti ayan betina yang sedang minta kawin. Kalau Kangmas iri itu bilang, ndhak usah sindir-sindir, toh."     

"Iya aku iri, kenapa?" kubilang. Manis tampak menggeleng kepalanya.     

"Heran aku, aku ini yang hamil tapi Kangmas yang uring-uringan. Aku yang hamil tapi Kangmas yang maunya makan macam-macam. Sebenarnya yang harus diperhatikan itu aku yang hamil atau Kangmas, toh!" gemasnya lagi.     

Kugendong tubuh Manis sampai dia kaget, kemudian kututup pintu kamar kami dan menguncinya.     

"Sekarang kangmasmu minta service sebelum berangkat bekerja," bisikku, membawanya menuju ke atas ranjang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.