JURAGAN ARJUNA

BAB 281



BAB 281

0Malam ini, aku, Ningrum, Manis tidur bertiga. Ningrum ingin tidur dikelonin oleh Romo, dan Biungnya. Iya, aku tahu, mengingat sudah begitu lama dia ndhak tidur dengan biungnya. Aku kembali harus mengalah ini, demi putriku tercinta. Sementara Ningrum sudah memeluk manja biungnya. Dasar putriku, sudah sebesar ini masih saja minta kelon. Nanti, kalau sudah menikah bagaimana? Masak iya masih mau minta kelon juga?     
0

"Ndhuk...," ucap Manis yang berhasil membuatku yang sedari membaca buku pun melirik ke arah dua perempuan yang sudah berpelukan itu. "Pemuda yang bernama Pandu itu anaknya baik, sopan-santun, dan unggah-ungguhnya bagus kepada orangtua. Apa benar di sekolah dia termasuk siswa yang berprestasi, toh? Apa dia ndhak melakukan kenakalan seperti anak-anak lainnya?"     

Sepertinya aku tahu, arah dari perbincangan ini. Yang ndhak lain ndhak bukan adalah untuk bicara dari hati ke hati. Namanya juga dengan anak perempuan, jadi bisanya untuk mengetahui isi hatinya ya harus seperti ini. Harus bisa menjadi kawan baiknya, agar dia mengeluarkan semua keluh kesahnya kepada kita tanpa harus berpikir jika kita adalah orangtuanya. Namun yang kulihat zaman sekarang ini, atau pada kebanyakan orangtua, pendekatan kepada anak itu kurang, toh. Mereka itu cenderung ingin dihormati, karena merasa jika mereka adalah orangtua. Mereka ndhak pernah mencoba berpikir, pola pikir dari anak-anak mereka. Kemudian masuk dengan pendekatan yang lebih sederhana, yaitu menjadi kawan baiknya, pastinya anak-anak akan lebih nyaman tatkala kita melakukan itu. Dan mereka ndhak akan merasa takut, dan ndhak akan ada yang disembunyikan. Ningrum, meski dia memang bukan putri kandungku, tapi dia sangat terbuka kepadaku juga biungnya. Apa pun masalah dia selalu cerita.     

Bahkan aku ingat dengan jelas dulu. Tatkala haid pertamanya, dia menangis sekencang-kencangnya mencari keberadaanku. Katanya, perutnya sakit, dan setelah itu dia berdarah-darah di bokongnya. Kaget benar aku waktu itu, jujur saja memang usiaku masih belum pantas dipanggil Romo waktu itu, toh jika aku mau aku juga bisa menikah dengan Ningrum. Melihat hal semacam itu tentunya aku juga malu. Namun, untungnya biungnya menjelaskan dengan sabar. Jika apa yang dialami olehnya itu adalah siklus bulanan perempuan, yang ndhak boleh diketahui oleh laki-laki mana pun termasuk aku. Dan nanti jika datang lagi, yang dia cari harus biungnya, bukan romonya.     

Sungguh, mengingat hal itu benar-benar sangat lucu. Rasanya baru kemarin aku melihatnya masih kecil. Rasanya baru kemarin aku menggoda-godanya untuk kujadikan istri. Tapi sekarang siapa sangka, anak gadisku yang dulu kecil kini sudah dewasa. Bahkan, dia sudah mengenal apa yang namanya cinta.     

"Dia memang baik, Biung. Di sekolah dia yang menjadi andalan. Ibaratnya, dia ini adalah siswa berprestasi nomor satu. Selalu mendapat nilai bagus dan juara umum. Dia baik kepada semua orang, sopan kepada guru-guru. Itu mungkin sebabnya banyak anak yang naksir sama dia. Dia itu kata kawan-kawanku seperti tokoh utama dalam sebuah buku cerita, yang menjadi dambaan setiap kaum hawa,"     

Aku tersenyum mendengar Ningrum mengatakan hal itu. Penjabarannya benar-benar sangat rinci. Bahkan aku ndhak menyangka, di dalam sosok bernama Pandu di mata putriku ndhak ada cacatnya sama sekai.     

"Wah, Pandu itu berarti hebat sekali, toh. Bahkan dia sangat sempurna sekali."     

Kini Ningrum ndhak menjawab lagi, dia hanya menyembunyikan wajahnya di lengan biungnya.     

"Jadi tadi apa yang dibicarakan oleh romomu, bagaimana pendapatmu, Ndhuk?"     

"Yang mana Biung?" tanyanya agaknya bingung. Iya, lha wong aku bicaranya banyak sekali toh.     

"Tentang tantangan romomu itu kepada Pandu. Kan tadi Pandu bilang kalau dia menaruh hati sama kamu. Lantas romomu memberi tantangan kepadanya untuk menjagamu, sembari mempelajari bagaimana karakternya. Itu menurutmu bagaimana? Bagus ndhak itu ucapan romomu?"     

Ningrum kini melirik ke arahku, senyumnya tampak sedikit kemudian dia kembali memandang ke arah biungnya. Sepertinya, dia sebal lagi kepadaku. Aku ini benar-benar heran, masak iya semua anak perempuan itu seperti ini? Tatkala romonya ingin memberikan yang terbaik untuk putrinya, malah diketusi terus-menerus.     

"Aku ndhak berani bilang apa-apa, Biung. Bagaimana lagi, kakak kelasku ada yang naksir sama dia. jika dia tahu kalau Pandu dekat-dekat pasti pikirannya buruk lagi, dan akan menjadikanku mainannya lagi. Jujur aku ndhak mau kalau sampai itu terjadi. Menurutku, sangat ndhak berguna jika seorang teman harus bertengkar hanya karena memperebutkan seorang pemuda. Toh, kita juga ndhak tahu kelak ke depannya itu seperti apa. Dan aku juga ingin bersekolah dengan damai dan aman, ndhak ada orang yang membenci dan memusuhiku hanya karena urusan seorang pemuda saja. Ndhak penting, Biung."     

Manis lantas menoleh ke arahku, seolah ia ingin memamerkan jawaban dari putrinya kepadaku.     

Aku langsung menutup bukuku, kemudian ikut bergabung tidur dengan mereka. Memeluk mereka berdua dengan erat.     

"Iya, kamu ndhak perlu berpikir jauh-jauh. Romo pun ndhak akan memaksamu untuk sakadar memikirkan urusan hati. Di mata Romo kamu adalah putri kecil Romo sampai kapan pun itu. Sekolah yang tinggi dan jadi sukses, biar nanti kamu bisa memilih antara menjadi seorang Ndoro, atau pemilik pabrik yang ada di Jakarta. Bukankah seorang perempuan yang mampu berdiri sendiri itu adalah perkara yang sangat hebat, dan luar biasa? Sekarang ini zaman emansipasi wanita, ndhak peduli seberapa tinggi mimpimu, capailah selagi kamu bisa. Namun begitu, Ndhuk... ada satu hal yang tentunya harus kamu tahu," kubilang, aku terdiam sejenak kemudian aku menarik turunkan alisku kepada Manis. "Jika sejatinya Pandu juga memiliki hak. Dia adalah seseorang yang juga memiliki rasa, dan hak atas dirinya sendiri. Boleh jadi jika kamu ndhak mencintainya, tapi memperjuangkan cintanya itu juga adalah hak dari dirinya Pandu, toh? Entah akhirnya, dia akan berhasil atau gagal, itu merupakan risiko yang harus diambil dari langkahnya. Namun menurut pandangan Romo, Pandu akan berhasil. Sebab Romo rasa, ada seorang gadis kecil yang berusaha keras menutupi perasaannya karena terjebak oleh dilema."     

"Romo ini bicara apa, toh," kata Ningrum sambil mencubit perutku.     

"Eh jangan cubit-cubit bagian itu, nanti tanganmu kepeleset ke bawah bahaya, Ndhuk."     

"Kangmas!"     

"Romo!"     

Marah Manis, dan Ningrum bersamaan. Aku hanya tertawa saja mendengar amarah mereka itu. Sepertinya marah adalah hobi mereka.     

"Biung...," kata Ningrum lagi. "Aku ingin punya adik perempuan," lanjutnya.     

Manis langsung tersenyum, kini dia mengelus wajah putrinya dengan sayang. Kemudian, dia mengangguk pelan.     

"Semoga adikmu benar-benar perempuan, ya. Jadi kamu bisa punya kawan," jawab Manis pada akhirnya.     

Mau perempuan, dan laki-laki menurutku sama saja. Toh keduanya sama-sama anak. Ndhak akan berbeda. Nanti kalau anak-anak kita menikah, kita juga akan punya anak laki-laki, toh.     

"Sekarang ayo tidur, sudah larut. Ndhak baik buat biungmu begadang. Kasihan adikmu," putusku pada akhirnya.     

Keduanya langsung mengangkat kepalanya, kemudian tanganku ditarik sebagai bantal mereka berdua. Lalu keduanya memiringkan tubuhnya kepadaku, sembari memelukku dengan erat.     

Dasar mereka, bisa-bisa aku ndhak bisa tidur semalaman karena tanganku kesemutan ditindih oleh dua kepala besar seperti mereka. Gusti... Gusti.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.