JURAGAN ARJUNA

BAB 283



BAB 283

0Sudah hampir seminggu aku, dan Manis ada di Purwokerto. Dan selama satu minggu pula aku sudah meneliti beberapa hal, jika semua keadaan Ningrum sudah aman terkendali. Bahkan dengan adanya perintahku yang menyuruh Pandu untuk menjaga Ningrum, membuat pemuda itu harus mengikuti Ningrum kemana-mana.     
0

Dan lima anak nakal itu ndhak melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun lagi sekarang. Seendhaknya dengan seperti itu aku tahu kalau mereka sudah benar-benar jera dengan apa yang telah mereka lakukan kemarin. Oleh sebab itu, aku jadi bisa meninggalkan Ningrum untuk kembali menemani Manis ke Jakarta. Jadwal sidah skripsi sudah diumumkan, toh setelah sidang dan setelah melengkapi beberapa hal Manis bisa kembali ke Kemuning lagi.     

"Ndhuk," kubilang saat aku dan Manis sudah bersiap untuk kembali ke Jakarta. Ningrum yang agaknya sedih pun hanya membalas panggilangku dengan tatapan bulatnya itu. "Romo, dan Biung mau pamit dulu untuk ke Jakarta, sebab jadwal sidang skripsi Biung sudah ditentukan. Setelah itu Biung akan lebih santai, untuk mengurusi beberapa hal kemudian kembali dulu ke Kemuning. Kamu, kalau liburan nanti langsung kembali pulang, paham?"     

"Iya, Romo," jawab Ningrum, sambil memeluk tubuhku dengan manja. "Bakal rindu,"     

"Salah sendiri, sekolah saja tempatnya jauh seperti ini. Coba nurut sama Romo waktu itu untuk bersekolah di Jakarta, kita bisa kumpul bersama-sama, toh," marahku. Ningrum langsung cemberut.     

"Kangmas ini, anak punya pilihannya sendiri kok malah disalahkan terus," marah Manis. Ya seperti ini, kalau mereka sudah bertemu, mereka bagian benarnya, aku bagian salahnya. Memang benar peribahasa bilang, jika wanita selalu benar. Dan laki-laki selalu salah. Ah malangnya nasibku, toh.     

"Sudah ndhak usah sedih, Biung hanya sebentar. Setelah itu kembali lagi, toh," kata Manis yang kini menarik tangan Ningrum untuk dipeluk.     

"Nanti Ningrum bagaimana? Ada pandu juga kan Ningrum bingung, Biung," keluhnya pada akhirnya.     

"Ingat pesan Romo, sama pandu biasa saja, ndhak usah macam-macam. Romo akan menyuruh Paklik Ucup tinggal di sini untuk mengawasi kalian, dan biar ndhak kecolongan,"     

Ningrum lantas menganggukkan kepalanya paham, kemudian dia tersenyum manis kepadaku.     

"Iya, aku tahu Romo cemburu. Karena putri kesayangan Romo ini telah tertarik dengan pemuda selain Romo, iya, toh? Itu sebabnya Romo menjadi sentimentil seperti itu. Karena Romo takut kehilangan diriku," ucapnya. Aku hanya diam, membiarkannya berucap panjang lebar. "Tapi percayalah, Romo, sampai kapan pun, bahkan sampai aku ini sudah tua. Aku akan tetap menjadi putri kecil Romo seutuhnya."     

"Ehm, manis benar ucapanmu, Ndhuk,"     

"Sini berpelukan," imbuh Manis.     

Aku langsung memeluk dua perempuan yang ada di sampingku, mereka langsung terkekeh karena tindakanku itu. Ah, senangnya, seolah menjadi keluarga yang lengkap. Terlebih, sekarang Manis telah mengandung anak kedua kami. Kebahagiaan ini benar-benar terasa akan menjadi semakin, dan semakin lengkap lagi.     

"Adek bayi, Biung akan sidang skripsi, dan Biung juga akan menjalani hari-hari yang melelahkan. Mohon ndhak usah rewel di perut, ya, jagain Biung untuk Mbakyu, dan lindungi Biung selalu. Aku ndhak sabar ingin cepat-cepat bertemu denganmu, Adek bayi," lirih Ningrum. Sambil mengelus perut biungnya.     

"Ciap, Mbakyu! Adek bayimu ini akan tetap siaga!" kujawab, sembari menggunakan suara khas anak kecil.     

Aku kembali memeluk Ningrum, kemudian kukecup keningnya. Mau berpisah dengannya sebentar saja, rasanya kok benar-benar berat sekali.     

"Romo, dan Biung pamit, ya, Ndhuk."     

"Hati-hati!" kata Ningrum.     

Tangannya masih menggenggam erat tanganku, dan biungnya. Seolah enggan melepaskan kami pergi.     

"Nanti kalau sampai telepon, ya!" teriaknya lagi.     

Manis mengelus rambut putrinya, kemudian dia mencium pipi putrinya dengan sayang.     

"Iya, Sayang, nanti kalau Romo dan Biung sudah sampai pasti langsung telepon."     

"Biung harus marahin Romo kalau nyetirnya ugal-ugalan,"     

"Siap, Ndoro Putri!"     

"Aku sayang kalian!"     

"Iya... iya, Romo paham!" ucapku.     

Aku langsung segera berjalan, sebelum aku ndhak jadi lagi ke Jakarta karena ndhak tega meninggalkan Ningrum.     

Tampak dengan jelas dari spion Ningrum berjalan ke arah jalan sembari melambbaikan tangannya tinggi-tinggi. Bahkan sesekali dia mengusap wajahnya dengan lengan bajunya. Dia pasti menangis, dan hal itu berhasil membuatku hendak menangis juga.     

"Jadi sekarang, yang berat meninggalkan siapa?" goda Manis.     

Aku langsung mengusap wajahku dengan kasar, kemudian aku menoleh ke arahnya, yang sudah memandangku seolah aku ini sangat lucu.     

"Ndhak tega, dia putri kita. Aku hanya takut kalau-kalau Pandu, dan Paklik Ucup ndhak bisa melindunginya. Atau malah, Pandu yang kelepasan berbuat sesuatu kepadanya. Meninggalkan anak perempuan untuk hidup jauh dari orangtua itu benar-benar perkara yang sangat rawan. Risikonya benar-benar sangat besar. Aku benar-benar takut jika kejadian seperti Riant—"     

"Kangmas, ndhak usah berpikir sejauh itu, toh. Rianti seperti itu karena di rumah dia ndhak ada abdi dalem, jadi dia luput dari pengawasan Romo Nathan. Terlebih, dia keluar kemana-mana juga jarang denganku, dia lebih sering bersama dengan kawan-kawannya. Dan perempuan semua. Penjagaannya benar-benar sangat kurang. Dia merasa kalau dia akan baik-baik saja, itu sebabnya dia ndhak sadar jika dia ini seorang Ndoro yang harus dijaga. Tapi kalau Ningrum ada abdi dalem di rumah, ada Paklik Ucup, yang aku yakin akan selalu membuat Ningrum aman,"     

Kuhelakan napasku panjang-panjang kemudian aku mencoba mengangguki ucapan dari istriku itu.     

"Lagi pula, apa yang dilakukan Bima itu pun di luar kemanuannya, Kangmas. Niatnya hanya untuk menolong Rianti yang saat itu mengalami kedinginan hebat tatkala naik ke puncak gunung. Hanya saja, apa yang mereka lakukan kebablasan. Aku sendiri ndhak bisa menyalahkan siapa pun. Kasarannya adalah, siapa yang akan lolos dari hawa nafsu jika saat itu di suhu yang sangat dingin dengan kodisi seorang perempuan terkapar karena butuh kehangatan, terlebih di sana hanya ada mereka berdua. Pemuda adalah jenis manusia yang memiliki nafsu luar biasa. Terlebih yang kulihat sedari awal adalah, Bima juga ada rasa dengan Rianti."     

"Kamu tahu dari mana? Bukankah mereka sering bertengkar?" tanyaku lagi.     

"Ucapan pedas dan kasar Bima ndhak kurang ndhak lebih adalah karena dia ingin menutupi perasaannya. Jadi dulu, setelah aku bertanya dengan kakak tingkat waktu itu. Bima ini bertemu dengan Rianti tatkala dia tahun ajaran baru. Bima katanya menulis surat cinta kepada Rianti, tapi surat itu ndhak sengaja diinjak, dan dirobek sebelum dibaca. Padahal saat itu Rianti juga ndhak tahu kalau surat itu dari Bima. Tapi Bima sudah salah paham, yang mengakibatkan pikirannya buruk kepada Rianti. Dan berpikir jika Rianti adalah seorang perempuan yang terlalu mengagungkan jabatannya sebagai seorang Ndoro, yang cenderung kaku, dan ndeso. Dan Kangmas juga tahu sendiri, toh, Rianti seperti apa. Dia paling ndhak suka jika ada sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani, dan egonya pasti akan ditentang olehnya. Ya, jadi seperti itu, toh," jelas Manis kemudian.     

"Kenapa kamu ndhak cerita ini kepadaku dulu?" kutanya, karena kesal benar tatkala dia mengetahui masalah sepenting ini tapi dia ndhak memberitahuku terlebih dulu.     

"Sayang, aku pun baru tahu. Aku ndhak sengaja punya kawan yang baru saja mengurus skripsi, dan kawanku itu rupanya dekat dengan Bima. Yang paham masalah yang sebenarnya."     

"Laki-laki atau perempuan?"     

"Perempuan," Manis jawab.     

"Kenapa dia tahu semuanya?"     

"Karena dialah yang membantu Bima menulis surat itu. Ya, bisa dianggap kawan baik Bima, seperti itu."     

"Apa dia ndhak jatuh hati dengan Bima? Kenapa repot-repot membantu Bima?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.