JURAGAN ARJUNA

BAB 286



BAB 286

0"Duh Gusti, iya, Biung lupa, kalau Setya masih di sini, toh," katanya.     
0

Duh Gusti Biung ini malah lebih parah dari aku. Ada anak orang menginap di rumahnya kok ya sampai lupa untuk menyuruhnya pulang itu lho.     

"Dia itu sudah Biung anggap rumahnya di sini. Lha wong bagaimana, toh, katanya terlalu betah. Terlebih Wangi sering bermain ke sini juga. Sepertinya memang sengaja ndhak mau pulang."     

Aku langsung geram mendengar penuturan dari Biung. Dasar pemuda ndhak tahu diuntung! Aku yakin, menungguku mejemputnya hanyalah alsannya agar dia bisa berlama-lama dengan Wangi. Lagi pula Wangi ini, kenapa dia setiap hari ke sini? Apa juga yang dia kerjakan di sini? Bukankah dia sangat sebal dengan Setya? Seharusnya duduk manis di rumah bukankah hal yang seharusnya ia lakukannya sekarang?     

"Kenapa Wangi selalu ada di sini, Biung? Apa dia ada urusan dengan seseorang?" tanyaku pada akhirnya.     

"Ya jelas dia ada di sini, toh. Lha wong dia ada urusan dengan orang yang dia sayang."     

"Hah? Siapa?" tanyaku semakin bingung. Jadi, dia telah jatuh hati dengan pemuda Kemuning, toh. Pantas saja kalau dia sering ke sini. Kupikir, dia ke sini karena ada Setya.     

"Lho, kamu ndhak tahu, toh. Kan Setya itu adalah kekasih hati Wangi."     

Aku nyaris tersedak dengan liurku sendiri karena ucapan Biung yang benar-benar di luar nalar. Aku benar-benar ndhak mau percaya, tapi kenyataan seperti itu.     

Aku lantas masuk ke dalam rumah, mencari keberadaan Wangi dan Setya yang mungkin ada di sini. Kemudian Biung berjalan di belakangku, dan menarik lenganku.     

"Kalau jam segini, keduanya sedang di rumah pintar. Pacaran di sana sambil mengajari anak-anak kampung, juga memberi ilmu pengetahuan tentang hidup bersih dan nyaman tatkala di kampung seperti ini."     

Duh Gusti, sepertinya aku merasa sedang dikerjai kalau seperti ini. Bagaimana bisa aku jauh-jauh datang ke sini, tapi orang yang aku jemput malah sibuk pacaran sendiri.     

Kemudian, aku memandang ke arah Biung, tekadku sudah bulat untuk memberi pelajaran kepada Setya agar dia kapok.     

"Biung, aku kembali ke jakarta dulu. Jika Setya tanya kenapa aku ndhak datang-datang menjemputnya, bilang saja, percuma. Sudah dijemput malah asik pacaran. Dan juga bilang juga kepadanya, lebih baik dia tinggal di sini, biar semakin bahagia dia bisa bertemu dengan pujaan hatinya sepanjang waktu."     

"Lho, tunggu dulu, toh...," Biung langsung menahanku untuk pergi. "Kamu baru sampai, lho. Ndhak makan dulu atau istirahat dulu? Romomu bahkan belum bertemu denganmu."     

"Masalahnya Biung, aku harus cepat-cepat. Aku sedang meninggalkan Manis di Jakarta tanpa kuberitahu kalau aku kembali ke Kemuning karena aku ndhak enak hati dengan Setya. Tapi nyatanya Setya seperti ini, makanya aku harus cepat-cepat kembali agar dia ndhak curiga kenapa aku pergi lama, Biung."     

Biung tampak menghela napas panjang, kemudian dia mengangguk paham. Agaknya dia tahu dengan bagaimana kesal dan risauku sekarang.     

"Ya sudah, hati-hati. Ndhak usah ngebut-ngebut. Sesampainya di Jakarta jangan lupa makan cukup, istirahat cukup, jangan capek-capek, ya,"     

Aku langsung memeluk tubuh Biung, kemudian kukecup kening Biung dengan sayang. Ah, rasanya aku ingin tinggal lebih lama. Tapi jika aku egois melakukannya, aku akan menyakiti istriku, dan membiarkan dia merana sendirian di Jakarta.     

"Biung aku pamit, sampaikan salamku untuk Romo."     

"Iya,"     

*****     

Sudah hampir pagi dan aku baru sampai di rumah, bahkan aku sudah menyuruh Suwoto untuk menungguku di luar. Agar tatkala aku datang, dia dengan sigap membukakan pintu untukku, agar Manis ndhak tahu aku kembali jam berapa.     

Saat aku sudah sampai, Suwoto tampak tertidur di teras rumah sembari menyelimuti tubuhnya dengan sarung. Aku terenyuh melihat kejadian itu, melihat seorang abdi dalem yang begitu peduli kepadaku.     

"Suwoto, ayo bangun. Pindah ke dalam," kubilang, sambil menggoyang-goyangkan badannya.     

Suwoto langsung membuka matanya lebar-lebar kemudian dia membukakan pintu, ikut masuk ke dalam rumah mengekori langkahku.     

"Lho, Dokter Setyanya di mana, Juragan?" tanyanya. Sembari clingak-clinguk menacari keberadaan seseorang. Aku tahu siapa gerangan orang yang dicari itu, sipa lagi kalau bukan orang ndhak tahu diri bernama Setya.     

"Dia mati," jawabku sebal.     

"Mati bagaimana, toh, Juragan?"     

"Rupanya, dia itu ndhak mau kembali ke Jakarta bukan karena menunggu jemputanku, akan tetapi dia telah memiliki kekasih hati di Kemuning. Dasar, perjaka tua ndhak tahu diri," geramku lagi.     

Suwoto lantas mengambilkan air putih untukku, dan mempersilakanku untuk meminumnya. Aku duduk, sambil meminum air putih itu, dan diikuti oleh Suwoto.     

"Omong-omong bagaimana tadi sidangnya Manis? Apakah dia lulus? Apakah semuanya lancar?" tanyaku pada Suwoto.     

Suwoto tampak tersenyum, kemudian dia mengangguk kuat-kuat. "Syukur, Juragan. Ndoro lulus. Sekarang tinggal mengurus beberapa hal dan administrasi, untuk kemudian bisa ditinggal di kemuning sampai waktu wisuda datang."     

"Syukurlah, Gusti. Semuanya berjalan dengan lancar. Terimakasih, Suwoto. Tanpamu semua ini ndhak mungkin bisa terjadi. Sekali lagi, terimakasih banyak."     

"Juragan bisa saja, toh. Ndhak usah merasa sungkan. Apa yang telah Juragan berikan kepada saya jauh lebih besar dari pada apa yang saya lakukan kepada Juragan. ini adalah seorang tugas dari abdi setia, jangankan hanya menemani Ndoro Manis. Menyerahkan nyawa untuk Juragan pun itu adalah suatu kewajiban bagi saya."     

Aku langsung memeluk Suwoto, aku benar-benar ndhak menyangka jika dia akan seperti ini kepadaku. Memiliki banyak abdi yang setia itu benar-benar rasanya luar biasa.     

"Tapi, kita ndhak lantas langsung kembali ke Kemuning, Suwoto. Ada beberapa hal yang harus kutinjau di pabrik, dan menyuruh Ucup mengurus beberapa hal sebelum benar-benar tega kutinggal. Dan kurasa kita masih perlu beberapa kali berkunjung, untuk melihat cara kerja mereka. Apakah sudah tepat dengan porsinya atau malah di luar batasan kita."     

"Iya, Juragan.���     

"Besok telepon Paklik Sobirin, untuk mengemasi beberapa barang yang kiranya sudah ndhak terpakai di sini untuk dibawa kembali ke Kemuning," kataku lagi.     

Suwoto mengangguk menjawabi ucapanku.     

"Oh ya, Rianti ke sini?" tanyaku lagi, yang membuatku menghentikan langkah.     

"Iya, Juragan. Ndoro Rianti dan Juragan Kecil Abimanyu ada di sini. Sekarang mereka sedang tidur di kamarnya. Tadi, Juragan Bima yang mengantar untuk kemudian ditinggal, sebab Juragan Bima ada urusan mendadak di luar kota juga."     

Syukurlah, seendhaknya kedua wanita itu saling melengkapi, saling menutup rasa kesepian mereka masing-masing dengan saling menunggui. Kalau seperti itu, aku jadi ndhak khawatir lagi. Dan ndhak sungkan dengan Bima karena telah memaksa istrinya untuk tdiur di sini malam ini.     

"Ya sudah, tidurlah, sudah hampir pagi. Aku juga akan segera kembali ke kamar," kataku pada akhirnya. Menepuk bahu Suwoto sekolas kemudian berjalan masuk ke dalam kamar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.