JURAGAN ARJUNA

BAB 285



BAB 285

0Pagi ini aku sudah menyiapkan sarapan, yang baru saja dibeli oleh Suwoto. Suwoto datang tepat satu jam sebelum aku datang di Jakarta tadi malam.     
0

"Juragan,"     

"Hm?"     

"Dokter Setya kok Juragan tinggal di Kemuning, toh,"     

"Oalah Gusti, lupa aku!"     

Duh Gusti, iya... kenapa aku sampai lupa meninggalkan Setya sendirian di Kemuning, toh. Kenapa aku sampai lupa menghampirinya dan membawa kembali ke Jakarta, toh. Lalu, di mana gerangan bocah sialan satu itu?     

"Iya, Suwoto, aku lupa mengangkutnya ke Jakarta. Duh Gusti, lantas bagaimana ini? Apa dia ikut kamu kembali ke jakarta?" kutanya. Suwoto tampak menggeleng.     

"Endhak, Juragan. Pak Dokter bersikeras menunggu Juragan. Bahkan dia bilang, ndhak mungkin Arjuna melupakannya. Karena Arjuna adalah kawan kentalnya."     

Aku sudah ndhak bisa berkata apa-apa. Aku benar-benar bingung, masak iya aku kembali ke Kemuning untuk menjemput Setya? Tapi, kalau sampai dia tahu aku sudah di Jakarta dan dia kutinggal, pasti orang satu itu akan marah besar. Perkaranya, bukan karena di Ngargoyoso ada Wangi. Akan tetapi, pekerjaannya banyak yang sudah ditinggal di sini. Lebih lama lagi dia berada di sana, maka akan semakin besar pula pekerjaan yang harus dia kerjakan tatkala kembali. Ini benar-benar akan merepotkannya. Di saat dia telah membantuku dengan sepenuh hati masalah warga kampungku itu.     

"Duh, bagaimana, toh. Bingung aku," kubilang, kepalaku tiba-tiba mendadak sakit, karena memikirkan Setya.     

"Ada apa, Kangmas?" tanya Manis, yang baru saja bangun dari tidur.     

Aku bingung bagaimana ceritanya kepada Manis, sebab aku yakin, kalau sampai dia ingat Setya, dia pasti akan menyuruhku untuk kembali ke Kemuning sekarang juga.     

"Kamu duduk dulu sini...," kataku, menuntun Manis untuk duduk, sembari mengedipkan mataku kepada Suwoto agar dia ndhak mengatakan apa-apa dulu. "Sarapan dulu, habis itu kita minum vitamin. Biar bayi kita sehat."     

"Tapi, Kangmas bingung kenapa, toh?" selidiknya yang sepertinya benar-benar ndhak percaya denganku.     

Aku dan Suwoto kembali saling lihat, mulutku mangap-mangap ndhak bisa mengatakan apa pun. Andai saja perjalanan Jakarta—Kemuning itu dekat, pastilah saat Manis sibuk dengan ujian skripsi aku buru-buru menjemput Setya, agar tatkala Manis di rumah dia ndhak curiga kalau Setya sampai sekarang masih menungguku menjemputnya.     

"Bingung ini pabrik masih banyak yang kurang, sementara Ucup masih belum memberikan rincian detilnya kepadaku, serta hal-hal apa yang perlu diperbaiki," dustaku. Manis, maafkan kangmasmu ini, toh. Yang sekarang ndhak jujur kepadamu. Tapi, aku bisa pastikan ndhak ada yang kututupi darimu kecuali satu ini. Tentang Setya.     

"Apa ndhak sebaiknya Juragan menyuruh Sobirin mengantarkan Dokter Setya ke sini saja, toh? Bilang saja kalau Juragan juga dalam perjalanan dari Purwokerto ke Jakarta sekarang. Ndhak sempet mampir, karena ada suatu hal," bisik Suwoto kepadaku.     

"Kamu itu ndhak tahu Setya, dia itu ibarat kekasihku yang paling setia. Kalau ndhak aku yang menjemput, dengan alasan apa pun maka dia ndhak akan pernah beranjak dari mana pun. Dulu pernah kuliah, sampai dia mengulang ujian hanya karena dia disuruh untuk masuk dulu ndhak mau, malah-malah menungguku yang saat itu lupa, dan kembali ke Jambi duluan," jawabku pada Suwoto.     

Suwoto langsung kaget, kemudian dia menggaruk tengkuknya yang ndhak gatal, aku yakin jika dia pun sekarang ikut bingung. Sama halnya denganku, yang bingung juga mengenai perkara ini.     

"Kenapa bisa Dokter Setya seperti itu, toh, Juragan?"     

"Ndhak tahu. Tapi memang kata kawan kacilnya, sedari dulu dia itu ndhak ada kawan. Bisa berkawan baik denganku, seperti mendapatkan seorang saudara. Lantas sekarang, apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar ndhak punya cara untuk membawa Setya ke sini. Lebih-lebih kalau sampai Manis ingat tentang keberadaan Setya kemudian dia menanyakan keberadaanya kepadaku. Aku harus menjawab apa, Suwoto? Aku benar-benar pusing, toh,"     

"Oh ya, Kangmas... kok ya aku lupa sesuatu,"     

"Apa?!" kataku kaget. Jangan... jangan sampai dia menanyakan keberadaan Setya.     

"Kita telah berhutang banyak dengan Pak Dokter. Sudahkah Kangmas membayarnya? Apa kita perlu membelikanhya cindera mata?" tanyanya.     

Aku langsung menelan ludahku dengan susah. Dia mulai membahas Setya, bisa-bisa dia minta bertemu dengan Setya. Bahaya!     

"Sudah... sudah, untuk perkara itu ndhak usah kamu pikirkan, ya? Sekarang, kamu sarapan, kemudian mandi, bersiap untuk pergi kuliah. Nanti, Suwoto yang akan mengantar dan menunggumu sampai pulang."     

"Kenapa, Kangmas?"     

"Oh ini, ada pekerjaan yang sangat gawat di di pabrik, kemungkinan aku akan benar-benar pulang sangat larut. Tadi Ucup memberitahuku kalau masalah ini benar-benar serius."     

"Masak, toh? Bukannya biasanya Kangmas tinggal terima beres?" tanya Manis yang agaknya curiga denganku. Aku harus mencari waktu untuk kembali ke Kemuning dan menjemput Setya sekarang.     

"Iya, Ndoro. Karena ini ndhak bisa diwakilkan, benar-benar hanya Juragan Arjuna saja yang bisa menanganinya. Kalau endhak, semuanya pasti akan kacau," imbuh Suwoto membantuku berbohong. Gusti, Suwoto ini pandai sekali. Ndhak perlu aku ajari dia sudah pintar sendiri. Coba kalau Suwoto adalah Paklik Sobirin, bisa-bisa kebohonganku langsung terbongkar saat itu juga.     

"Kira-kira Kangmas pulang kapan?" tanya Manis yang agaknya sekarang dia lebih memilih percaya, dari pada banyak tanya seperti tadi.     

"Secepatnya, aku pasti akan kembali secepatnya, Ndhuk," ucapku pada akhirnya.     

Setelah selesai sarapan dan minum vitamin, Manis langsung bersiap mandi. Aku langsung pergi saat itu juga sembari menitipkan Manis kepada Suwoto untuk dijaga baik-baik. Nanti, aku akan menyuruh Rianti untuk berkunjung, agar dia ndhak merasa kesepian.     

Setelah perjalanan yang cukup melalahkan terlebih dengan kondisi kupaksa mobil berjalan dengan sangat kencang. Akhirnya, aku berada di Kemuning juga, rasanya pantatku panas, tangan dan leherku pun sakit semua.     

Kuedarkan pandanganku seraya mencari di mana gerangan Setya agar aku langsung membawanya kembali. Namun nyatanya, Setya ndhak memunculkan batang hidungnya sama sekali.     

Aku segera turun, tampak Biung sedang menjahit pun melihat ke arahku sambil melepas kacamatanya. Dia kemudian berdiri, berjalan keluar dari rumah untuk menghampiriku.     

"Biung," kubilang, sambil kucium punggung tangannya. Kupeluk tubuh Biung, tapi mataku sudah melihat kemana-mana.     

"Kamu kembali? Di mana Manis? Tak pikir kamu akan lansung ke Jakarta karena seminggu lebih kamu ndhak kembali ke sini," kata Biung pada akhirnya. Bahkan, Biung pun punya pikiran seperti itu. Tapi Setya kok ya ndhak punya pikiran sampai sejauh itu, toh.     

"Sebenarnya aku ini sudah kembali di Jakarta semalam, toh, Biung. Karena hari ini Manis ada sidang skripsi."     

"Lho, lantas kenapa kamu kembali?"     

"Biung lupa kalau ada anak orang yang tertinggal di sini?" kubilang.     

Biung tampak berpikir, kemudian dia tertawa sambil menepuk keningnya. Seolah, dia baru sadar, anak orang mana yang telah kutinggal sampai sejauh ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.