JURAGAN ARJUNA

BAB 287



BAB 287

0Pelan, aku buka pintu kamar. Kemudian aku mengenda-endap ke arah ranjang tatkala melihat Manis tampak terlelap. Aku duduk di sampingnya, melihat Manisku tidur dengan begitu lucu. Untuk kemudian, kurogoh saku jaketku. Sebuah cincin emas yang baru saja kubeli di pasar tadi. Kuraih jemari mungilnya, kemudian kusematkan cincin itu di jari tengahnya. Cincin dengan permata jamrud sebagai hiasannya. Tampak sangat cantik tatkala berada di jemari putihnya. Aku kembali tersenyum, kemudian kukecup punggung tangannya dengan sayang.     
0

"Selamat atas lulusmu, Sayang," bisikku. Kemudian, aku pun bersiap untuk tidur. Rasanya benar-benar lelah, seperti mengejar lelembut. Perjalanan Jakarta—Kemuning kutempuh dengan waktu yang benar-benar sangat gila. Aku bahkan ndhak pernah menyangka, jika aku akan tertipu dengan begitu mudahnya oleh Setya kampret itu. Awas saja tatkala nanti dia di Jakarta, atau Wangi sekalipun. Aku benar-benar ndhak akan pernah tinggal diam, akan kubuat hidup keduanya ndhak tenang. Dan akan kuhantui mereka dengan rasa bersalah bahkan sampai mereka tua ndhak akan pernah melupakannya.     

*****     

Pagi ini agaknya tidurku yang begitu nyaman terganggu, Manis terus merangsek memelukku dengan begitu agresif. Padahal, baru berapa jam aku tertidur. Tubuhku masih sangat capek, dan mataku seolah begitu berat untuk aku buka barang sekejab. Akan tetapi, kalau aku protes nanti Manis tahu jam berapa semalam aku pulang, sebuah kebohongan yang benar-benar sangat menyiksa, hanya karena seorang ndhak tahu diri bernama Setya.     

"Kangmas...," panggilnya, tatkala dia tahu jika aku telah membuka mata. Aku mengsem saja, menjawabi ucapan Manis. Sambil mengelus punggungnya dengan lembut. "Kenapa kamu memberiku cincin? Terimakasih," dia bilang.     

"Sebuah hadiah untuk istriku karena telah lulus kuliah," jawabku. Sembari mencium puncak kepalanya. "Lagi pula, salah satu bentuk mengekspresikan cinta yang teramat dalam dari lubuk hatiku."     

Manis tersenyum mendengarkan hal itu. Mungkin baginya, ucapanku sangat lucu. Itu sebabnya dia sampai mengulum senyum seperti itu.     

"Ketahuilah, aku akan mengingatkanmu setiap hari. Kalau aku benar-benar mencintaimu. Agar kamu tahu, jika cintaku kepadamu adalah nyata. Bukan sesuatu yang semu, apalagi palsu. Nanti, akan kuberi kamu hadiah setiap hari. Dan kejutan-kejutan kecil yang bahkan ndhak pernah kamu bayangkan sebelumnya."     

"Seharusnya, ndhak begitu juga, toh, Kangmas...," kata Manis pada akhirnya. "Ndhak perlu hadiah setiap hari. Bisa-bisa rumah ini penuh dengan hadiah-hadiah darimu,"     

"Jika hadiahnya penuh cinta, kenapa endhak? Biar rumah ini dipenuhi oleh rasa cintaku untukmu. Bukankah itu manis?" kubilang.     

Manis kembali tersenyum. Dia tampak menghela napas panjang, sembari memandangi cincin yang baru saja aku belikan itu. Duh Gusti, dia sangat bahagia sekali. Kenapa selama ini aku sama sekali ndhak kepikiran untuk membelikannya hadiah seperti ini? Yang kupikirkan adalah semua tentang kebutuhannya.     

Aku lupa bahwa sejatinya perempuan itu adalah makhluk yang paling senang jika diberi kejutan.     

Mungkin setelah ini aku akan lebih peka lagi, untuk memberinya beberapa kejutan manis agar dia selalu bahagia.     

"Kangmas, aku masih ada libur selama dua bulan. Sebab bulan ini masih menunggu beberapa kawan yang akan disidang skripsi, bulan berikutnya kampus sedang mengurusi segala sesuatu untuk wisuda. Setelah itu barulah aku wisuda," kata Manis. Aku mengangguk paham.     

"Cukup lama, untuk kita kembali pulang," kubilang. "Tapi, mungkin kita ndhak kembali besok. Karena masih ada beberapa hal yang harus kuurus dan kupasrahkan kepada Ucup sebelum aku meninggalkannya kembali. Lagi pula, kalau pabrik itu ndhak diawasi takutnya proses pembangunannya semakin lama. Kamu tahu, toh, para pekerja sekarang itu berpikir, semakin lama bangunan selesai, maka semakin banyak juga mereka dapat upah. Meksi aku yakin, beberapa kawan Romo yang ikut serta dalam pembanguna pabrik itu akan mengawasi juga. Biar bagaimanapun, mereka ndhak akan pernah membiarkan pabrik dari putra Romo ndhak akan selesai-selesai."     

Manis kembali mengangguki ucapanku. Sepertinya sekarang, dia lebih paham perkara pabrik ini. Meskipun aku tahu, jika dulu dia adalah salah satu orang yang paling ndhak setuju.     

"Semoga lekas selesai, semoga lekas beroprasi. Aku benar-benar ndhak sabar dengan inovasi baru yang ditawarkan oleh pabrik itu. Dan aku juga penasaran, bagaimana respon pasar atas inovasi itu. Semoga semuanya suka, semoga semuanya bisa menerima produk kita dengan baik ya, Kangmas."     

"Pasti. Dan percayalah, nanti, akan ada banyak pabrik-pabrik seperti kita. Yang akan menawarkan produk yang sejenis dengan kita dengan inovasi-inovasi baru mereka. Di saat itu kelak terjadi. Pabrik kita sudah menjadi pabrik rintisan pertama yang telah sukses memberikan ide sebagus ini kepada para pebisnis-pebisnis lokal lainnya. Bukankah pabrik kita seperti seolah pahlawan yang mencetuskan ide pertama atas produk ini?"     

Manis tertawa mendengarkanku mengatakan itu. Padahal aku ini sedang ndhak bercanda lho. Entah, bagian mananya yang lucu menurut istriku ini.     

"Kangmas kalau bicara seperti itu seperti Presiden saja, toh. Pahlawan pencetus ide produk ini. Akan tetapi aku sangat setuju. Jika sejatinya apa yang Kangmas katakan adalah benar adanya. Mumpung masih belum ada yang membuat, toh. Jadi, produk kita menjadi ide segar yang semoga saja bisa diterima oleh masyarakat umum. Kemarin, aku sempat berincang-bincang dengan beberapa kawan yang ada di kampus, kutanya tentang bagaimana jika suatu saat nanti ada sebuah produk yang seperti kita miliki. Mereka sangat tertarik, Kangmas. Kata mereka itu adalah hal yang bagus, sebab bagaimana, mereka bisa membawa produk itu kemana-mana, itulah yang menjadi nilai tambah karena terkesan sangat praktis. Terlebih, ada beberapa varian rasa yang telah Kangmas, dan Bang Ucup pikirkan dengan masak-masak. Aku yakin, semuanya akan benar-benar berjalan dengan sangat sempurna."     

"Hm, kurasa endhak semudah itu," potongku tatkala kulihat Manis mulai berkhayal dengan sangat tinggi. "Justru masalahnya adalah, karena produk kita menggunakan inovasi baru, maka kita harus lebih ekstra untuk memperkenalkan dan memasarkan produk kita kepada masyarakat luas. Percayalah, pola pikir masyarakat kita itu masih terlalu kolot. Ndhak semua orang mudah menerima sebuah perubahan. Ndhak seperti produk yang lainnya, kita tinggal mencari keunikan sendiri untuk membuat produk yang serupa. Ini adalah benar-benar hal baru. Aku masih memikirkan, berapa kira-kira biaya pemasaran nanti jika semuanya sudah benar-benar berjalan. Kurasa memberikan diskon atau membagikan produk dengan cara gratis dalam kurun waktu tertentu adalah jalan yang lebih baik. Agar seendhaknya, kekolotan mereka ditahan dengan kata gratis. Untuk kemudian, mereka bisa menyimpulkan sendiri, bagaimana produk kita cukup memuaskan mereka, atau ndhak sama sekali. Bukankah seharusnya seperti itu?"     

Manis langsung mengangkat dua jempolnya tinggi-tinggi. Kemudian dia kembali berceloteh panjang lebar. Aku sudah ndhak memperhatikannya sebab aku benar-benar sudah mengantuk. Untuk kemudian, aku langsung terlelap tanpa sadar. Dan ndhak tahu lagi, apa gerangan yang dikatakan oleh Manis tadi. Semoga dia ndhak marah, tatkala ucapan panjangnya ndhak aku dengar karena tertidur. Ya, semoga saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.