JURAGAN ARJUNA

BAB 288



BAB 288

0"Juragan, apa yang terjadi? Sepertinya, Juragan sedang punya banyak hal untuk dipikirkan?" Ucup menegurku, saat aku sesekali memijat pelipisku yang terasa sangat sakit.     
0

"Apakah kamu tidak berpikir jika barangkali aku terlalu sekarah, Cup?" kubilang, Ucup tampak mengerutkan keningnya ndhak paham. Kemudian dia memandangku lebih lama. "Sepertinya aku ingin pensiun saja. Aku mau duduk di rumah dengan manis, atau paling tidak aku ingin tidur sepanjang hari. Tanpa memikirkan perkebunan di A, B, C, atau memikirkan pekerjaan lainnya. Otakku rasanya benar-benar lelah," keluhku kemudian. Iya, aku benar-benar merasa jika aku benar-benar ingin muntah karena ini semua. Rasanya otakku benar-benar terasa lelah untuk sekadar bekerja.     

Aku ingin di masa tuaku ini, aku bisa menghabiskan waktu berdua dengan Manis. Biar aku bisa romantis-romantisan setiap hari dengannya.     

"Juragan... Juragan, baru mau punya anak satu dan masih di dalam perut kok sudah mengeluh terus. Bukannya biasanya laki-laki itu akan menjadi lebih semangat bekerja jika sudah ada anak dan istri?" kata Ucup. Kayak dia paham saja, istri satu saja belum punya sudah menyeramahi orang seperti ini.     

"Sebelum kamu ceramah ceperti itu, pikirkan dulu untuk mencari seorang istri," kubilang, sambil menepuk dadanya. "Sepertinya aku harus memiliki satu anak laki-laki atau paling tidak menantu yang kompeten. Aku benar-benar tidak mau di masa tuaku nanti harus masih pusing dengan pekerjaan-pekerjaan ini."     

"Memangnya Juragan tidak ada yang membantu?"     

"Anak Romo hanya aku dan Rianti. Sementara suami Rianti sibuk dengan usaha keluarganya sendiri. Yang kuandalkan hanya beberapa abdi setiaku juga kamu. Belum perkebunan yang ada di luar Jawa beserta Jawa Timur, kalau semuanya terbengkalai bakal repot."     

"Aku pikir pusing itu hanya dimiliki oleh orang miskin saja. Ternyata orang kaya juga bisa pusing juga. Pusing, karena kebanyakan uang dan usaha," sindir Ucup lagi.     

Aku tertawa saja mendengar ucapannya itu, kemudian aku memilih untuk mendekat ke arah para pekerja sembari melihat apa-apa yang kiranya perlu, dan butuh ditambahi.     

"Juragan," kata mereka tampak sungkan.     

"Jangan pedulikan aku, lanjutkan saja," kubilang. Terus berjalan mengitari pabrik yang sebentar lagi bangunannya akan tampak utuh itu.     

Untuk setelahnya aku pamit pulang, sebab Manis mungkin sudah kembali dari kampusnya. Aku ingin menemani istri tercintaku dulu, dan membantunya membereskan beberapa barang untuk kami kembali ke Kemuning.     

"Juragan!" kata Ucup memanggilku, berlari mendekat ke arah mobilku terparkir. "Juragan besok benar-benar akan kembali ke Kemuning?" tanyanya kemudian.     

"Iya,"     

"Kalau ada laporan yang harus kuberikan kepada Juragan, apa aku harus ke Kemuning?" tanyanya dengan wajah sumringahnya itu. Aku tahu apa yang dia inginkan, dan aku juga tahu apa yang ingin dia dengar dari mulutku.     

"Bawa laporan itu ke Kemuning. Telepon rumah dulu kalau kamu ingin ke sana. Mereka akan menjemputmu agar kamu tidak nyasar," putusku.     

Ucup langsung melompat, dia benar-benar tampak bahagia sekali. Lama-lama, rumahku yang berada di kemuning itu menjadi kos-kosan manusia-manusia Jakarta yang ndhak jelas ini. Setelah Setya yang enggan pulang, sekarang ditambah dengan Ucup. Apa perlu aku membangun rumah dan kujual kepada mereka? Hasilnya lumayan juga.     

*****     

Setibanya di rumah, aku disambut dengan banyak balon yang menempel di dinding-dinding rumah. Aku ndhak tahu, ini ada perayaan apa. Tapi setelah aku masuk, baik Manis, Rianti, dan juga Suwoto langsung memberikan ucapan untukku.     

Ada apa? Apakah aku memang lotre? Atau aku telah melakukan pekerjaan yang luar biasa?     

"Selamat ulang tahun!" kata mereka kompak.     

Duh Gusti, aku ulang tahun, toh. Tak pikir ada apa, kok banyak balon dan hiasan seperti ini segala.     

Aku tersenyum saja, kemudian Abimbanyu memeluk kakiku dengan erat. Membuatku mau ndhak mau berjongkok, agar kami bisa sejajar.     

"Ayah Besar ulang tahun, ayo mau kado apa dari Abimanyu?" tanyanya. "Abi punya banyak mainan baru. Ada robot-robotan, mobil-mobilan, dan banyak lagi. Ayah Besar boleh memintanya satu."     

Aku dan yang lainnya tertawa mendengar hal itu. Memangnya dia pikir, aku ini anak kecil sama sepertinya apa toh, yang akan suka dengan mainan-mainan seperti itu.     

"Abi, Ayah Besarmu itu bukan anak kecil, toh. Yang butuh mainan-maninan sepertimu. Sepertinya, kamu harus memikirkan hal yang lain untuk memberinya sebuah kado," kata Rianti.     

Kini Abimanyu kembali memandang ke arahku, mimik wajahnya serius. Mata sipitnya tampak lucu, ditambah dengan pipi bulat yang kemerahan itu. Tampak benar-benar serasi dengan hidung mungilnya. Anak ini benar-benar seperti anak-anak orang Cina, toh. Benar-benar ndhak pantas jadi anaknya Rianti yang wajahnya lebih seperti orang Belanda dari pada orang Cina.     

"Ayah Besa minta apa? Aku punya uang banyak diberi Ayah kemarin," katanya lagi. Duh Gusti anak ini.     

"Ayah besar tidak ingin apa-apa, hanya ingin kamu lekas besar, biar bisa bantu Ayah Besar mengurus perkebunan. Sepertinya, otak Ayah Besar sudah benar-benar lelah sekarang," kubilang kepadanya.     

Kini Abimanyu berlagak sok keren, sambil menata kerah bajunya dengan penuh percaya diri.     

"Tenang, Ayah... aku pasti akan mengangkat beban Ayah Besar."     

"Janji?" kubilang, Abimbanyu mengangguk semangat.     

Setelah itu aku berdiri, Manis langsung mendekat memelukku. "Selamat ulang tahun, Kangmas."     

"Terimakasih, Sayang,"     

"Selamat ulang tahun, Kangmas," ucap Rianti juga sambil memelukku.     

Kukecup kepala dua perempuan yang sangat berarti di dalam hidupku ini, kemudian aku kubalas rengkuhan mereka. Duh Gusti, sepertinya ndhak pantas benar aku mengeluh seperti tadi. Tanggung jawabku masih sangatlah panjang, tanggung jawabku bahkan baru saja dimulai dari sekarang.     

"Anak Romo ndhak mau mengucapkan ulang tahun ini?" tanyaku, sambil mengelus perut Manis. Aku langsung berlutut, menempelkan telingaku pada perut Manis. Rianti langsung menjewer telingaku.     

"Memangnya Kangmas pikir anakmu itu sudah sebesar apa? Bahkan perut Manis saja masih rata," gerutunya.     

"Lha kok kamu yang sewot, toh? Namanya juga mau romantis-romantisan sama anak dan istri. Kamu diam saja, ndhak usah pengen, ndhak usah terbawa suasana seperti itu. Tunggu saja sampai Bima pulang, kalau mau nganu-nganu," kataku sebal. Paling pandai rupanya dia ini kalau masalah merubah emosiku jadi jelek. Dasar Rianti.     

"Dasar manusia ndhak jelas," celetuknya lagi.     

"Dasar perempuan ndhak jelas," ndhak mau kalahku.     

Manis langsung berdecak, seolah menyuruhku untuk berhenti memulai keributan. Aku langsung tersenyum saja, biar dia ndhak marah lagi denganku.     

"Ohya, besok aku ke Kemuning. Kamu ikut apa endhak? Suamimu juga belum pulang, toh? Dari pada kamu di sini sendirian. Atau kamu mau menemani mertuamu di rumah? Silakan, aku hanya memberimu pilihan. Barangkali kamu rindu rumah, lebih-lebih Abimanyu juga belum pernah ke Kemuning, toh?"     

Rianti tampak diam, kemudian dia duduk seolah tampak berpikir. "Aku pingin sih, Kangmas. Tapi, apa aku ndhak salah kalau meninggalkan mertuaku? Mungkin aku harus minta izin kepada mereka dulu, dan menelepon Bang Bima untuk meminta izin," jawabnya.     

Aku mengangguk, sambil mengangkat jempol kepada Rianti. "Nanti kutemani kamu izin ke mertuamu,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.