JURAGAN ARJUNA

BAB 296



BAB 296

0"Kamu tahu, toh, menjadi seorang istri itu sangat susah. Apalagi, apa yang telah kalian lalui selama ini. Banyak tangis yang harus tumpah, banyak nyawa yang harus dikorbankan. Tapi sepertinya, kalian lupa dengan semua itu. Sehingga merasa pernikahan hanyalah sebuah ikatan yang ndhak butuh dipupuk dan disiram. Ya jadinya seperti ini. kering, dan hambar, sampai satu titik kalian akan lelah dengan hubungan kalian ini. Dan pada akhirnya, hanya ada tersisa dua pilihan. Mundur agar ndhak ada hati yang terluka, atau maju hanya karena ingin mempertahankan ikatan pernikahan saja. Arjuna, seorang wanita mengandung 9 bulan itu bukanlah waktu yang singkat. Selama itu dia harus menjaga benihmu, dan melindunginya ke mana pun dia pergi. Rasa lelah, badan sakit semua, itu dirasakan oleh istrimu. Lebih-lebih tatkala istrimu mengidam. Bahkan untuk sekadar makan seperti dia yang dulu pun ndhak bisa. Dia harus rela merasakan ndhak enaknya makan dan muntah-muntah. Terlebih saat mereka melahirkan, dan menyusui. Berapa banyak kesakitan yang harus dilalui istrimu nanti? Bahkan, taruhannya nyawa lho itu. Jadi, Biung harap untuk kalian berdua ini, singkirkanlah ego kalian. Dan mulai berbenah diri, sebab ini bukan sekadar pacaran. Ini adalah hubungan pernikahan yang akan kalian jalani sampai maut memisahkan. Apa kalian paham?"     
0

Aku dan Manis langsung mengangguk, menjawabi ucapan dari Biung. Sementara Biung tampak menghela napasnya panjang.     

"Biung bicara seperti ini bukan karena Biung cerewet, atau pun ndhak suka dengan kalian. Akan tetapi malah sebaliknya, Biung berkata seperti ini karena ndhak lain Biung peduli, Biung sangat sayang dengan kalian. Dan Biung ndhak mau jika bahtera rumah tangga kalian terjadi apa-apa. Maaf, jika Biung terkesan ikut campur. Namun begitu, kalau asalah suami—istri sudah susah untuk dibicarakan berdua, maka orangtua ndhak salah jika ikut memberikan masukan kepada kalian, toh."     

Aku langsung berjalan ke arah Biung, kemudian aku duduk di lantai. Ketaruh kepalaku di pangkuan Biung. Seperti anak kecil memang tapi aku ndhak peduli. Sebab benar aku ingin diceramahi seperti ini. Aku ingin dibuat sadar oleh Biung, dan mungkin memang ini adalah cara yang tepat untukku bangkit. Untukku sadar, jika semestinya sebuah hubungan bukan begini adanya. Melainkan harus diubah, muali dari pola pikir, menyingkirkan ego masing-masing kemudian menjadikan pasangan kita sebagai prioritas di atas pekerjaan apa pun di dunia ini.     

"Tadi, Ucup juga sudah memberitahuku, Biung. Terimakasih sudah menasehatiku. Terimakasih masih sudi untuk peduli denganku," kubilang. "Iya aku sadar, aku dan Manis banyak kurangnya. Terlebih aku, yang seolah ndhak peduli dengan Manis. Aku sering bekerja kemana-mana sendiri, dan aku sudah terlanjur nyaman dengan hal itu. tanpa aku tahu, jika mungkin saja, kalau aku mengajak istriku ikut serta, bekerja bukan menjadi perkara yang benar-benar menjadi beban secara nyata. Akan tetapi, kami bisa menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, berbagi pikiran, serta berbagi pendapat lainnya. Maafkan aku, Biung, telah menjadi suami yang ndhak becus, yang ndhak pernah peduli dengan isi hati istri. Aku janji, aku janji kepada Biung, dan Manis kalau aku akan belajar menjadi suami yang lebih baik lagi. Aku akan belajar tentang segala sesuatunya agar aku menjadi manusia lebih baik lagi, toh. Aku berjanji dengan kalian untuk itu."     

Manis langsung duduk di sampingku, kemudian dia mencium kaki Biung. Dan memelukku juga Biung. Tangisannya terpecah kala itu, entah apa yang ada di dalam pikirannya, aku benar-benar ndhak tahu. Tapi satu yang pasti, jika mungkin dia benar-benar merasa telah tertampar dengan apa yang telah Biung katakan. Semoga saja, dia ndhak tersinggung, dengan apa yang Biung katakan kepadanya. Sebab bagaimanapun, Biung adalah mertuanya, yang sepantasnya menegur jika dirinya ada salah.     

"Biung benar sekali, toh...," kata Manis pada akhirnya, suaranya serak, dan terbata. Sepertinya tadi dia menangis sesugukan. "Selama ini aku terlalu berambisi untuk menjadi yang terbaik tatkala di kampus. Menjadi mahasiswa berprestasi dan lain sebagainya. Itu sebabnya aku merasa jika aku kuliah ada bagian terpenting dalam hidupku, sehingga lama kelamaan tugas utamaku menjadi seorang istri terabaikan. Sehingga pada akhirnya, tanggung jawab-tanggung jawab yang seharusnya kuemban ndhak kupedulikan. Karena rasa hausku akan pendidikan. Padahal seharusnya ndhak begitu, seharusnya aku bisa mengimbangi semua itu. Jika suamiku sangat membutuhkanku. Karena sejatinya sebuah rumah tangga, ndhak melulu masalah menyiapkan hidangan, dan melayani di atas ranjang. Melainkan tentang bagaimana kita menjalani hidup dan membahagiakan pasangan. Biung, dengan ucapan dari Biung ini aku juga sadar, jika selama ini aku telah kurang ajar dengan suamiku. Bagaimana endhak, toh. Karena aku terbiasa dengan kawan-kawan di kampus, membuatku hilang rasa hormat kepada suamiku. Aku menjadi pribadi yang keras kepala, susah diatur, dan seolah bisa melakukan apa pun sendiri selama itu yang kuanggap benar. Padahal jelas sekali, seharusnya aku ndhak boleh seperti itu. seharusnya aku selalu patuh kepada suamiku. Sebab bagaimanapun, dia adalah kepala rumah tangga, yang harusnya dihormati, bukan untuk disaingi. Yang harusnya ditaati, bukan untuk diajak berdebat atau lain sebagainya."     

Manis terdiam sejenak, kemudian dia menggenggam tanganku lekat-lekat. Matanya yangs sudah sembab itu memandangku dengan haru.     

"Kangmas, maafkan aku. Jika selama ini aku terlalu egois. Menganggap benar apa pun dari sudut pandangku, dan seolah aku ndhak peduli dengan pendapatmu. Aku berjanji, mulai sekarang aku akan belajar menjadi seorang istri yang lebih baik lagi. Aku akan menjadi istri yang paling mengerti akan suamiku, dan aku akan patuh kepadanya sampai kapan pun itu. Perkara kampus dan pekerjaan, aku sekarang ndhak akan mempedulikan lagi. Toh semuanya sudah selesai. Aku hanya ingin mengabdikan diriku kepadamu, Kangmas."     

Mendengar hal itu, aku merasa bersalah sekali. Jika Manis harus melepas mimpinya untuk memiliki klinik sendiri. Tapi, aku pun harus sadar, jalan tengah adalah hal yang tepat untuk dilakukan sekarang.     

"Memiliki sebuah klinik untuk membantu orang kampung dalam kesulitan adalah cita-citamu, toh? Sama seperti Biung yang punya rumah pintar waktu itu. Cita-citamu sepenuhnya aku dukung selalu. Namun, aku ndhak akan setuju jika dalam waktu 24 jam kamulah yang mengurus klinik itu. Cari beberapa perawat serta dokter untuk bekerja di sana, agar kamu bisa membagi waktumu dengan keluarga dengan cara imbang. Dengan begitu kamu ndhak perlu terlalu banyak berada di klinik, namun kamu juga masih bisa mengurusnya kapan pun yang kamu mau. Itu adalah satu-satunya harapanku untukmu. Agar antara cita-cita dan keluarga kamu bisa lakukan dengan cara seimbang. Biar semuanya bisa berjalan dengan cara semestinya. Apa kamu mau?"     

Manis tampak tersenyum, kemudian dia menganggukkan kepalanya di depanku. Dan itu berhasil membuatku ikut tersenyum juga, kupeluk tubuh Manis sembari sesekali kukecup puncak kepalanya berkali-kali. Syukur, Gusti... kami bisa baikan lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.