JURAGAN ARJUNA

BAB 295



BAB 295

0"Nanti kamu balik saja ke Jakarta," kubilang pada Ucup, sembari berjalan masuk ke dalam rumah.     
0

"Yakin Juragan mengusirku pergi? Nanti kalau tubuh Juragan pegal, siapa yang akan memijit? Pijitanku ini benar-benar ndhak ada duanya. Juragan pasti akan ketagihan," katanya percaya diri, sembari membuka tutup kedua telapak tangannya. Duh Gusti, aku malah dibuat takut sendiri.     

"Aku normal, ya!" marahku, Ucup malah tertawa.     

"Siapa juga yang doyan sama Juragan galak sepertimu. Cita-citaku menikah dengan perempuan bahenol, dan cantik. Aku juga tidak tertarik dengan batang."     

"Batang gundulmu!" marahku lagi.     

Belum sempat kami masuk ke dalam rumah, Biung sudah berdiri di ambang pintu. Matanya memandangku dengan tanpa kedip sedikitpun. Ada apa? Apakah ada sesuatu dengan Romo Nathan? Atau dengan Biung sendiri?     

"Ada apa, Biung?" tanyaku, saat aku sudah berada tepat di depan Biung.     

Biung langsung menarik tanganku, tapi aku masih enggan melangkah. Aku ingin tahu kenapa Biung sampai diam saja seperti ini.     

"Biung hanya ingin kita bicara bertiga. Apa ada yang salah?" tanyanya. Kukerutkan keningku, kemudian aku menyuruh Ucup untuk pergi istirahat. Kemudian aku melangkah mengikuti langkah Biung yang ternyata sudah masuk ke dalam kamarku.     

"Ada apa, toh, Biung? Kenapa Biung menyeretku ke sini? Kita ini hendak bicara bertiga dengan siapa?" tanyaku yang agaknya penasaran.     

Kemudian mataku menangkap sosok Manis yang agaknya kaget dengan kedatanganku juga Biung, dia yang tampak sibuk menjahit pun menghentikan kegiatannya, kemudian membersihkan ranjang dari beberapa pakaian yang ia jahit.     

"Biung, ada apa?" tanya Manis yang sama bingungnya juga denganku.     

"Duduklah, Ndhuk. Ndhak usah banyak gerak. Biung ke sini hanya karena ingin bercakap bertiga saja dengan kalian," kata Biung lagi.     

Aku akhirnya duduk di salah satu kursi yang berada di dekat pintu, sementara Biung duduk di sebelah Manis. Kuambil salah satu buku yang kebetulan ada di sana, sembari membacanya sekilas. Kulihat, Biung tampak menggenggam tangan Manis, seolah ini adalah benar-benar percakapan yang sangat emosional sekali.     

"Ndhuk, Biung ingin bertanya kepadamu. Tapi juga kepada Arjuna juga," Biung memulai percakapannya. Aku diam, Manis pun ikut diam. "Sebenarnya, apa yang terjadi kepada kalian? Sesampainya di Kemuning, kenapa Biung merasa jika hubungan kalian ada yang aneh. Apa kalian sedang bertengkar, toh?" tanyanya lagi.     

Tanpa sadar, aku dan Manis saling tukar pandang. Kemudian aku menghela napasku panjang.     

"Biung ini bicara apa, toh? Memangnya siapa yang sedang bertengkar? Aku dan Kangmas benar-benar ndhak ada masalah apa-apa. Kami benar-benar baik-baik saja. mungkin karena kami memiliki kesibukan masing-masing, itu sebabnya kami tampak ndhak saling tegur sapa dan saling bersama-sama. Tapi sungguh, Biung, kami benar-benar dalam keadaan baik-baik saja."     

Biung tampak tersenyum, sementara aku memilih untuk diam. Aku ndhak menyalahkan ucapan Rianti, karena memang menutupi masalah kami adalah suatu keharusan. Namun begitu aku yakin, Biung tipikal orang yang ndhak bisa dibohongi oleh siapa pun. Terlebih itu adalah anak-anaknya sendiri.     

"Ndhuk, jangan berdusta. Biung juga pernah muda. Biung adalah seorang Biung, terlebih Biung adalah Biung dari suamimu. Jadi, jika mungkin kamu bisa berusaha menutupi semuanya dengan baik. Tapi suamimu ndhak akan pernah bisa berbohong sedikit pun di depan Biung."     

Aku langsung menunduk, sementara Manis hanya bisa diam. Kami, benar-benar ndhak tahu apa yang harus kami lakukan, apa yang harus kami bicarakan. Sebab rasanya, ndhak mungkin sekali aku mengatakan kepada Biung kalau aku sedang ndhak baik-baik saja, toh. Aku ndhak akan mungkin mengatakan jika mungkin hubungaku dengan Manis memang mungkin sedikit ada masalah tentang ego kami.     

"Bagaimana kuliahmu, Ndhuk?" tanya Biung pada akhirnya. Manis tersenyum, kemudian dia memandang ke arah Biung, lalu dia mengangguk.     

"Baik, Biung."     

"Ndhak menyita waktumu, toh?" tanya Biung lagi. Manis tampaknya bingung dengan pertanyaan Biung. "Ndhuk, Biung tahu... bersekolah tinggi adalah menjadi cita-citamu sedari dulu. Tapi, kamu juga harus tahu kalau saat ini kamu juga memiliki tanggung jawab lain, yaitu suamimu. Biung lihat dari Biung berada di Jakarta, hubungan kalian benar-benar ndhak sehat. Yang kamu terlalu sibuk dengan kuliahmu, dan berambisi untuk segera lulus tanpa peduli hal-hal kecil tentang suamimu. Misalnya, memijatnya tatkala dia pulang kerja, menyiapkan pakaian gantinya, bercakap sebelum pergi tidur, dan lain sebagainya, perhatian-perhatian kecil yang diberikan oleh istri itu adalah hal yang sangat didamba dari seorang suami, Ndhuk. Sebab sejatinya, ketika seorang wanita menjadi istri, saat itu juga tanggung jawab utamanya adalah mengabdi kepada suaminya. Bukan malah hal yang lain. ridho suami akan membuatmu menjalankan pekerjaanmu dengan tenang. Dan lagi, jadilah seorang istri yang menyenangkan hati suamimu. Ndhak membantah apa yang diperintah, dan ndhak mendahului apa yang diingkan suamimu. Sedikit egois, memang jika meniti beratkan sekarang adalah zaman emansipasi wanita sehingga wanita memiliki hak dan kesempatan yang setara dengan laki-laki. Namun demikian, Ndhuk... itu adalah kodrat wanita. Sehebat apa pun mereka, mereka ndhak akan pernah bisa menjadi kepala. Mereka akan membutuhkan suami, apa pun itu keadaannya."     

Manis hanya menunduk, kemudian dia mengangguk dalam-dalam. Kulihat, dia tampak mengusap wajahnya dengan kasar, membuatku ndhak tega juga melihat dia ditegur seperti ini.     

"Dan kamu, Arjuna... kamu juga telah sangat keliru...," tegur Biung kepadaku. "Kamu tahu, toh, sejatinya seorang wanita itu butuhnya dilembutin, dimanisin. Tapi yang Biung lihat dari kamu ini terlalu gila kerja. Sampai-sampai ndhak ada waktu hanya sekadar berdua saja dengan istrimu. Contohlah romo-romomu, sesibuk apa pun mereka, mereka selalu mempunyai banyak waktu untuk bisa berdua dengan Biung. Dan kami menghabiskan waktu bersama. Jika ada pekerjaan di tempat lain, Biung selalu diajak. Kemudian, kami akan jalan-jalan setelahnya. Kamu ini jadi laki-laki kok ya kaku sekali, toh. Dan juga, kamu ini tipikal orang yang masalah pekerjaan selalu kamu bawa-bawa ke rumah, dan berpikir jika semua masalah orang di dunia ini harus kamu yang menyelesaikannya. Memangnya kamu ini siapa? Gusti Pangeran? Sudahlah, jadilah suami yang baik. Bekerja sebisamu ndhak usah kamu paksa. Di sini banyak abdimu yang lebih dari mampu membantumu bekerja. Sekarang ini istrimu sedang hamil, emosinya pun ndhak bisa dikontrol dengan baik, emosinya suka berubah-ubah, dia selalu ingin diperhatikan dan dimanja. Tapi, kamu ini seperti biasa saja. Memperlakukan istrimu ndhak ada bedanya. Kalau Biung jadi Manis, sudah tak potong burungmu. Tanya saja sama rom-romomu, bagaimana mereka memperlakukan Biung. Biung benar-benar dijadikan ratu di dalam hidupnya. Bahkan Biung sampai merasa, jika Biung ini adalah perempuan yang paling beruntung sedunia. Kalau Manis, aku rasa dia benar-benar sial karena telah memilih laki-laki ndhak peka sepertimu untuk dijadikan suami."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.