JURAGAN ARJUNA

BAB 289



BAB 289

0Pagi ini, kami berangkat ke Kemuning bersama. Rianti jadi ikut bersama dengan Abimanyu, setelah dia berpamitan dengan orangtuanya. Dia juga membawa barang-barang milik Bima. Sebab kata Bima, dia akan menyusul setelah pekerjaannya selesai nanti.     
0

Dan dari semua hal yang kubawa, dan dari semua orang yang kuajak serta. Ada satu orang yang benar-benar menyebalkan, kenapa pula dia harus ikut ke Kemuning sekarang? Padahal, pekerjaan di jakarta kupasrahkan kepadanya. Iya, siapa lagi kalau bukan Ucup. Pemuda itu sangat keras kepala, dia bilang mau ikut ke Kemuning untuk liburan barang dua atau tiga hari. Aku benar-benar ndhak habis pikir, bagaimana bisa orang-orang kota memadati kampungku dengan cara kurang ajar seperti ini. Memangnya rumahku tempat penampungan mereka apa, toh.     

"Duh, duh, kok ya aku ini seperti habis kebanjiran terus ngungsi toh," gerutuku selama di perjalanan. Paklik Sobirin tampak terkekeh mendengar gerutuanku, sementara Ucup seperti manusia tanpa dosa. Makan saja itu sedari perjalanan dan itu benar-benar menyebalkan.     

"Sabar, Juragan. Menampung banyak orang dapat pahala besar, toh," kata Paklik Sobirin.     

Oh ya aku ini rindu dia, tapi aku ndhak mau bilang. Setelah aku di jakarta aku jadi jarang bertemu dengan dia. Karena dia harus mengurusi perkebunan dengan Romo. Kalau dia kuajak, kasihan Romo ndhak ada kawan untuk mengantar dan mengurus ini dan itu. Karena Paklik Junet ndhak akan paham, dia lebih memilih untuk mengurusi bagian abdi dalem perempuan. Seperti ikut belanja, atau hal lain sebagainya. Dan juga mengantar Biung yang hendak pergi kemana-mana.     

"Oh ya, Juragan. Bulik Romelah diboyong Ndoro Larasati untuk tinggal bersama," kata Paklik Sobirin yang berhasil membuatku menoleh.     

"Baguslah, Simbah sudah sepuh (tua) berada di rumah sendirian benar-benar bukan pilihan yang baik. Lagi pula, Paklik tahu sendiri. Bagaimana Paklik Junet itu bikin kesalnya. Dari pada tidur di rumah, dia lebih memilih untuk menghabiskan malam dengan para pelacur di warung-warung. Benar memang sifatnya kini berubah karena sudah lama ndhak berulah, tapi sifat doyan perempuannya benar-benar ndhak berubah sama sekali. Terlebih, dengan seperti itu, Biung agaknya bisa lebih tenang. Karena dia bisa merawat dan melihat Simbah secara langsung. Ndhak perlu lagi setiap pagi dan sore pergi jauh-jauh ke rumah Simbah untuk mengantarkan makan juga menjenguk."     

"Aku juga setuju kepadamu, Kangmas. Sebab beberapa waktu yang lalu, saat aku pindah ke rumah Simbah. Simbah sudah sering pikun. Dan aku ndhak mau kalau sampai Simbah ditinggal sendiri. Benar memang ada beberapa abdi dalem untuk menjaga Simbah. Tapi, alangkah baiknya kalau Simbah serumah bersama dengan kita, toh? Ibarat kata, sebaik-baiknya perlakuan orang lain, lebih baik perlakuan dari keluarga sendiri yang mengurus di hari tua seperti ini."     

"Tumben adikku pinter," kataku menggoda Rianti. Dia langsung nyengir, tapi ndhak membantah lagi.     

"Anaknya Romo Nathan, dan Biung Larasati," bangganya.     

Duh, Gusti. Bangga sekali dia ini. Aku langsung ndhak menjawabi, dan memilih memangku Abimanyu, ndhak butuh waktu lama Abimanyu langsung tertidur dalam dekapanku. Sementara Manis menyenderkan kepalanya di bahuku, dia pun ikut tertidur juga.     

"Kangmas," kata Rianti, yang sudah merangsek bahu sebelah kiriku. Aku langsung melotot ke arahnya, tapi dia seolah ndhak peduli dengan pelototanku. Dia langsung bersender begitu saja, bahkan sambil merengkuh lenganku. Gusti, rasanya perjalananku kali ini akan benar-benar sangat berat, untung saja Ningrum ndhak ikut serta juga. Bisa-bisa seluruh tubuhku dijadikan kasur dan bantal untuk mereka semua.     

"Kalau seperti ini aku seperti melihat judul sebuah drama di televisi, Juragan," celetuk Ucup. Kini dia memerhatikan keadaanku sembari menyipitkan matanya. "Derita seorang suami yang banyak gaya, akhirnya kerepotan karena harus mengurusi istri-istrinya. Wah, itu benar-benar judul yang tepat."     

"Jika menurutmu itu judul yang tepat kenapa kamu tidak membuat sebuah drama atau novel saja, Ucup!" marahku pedanya.     

Ucup, Suwoto, dan Paklik Sobirin langsung tertawa mendengar amarahku itu. seolah-olah, menderitaku adalah kebahagiaan bagi mereka.     

"Itu tandanya, jika semua perempuan di dalam keluarga Juragan itu merasa benar-benar nyaman dan aman. Itu sebabnya mereka tampak manja dengan Juragan," kini giliran Suwoto yang berbicara.     

"Aku merasa sangat malang, seperti seorang laki-laki pemuas nafsu perempuan,"     

*****     

Setelah sampai di Kemuning, aku langsung berjalan keluar dari mobil dengan tubuh yang pegal-pegal. Aku sama sekali ndhak peduli dengan rengekan Abimanyu, teriakan Rianti bahkan Manis sekalipun. Tubuhku benar-benar sakit semua, dan aku ingin segera tidur. Aku sengaja mencari kamar yang agaknya sepi, untuk merebahkan tubuhku. Menikmati tidur panjangku yang indah ini.     

Tapi belum sempat aku benar-benar tertidur pulas, telingaku seperti menangkap sesuatu. Saat kucari suara apa itu, aku benar-benar kaget. Di salah satu kamar tamu adan Wangi, juga Setya yang sedang bercinta! Dan itu aku melihatnya dengan kedua mataku sendiri! Duh Gusti, apa-apaan ini? kenapa mereka sampai bercinta di rumahku? Memangnya mereka pikir, rumahku ini tempat mesum apa? Aku sangat geram, terlebih mereka seperti ndhak melihatku sama sekali. Malah-malah wajah Wangi yang tampak merasakan kenikmatan itu. Kukepal tanganku kuat-kuat, kemudian kulempar bantal ke arah mereka. Mereka tampak kaget, buru-buru menyudahi apa yang mereka lakukan. Jika keduanya ndak bisa sama-sama keluar, ya rasakan saja. Siapa suruh mereka mesum di sini.     

"Dasar pasangan ndhak tahu malu. Memangnya kalian pikir rumahku ini rumah mesum? Jangan pikir karena di sini rumahnya besar dan banyak kamar, lantas kalian pikir kalian aman-aman saja melakukan perbuatan menjijikkan ini."     

"Arjuna—"     

"Sekarang pilih, segera kalian menikah atau kamu Setya, angkat kaki dari rumah ini!"     

Setya hanya mangap-mangap, tangannya masih sibuk mengenakan pakaiannya begitupun dengan Wangi. Duh Gusti, kenapa bisa terjadi seperti ini, toh. Ini benar-benar memalukan sama sekali.     

"Arjuna, ayolah... kayak kamu tidak pernah muda saja. kurasa—"     

"Karena aku pernah muda, itu sebabnya aku tidak mau teman-temanku melakukan kesalahan yang sama seperti apa yang pernah kulakukan dulu. Dan bukan berarti jika Wangi janda kamu bisa berbuat seenaknya saja, Setya," marahku kepadanya. "Jika kamu benar-benar mencintainya, maka syarat yang kuajukan kepadamu ini tentunya bukanlah perkara yang serius, kan? Kamu sudah cukup matang untuk berumah tangga, dan pekerjaanmu pun lebih dari mapan untuk mencukupi sepuluh Wangi sekalipun. Jika kamu benar-benar cinta sama Wangi, kamu tentu tahu harus berbuat apa, kan?"     

"Arjun—"     

"Karena temanku bukan hanya kamu, tapi Wangi juga. Aku tidak mau temanku dimanfaatkan oleh laki-laki hidung belang mana pun yang hanya butuh memuaskan nafsu mereka, dari pada harus bertanggung jawab atas perbuatannya."     

"Arjuna—"     

"Diam kamu Wangi!"     

Keduanya langsung diam tanpa aba-aba, melihatku yang sedang marah ini. Gusti, Gusti... aku benar-benar ndhak habis pikir sama mereka berdua.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.