JURAGAN ARJUNA

BAB 290



BAB 290

0"Wangi, kamu itu perempuan, kamu sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri. Jika ada orang yang berlaki seperti ini kepadamu, ndhak peduli atas dasar suka sama suka tetap saja, hal semacam ini ndhak diperbolehkan terjadi. Kamu tahu aku, toh, aku pernah merasakannya sendiri. Diikuti oleh nafsu birahi dan kesenangan sesaat. Namun nyatanya apa? Ndhak ada yang indah, dan bagus dari itu semua. Hubungan suami istri di luar pernikahan itu benar-benar perkara yang sangat menyakitkan. Ndhak hanya bagi laki-laki, akan tetapi juga bagi perempuan. Dan kurasa, perempuan adalah korban yang teramat penting yang harga diri serta martabatnya harus diselamatkan. Bukan karena aku hendak menggurui, hanya saja aku pernah merasakan berada di posisi kalian. Jadi aku paham, akan seperti apa nantinya jika kalian akan meneruskan perbuatan ndhak baik ini."     
0

Wangi tampak menangis, sementar Setya berusaha keras untuk membuat Wangi berhenti menangis. Sementara aku hanya bisa menghela napas beberapa kali, sambil mengusap wajahku dengan kasar. Sebab sungguh, aku pun ndhak mengelak jika aku ini adalah laki-laki kotor, yang juga melakukan hal yang sama seperti mereka. Tapi sejatinya, aku juga lebih tahu bagaimana nasib ke depannya. Cukup aku dan Manis saja yang merasakan itu, dan aku harap kawan-kawanku ndhak merasakan hal yang sama denganku. Terlebih, orangtua Wangi adalah orang yang kolot, seorang Juragan yang selalu menuntut sebuah kesempurnaan dalam hal apa pun itu.     

"Kami suka pada suka, kami tahu jika ini adalah perkara yang buruk yang kami lakukan," kata Setya pada akhirnya. "Dan kami juga berkomitmen untuk apa yang kami perbuat ini."     

"Berkomitmen bagaimana, maksudmu? Berkomitmen untuk bercinta tanpa ada ikatan sampai waktu yang bahkan tidak bisa ditentukan?" kubilang. Setya tampak mengusap wajahnya dengan kasar.     

"Aku berjanji untuk menikagi Wangi, aku serius dengan dia," jelasnya kemudian.     

"Jika kamu serius dengan dia, sekarang juga telepon orangtuamu untuk segera ke sini, dan meminta Wangi di depan orangtuanya. Setelah itu aku baru percaya dengan apa yang kamu bicarakan. Terlebih apa pun itu juga adalah, laki-laki itu tidak hanya ucapan yang dipegang, tapi juga tindakan. Jadi, aku tantang kamu Setya, panggil orangtuamu sebelum kamu bisa bertemu dengan Wangi lagi."     

"Tapi—"     

"Wangi, aku juga hendak bertanya kepadamu akan satu hal," kubilang, Wangi sudah memandangku dengan tatapan nanarnya. "Bukankah selama ini kamu bilang ndhak mencintai Setya? Bukankah kamu begitu membencinya? Kira-kira kapan perasaan bencimu itu berubah jadi cinta kemudian menggebu seperti ini? Sebab kurasa aku baru meninggalka kalian selama dua minggu. Tapi, kemajuan kalian kenapa sampai sejauh ini?"     

"Itu hanya pura-pura, Arjuna...," jawab Setya tampak percaya diri. Aku benar-benar kesal dengan pemuda tua satu ini. Rasa percaya diri dan ndhak merasa bersalahnya tinggi sekali. "Waktu—"     

"Aku menyuruhmu keluar," kataku pada akhirnya, sambil meliriknya dengan tatapan tajam. "Aku menyuruhmu keluar untuk menelepon orangtuamu, apakah ucapanku ini masih kurang jelas diterima oleh telinga besarmu itu, Setya?"     

"Tapi—"     

"Keluar! Aku ingin bicara berdua dengan Wangi!"     

Setya langsung keluar tanpa sepatah kata pun, sembari memandang terus ke arah Wangi seolah aku ini akan memakan Wangi hidup-hidup. Aku kemudian bersedekap melihat Wangi yang masih terduduk di tempatnya itu. Di tempatnya bercinta tadi dengan Setya.     

"Jawab pertanyaanku itu, Wangi? Sejak kapan hubungan itu terjalin dengan begitu cepat? Aku benar-benar ndhak paham. Atau jangan-jangan, kamu ini tipikal seperti Rianti dan juga Bima? Bertengkar hanyalah kedok untuk menutupi perasaanmu secara nyata, iya?"     

Wangi tampak menunduk, kemudian dia menghela napas panjang. Seolah-olah apa yang akan diceritakan adalah hal yang cukup panjang untukku dengar.     

"Endhak sama sekali. Aku benar-benar ndhak memiliki perasaan seperti itu sebelumnya. Hanya saja tatkala kamu pergi ke Purwokerto, aku disuruh oleh Bulik Larasati untuk mengantarkan sarapan ke rumah pintar karena Setya masih merawat beberapa pasien di sana. Di sana, aku melihat sisi Setya yang lain. Sisi Setya yang dulu kulihat adalah sosok yang menyebalkan kini tampak berbeda adanya. Aku kagum tatkala dia memakai jubah putihnya itu untuk menolong orang-orang. Di mataku dia seperti seorang kesatria jubah putih yang dikirim oleh Gusti Pangeran. Dan setelah itu, ada satu kejadian yang membuatku hampir mati, aku terpeleset kemudian aku tergelincir hampir jatuh ke dalam jurang. Dan Setya, dengan segala upayanya, dengan semua pengorbanannya bahkan tanpa memikirka nyawanya sendiri, langsung menolongku begitu saja. Sejak saat itulah aku mulai jatuh hati dengannya. Singkat, memang. Tapi kurasa itu sangat nyata."     

"Dan kapan pertama kali kalian melakukan hal itu?" tanyaku kepada Wangi lagi. Awalnya Wangi tampak bingung dengan apa yang kukatakan, namun setelah kuberi isyarat, agaknya dia mulai paham dengan arah pembicaraanku. Dia tampak menggaruk tengkuknya, wajahnya merona semerah tomat busuk, seolah malu adalah hal yang ia rasakan sekarang.     

"Kira-kira kemarin, dan ini baru kedua kalinya, dan kamu memergoki kami," jawabnya dengan mantab.     

Seendhaknya aku lega, karena ternyarta baru kali dua kali Wangi, dan Setya melakukan hubungan terlarang tersebut. Seendhaknya semuanya masih bisa ditolong jika keduanya bertindak cepat. Aku, memang kotor aku akui itu. Tapi aku ndhak mau jika kawan-kawanku sampai berbuat dosa sama sepertiku. Aku ingin mereka selalu berada di jalan yang lurus, agar mereka ndhak merasakan rasa sakit, derita, kecewa, bahkan air mata. Cukup aku saja, jangan yang lain. Dan semoga kisahku menjadi pembelajaran bagi kita semua insan yang hidup di muka bumi ini.     

"Ya sudah sekarang bersihkanlah dirimu, tata penampilanmu yang awut-awutan itu. di luar sedang ada banyak tamu. Kamu bisa menyapanya sebentar kemudian pulang. Jangan bertemu dengan Setya dulu sebelum Setya membawa orangtuanya ke sini. Percayalah, Wangi, aku mengatakan ini dan mungkin bagimu bertindak terlalu kejam aku ndhak peduli. Karena niat sejatiku adalah, karena kamu kawanku dan aku ndhak mau kamu dilecehkan dan dianggap remeh oleh laki-laki mana pun. Aku ingin kamu menemukan laki-laki yang menghargaimu. Apakah gagal menikah beberapa kali juga ndhak membuatmu merasa ingin lebih teliti agar kamu ndhak terjatuh ke lubang yang sama lagi? Wangi, kamu adalah perepuan, bagaimanapun keadaannya kamu bisa memilih. Dan perjuangkan cintamu di jalan yang benar. Aku tahu Setya sangat mencintaimu, maka suruhlah dia untuk membuktikan kepadamu akan besarnya cintanya itu. Ndhak muluk-muluk, berani membawa orangtuanya ke sini adalah bukti nyata jika dia benar-benar serius kepadamu. Kamu paham apa maksudku, toh?"     

Wangi tampak mengangguki ucapanku, kemudian dia mencoba tersenyum di depanku. Pelan-pelan dia mulai berani menatap wajahku.     

"Terimakasih, Arjuna. Kamu telah bertindak seperti kangmasku. Kamu telah menyelamatkan dan menyadarkanku. Terimakasih."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.