JURAGAN ARJUNA

BAB 291



BAB 291

0Aku keluar dari kamar, Manis rupanya sudah menunggu tepat di depan pintu kamar tamu. Sementara dia melihat dengan jelas, ada Wangi yang tampak menata dirinya. Pandangan Manis yang awalnya ke arahku pun sekarang teralih kepada Wangi.     
0

Ludahku tiba-tiba mendadak kering, sebab aku ndhak mau kalau sampai Manis salah paham dengan apa yang terjadi. Sebab saat ini, Setya sudah ndhak tahu ada di mana.     

"Manis," kataku terbata. Manis masih diam, aku hendak mendekat ke arahnya tapi dia langsung menepis tanganku, berjalan masuk ke dalam kamar kemudian dia mendekat ke arah Wangi.     

"Mbakyu kenapa? Apa yang telah terjadi?" tanya Manis pada akhirnya. Aku masih diam, sementara Manis melihat sekitar. Ada tanda-tanda cinta tercecer di sana dengan sangat nyata, bahkan sebuah selimut serta bantal masih tergeletak di bawah. Manis kemudian memandang Wangi dengan kaget, kemudian dia memandang ke arahku. "Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Coba kalian, bisakah di antara kalian menjelaskan sesuatu tentang perkara ini?" tanya Manis pada akhirnya.     

Aku ndhak bisa berkata apa-apa, hanya Setya dan Wangi yang bisa membuktikan jika aku ndhak terlibat dalam masalah ini. Aku hanya bisa berharap jika Manis bisa mengerti.     

Namun nyatanya, apa yang kuharapkan keliru. Wangi membisu sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam. Aku yakin jika dia sedang malu, karena aku dan Manis telah memergokinya melakukan hal memalukan itu.     

Aku mendekat ke arah Manis, kemudian kutarik tubuhnya untuk menjauh. Namun, Manis langsung menepis tanganku dengan kasar, matanya memandangku dengan tatapan tajam. Mati, aku. Mati, aku! Duh Gusti, apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan agar Manis tahu jika bukan aku laki-laki yang telah berbuat seperti itu kepada Wangi. Aku benar-benar takut jika dia akan salah paham, kemudian dia mengingat lagi apa yang telah terjadi antara aku dan Widuri. Bahkan, untuk mengingat perkara itu, benar-benar membuat tanganku gemetaran dibuatnya.     

"Ndhuk... bukan aku, aku ndhak melakukan apa-apa dengan Wangi."     

"Aku tahu!" kata Manis dengan nada tinggi, yang berhasil membuatku terdiam. Entah dia menjawab itu karena dia benar-benar tahu dan percaya denganku, atau dia menjawab itu karena hendak menyindirku. Aku benar-benar ndhak tahu, arti dari jawabannya itu. "Aku tahu kalau ini bukan ulahmu, Kangmas. Akan tetapi, kalau kamu ada di sini bersama dengan Mbakyu Wangi, seharusnya kamu juga tahu siapa gerangan pemuda yang telah tidur dengan Mbakyu Wangi. Apakah hal itu dilakukan atas dasar suka sama suka? Atau karena terpaksa? Terlebih, apa pemuda itu mau bertanggung jawab atas apa yang telah ia perbuat sekarang ini?"     

Aku diam sejenak untuk sekadar merenungkan apa yang telah Manis ucapkan. Sebab sejatinya, apa yang dia katakan adalah benar adanya. Sementara itu, Manis buru-buru melangkah menuju pintu, kemudian menutup pintu itu dengan rapat-rapat.     

"Awas bayimu, kamu bisa berjalan pelan sedikit?" kubilang. Tapi dia tampak ndhak menghiraukanku. Membuatku harus menarik tangannya agar dia mendekat ke arahku. Dia ini memang kadang-kadang, ndhak pernah sekali saja mau menurut langsung. Apakah membantah sudah menjadi kebiasannya?     

"Lepaskan toh, Kangmas. Kamu ini belum menjawab ucapanku," katanya ndhak mau terima kalau saat ini tubuhnya sedang kupeluk. Karena aku ndhak mau melihatnya banyak gerak yang berakhir akan membahayakan kandungannya. Ndhak pantaskah jika aku sekhawatir itu? Dulu aku pernah kehilangan bayiku karena kecerobohanku dan sekarang aku ndhak mau kehilangannya untuk kedua kalinya. Oh, endha... ke tiga kalinya, aku lupa memasukkan bayi Widuri ke dalam jumlah itu.     

"Kenapa kamu masih bertanya, jika kamu sudah tahu siapa kekasih dari Wangi. Bukankah aku sudah menceritakan kepadamu sebelumnya tatkala kita berada di Jakarta?" kataku pada akhirnya. Manis tampak diam, seolah apa yang dia katakan salah. Kemudian dia menundukkan wajahnya. "Dengar, Manis. Boleh saja saat kita berkawan dulu kamu terus membantahku dan ndhak pernah mendengarkan ucapanku. Tapi sekarang keadaannya adalah berbeda. Kamu adalah istriku. Jadi, ndhak bisakah kamu ketika kuberitahu langsung menurut tanpa membantah? Tanpa kamu merasa sederajat dengan suamimu? Tanpa kamu merasa hilang rasa hormat kepada suamimu? Aku benar-benar ndhak tahu, semakin hari sikapmu ini semakin aneh saja. Aku hanya ingin kamu jangan banyak gerak, kamu melakukan apa pun itu harus pelan-pelan. Aku ndhak mau bayi kita kenapa-napa. Ndhak bisakah kamu sedikit saja untuk menuruti ucapanku itu?"     

"Kangmas—"     

"Sudah, aku mau ke kamarku sendiri. Aku sudah sangat lelah karena kurang tidur dan banyak pikiran. Dan aku ndhak mau memikirkan apa pun lagi hari ini."     

Aku langsung keluar dari kamar tamu itu, dan aku melihat Romo Nathan tampak menghentikan langkahnya karena melihat ke arahku. Kuberikan sedikit senyuman sambil kucium punggung tangannya, kemudian aku segera pergi ke kamar. Ndhak apa-apa, hanya saja aku masih enggan untuk ditanyai sekarang. Niatku pergi ke kamar tamu adalah agar bisa tidur dengan nyaman, dan tenang. Karena aku ndhak akan terganggu oleh para abdi dalem yang mencari atau pun cerita panjang lebar Manis. Iya, sekarang, untuk hari ini saja aku benar-benar ingin tidur. Aku yakin, kalian juga pernah merasakan di posisiku. Tatkala kalian sudah benar-benar penat untuk bekerja. Ketika kalian sudah sangat lelah karena ndhak ada waktu sedikit pun untuk istirahat. Di situ, kita merasa ingin merasakan satu hari saja seendhaknya, agar kita memiliki waktu kita sendiri. Bisa tidur sepanjang hari tanpa peduli apa pun, tanpa memikirkan apa pun yang ada di luaran sana. Terlebih, waktu tidurku juga terganggu karena masalah Wangi juga Setya, sungguh benar-benar membuat emosiku naik turun saja.     

Aku langsung membuka pintu kamarku, kemudian kurebahkan tubuhku yang benar-benar terasa lelah. Kupejamkan mataku rapat-rapat, tapi telingaku masih saja ndhak bisa sekadar diajak kompromi. Terdengar suara pintu dibuka, kemudian langkah itu mendekat. Aku yakin, jika Manis agaknya sakit hati karena ucapanku yang kasar tadi. Tapi sungguh, aku hanya ingin mengutarakan apa yang aku rasakan sekarang. Meski mungkin aku tahu, minta maaf adalah hal yang harus kulakukan selanjutnya. Sebab biar bagaimanapun, Manis adalah istriku, kesalahannya adalah karenaku. Baik buruknya juga adalah tanggung jawabku, jadi dia sampai seperti ini ndhak ada yang bisa disalahkan selain diriku sendiri.     

Samar suara itu terdengar semakin samar, hingga akhirnya kesadaranku menghilang. Tanpa butuh waktu lama, tanpa hitungan detik aku sudah terlelap begitu saja. Benar memang apa yang dikatakan oleh orang-orang, lelah badan kita bisa melakukan pijat agar lelahnya bisa hilang. Namun lelah pikiran dan hati kita sendiri bahkan ndhak tahu cara apa yang bisa kita lakukan untuk mengobatinya. Sebab ndhak hanya perkara emosi, badan juga terasa lelah semua.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.