JURAGAN ARJUNA

BAB 292



BAB 292

0Paginya aku membuka mata, kamar sudah tampak sepi. Kulihat lagi jam dinding, ternyata ini sudah ndhak lagi pagi. Ini sudah jam 09.00 dan ini adalah waktu yang sangat siang bagi Kemuning untuk sekadar melakukan aktifitasnya. Aku langsung mengambil handuk buru-buru untuk mandi. Untuk kemudian, aku melihat Manis sekilas yang hanya melihat ke arahku tanpa mengatakan apa pun itu. sementara aku juga sama, hanya memandangnya tanpa mengatakan apa-apa. Bodoh memang aku ini, bukankah hal ini sama saja aku membuatnya semakin berpikir yang endhak-endhak kepadaku? Namun nanti dulu kita bahas itu, sebab sekarang aku harus pergi ke kebun teh untuk kemudian bicara dengan Setya perkara masalahnya.     
0

Setelah bersiap aku langsung pergi ke perkebunan, semua buruh pemetik teh agaknya kaget jika aku sudah kembali ke sini. Sekarang adalah musim panen dan sekarnag juga waktu di mana perkebunan teh menjadi sangat ramai oleh para pemetik-pemetiknya. Duh Gusti, melihat pemandangan hijau yang membentang di setiap sudut mataku benar-benar sangat nyaman sekali. Rasanya aku ndhak mau kembali ke Jakarta, aku mau di sini saja. Bisa melihat pemandangan hijau, dan menghirup udara yang benar-benar bersih.     

Aku pun mengambil posisi duduk sembari meneliti beberapa hal yang barangkali akan berubah. Sampai saat ada sosok yang menepuk bahuku.     

"Tumben benar kamu melihat kebun teh? Biasanya saja kamu lebih suka untuk menghabiskan pekerjaanmu di Berjo," kata Paklik Junet. Sudah lama juga aku ndhak bercakap dengan Paklik Junet, bahkan untuk sekadar bercakap berdua sudah sangat jarang sekali.     

"Kadang ada kalanya aku rindu dengan luasnya perkebunan teh yang membentang ini, Paklik. Melihat arak-arakan para pemetik yang sibuk memilah pucuk teh terbaik mereka. Sudah lama aku tinggal di Jakarta, jadi melihat hal seperti ini saja rasanya sudah luar biasa."     

"Iya, lama sekali kamu tinggal di sana. Aku pikir kamu betah, sampai-sampai jarang benar untuk pulang. Ohya, simbahmu Romelah sudah ada di rumah, apa kamu sudah menyapanya?" tanya Paklik Junet lagi.     

Duh Gusti, aku sampai lupa dengan simbahku. "Belum, Paklik. Kemarin aku datang dari Jakarta langsung tidur, kemudian baru bangun dan ke sini ini. Bahkan sarapan pun aku belum sempat."     

"Tumben benar? Biasanya hal seperti itu ndhak akan dilewatkan Manis menyiapkannya?" tanya Paklik Junet yang berhasil membuatku terdiam. Aku kemudian menghela napas panjang, sembari mengabaikan ucapannya. Tapi dia malah tampak tersenyum melihat ekspresi anehku. "Kenapa? Ada masalah? Atau kamu mulai merasa jika pernikahan bukanlah hal yang seindah yang kamu bayangkan dulu? Atau malah kamu sudah mulai lelah dengan hubunganmu yang seperti itu itu saja."     

Lagi aku kembali mendengus, mendengar ceramah dari Paklik Junet masalah rumah tangga? Lebih baik endhak sama sekali. Sebab sampai kapan pun, dia adalah manusia yang paling ndhak setuju kalau laki-laki itu harus rela komitmen dengan satu perempuan. Sebab baginya, mencoba banyak perempuan adalah hal yang wajib dia lakukan kapan pun, dan di mana pun.     

"Namanya juga hubungan, Paklik. Masak iya harus harmonis terus. Ada kalanya ada pasang juga surut. Ada suka dan duka, bahagia juga kadang seperti lebih baik ingin sendiri dulu saja. Bukan berarti lantas aku enggan dan merasa lelah untuk melanjutkannya. Hanya saja aku ingin berhenti sejenak untuk merenungkan barang sebentar tentang memahami egoku, egonya, dan bagaimana bisa mempersatukan ego kita."     

Paklik Junet tampak tertawa, kemudian dia menepuk-nepuk bahuku. Ada apa toh? Memangnya dia pikir, ucapanku yang serius itu hanya gurauan semata apa toh? Menyebalkan sekali Paklik ini.     

"Arjuna... Arjuna... lama tinggal di Jakarta ternyata ndhak hanya merubah penampilanmu saja, toh. Juga merubah cara bicara serta pola pikirmu. Ucapanmu itu terlalu tinggi jika dicerna oleh Paklik yang rumahnya kampung ini. Apa saja tadi? Perumpamaan perumpamaan aneh yang kamu ucapkan benar-benar membuatku bingung. Namun sejatinya, aku hendak memberitahu kepadamu. Biasnaya masa-masa seperti ini memang sering terjadi. Terlebih, tatkala istrinya hamil atau baru melahirkan. Pikiranmu akan semakin berkecamuk ndhak karuan, serta godaan-godaan itu akan datang silih berganti. Percayalah, semua perempuan itu sama. Sama-sama memiliki satu lubang kenikmatan yang selalu kita ingin rasakan. Hanya saja, karakter dari mereka lah yang beda. Hingga aku bisa menyimpulkan kepadamu, jangan pernah seperti ini lagi. sikapmu yang seperti ini benar-benar ndhak akan baik untuk kedepannya. Kasihan istrimu, nanti dia akan merasa aneh, dan ndhak kamu hargai."     

Aku tersenyum getir mendengar celotehan dari Paklik Junet yang ngalor-ngidul ndhak karuan itu. Ini bukan masalah aku yang harus menjaga hati, perasaan atau apa pun. Sungguh! Hanya saja, aku merasa jika makin hari Manis semakin ndhak bisa diberitahu. Entah karena dia merasa jika pendidikannya sekarang tinggi, itu sebabnya dia merasa jika suami dan istri memiliki kesetaraan yang sama, dia menjadi seperti itu atau itu salah satu dari mengandungnya itu. yang jelas, yang membuatku jengkel hanya perkara itu. Ndhak lebih sebenarnya.     

"Paklik nanti beri upah kepada mereka. Aku mau ke gubug dulu," putusku. Berjalan naik ke atas untuk menuju ke arah gubug. Yang katanya gubug ini adalah gubug kenangan Romo Adrian, juga Biung. Meski aku sendiri hanya tahu dari buku mereka, jika tempat ini menjadi saksi bisu atas penyatuan cinta mereka yang menggebu-gebu. Sungguh, aku sama sekali ndhak pernah bisa membayangkan, bagaimana besar nafsu mereka saat itu. sampai-sampai di mana pun bisa mereka gunakan sebagai tempat untuk bercinta.     

Aku kemudian melihat tempat duduk yang ada di sana, kemudian duduk di satu sisinya. Sebuah pohon mangga tampak tumbuh dengan sangat subur di depan, membuat rasa sejuk semakin tampak nyata. Enak benar di sini, seharusnya aku menemukan tempat ini lebih lama. Lumayan, toh, sebagai tempat tidur siang yang ndhak mungkin ada orang lain yang bakal menganggu tidurku.     

"Lho Juragan?!"     

Aku kaget mendengar suara Ucup keluar dari gubug ini. Dia benar-benar Ucup, toh?     

"Lho untuk apa kamu di sini?" tanyaku. Ucup malah tertawa lebar sembari menggaruk tengkuknya yang ndhak gatal.     

Kemudian dia duduk di sampingku, sambil menguap berkali-kali. Rambutnya acak-acakan khas bangun tidur. Aku tebak, dia sudah sedari tadi dan dia bahkan sudah tidur di sini.     

"Aku tidak sengaja menemukan gubug ini, tampak rindang dan sangat nyaman. Dan ketika aku masuk, di dalamnya seperti sebuah penginapan kecil yang lengkap. Kamarnya ada kasur dan ranjangnya, lengkap dengan semuanya yang tertata rapi di sana. Aku yakin, ini bukan gubug sembarangan. Gubung ini pasti milik orang kemudian dijaga agar benar-benar kondisinya terawat. Tapi, waktu aku menunggu kalau saja ada si pemilik gubug ini datang, ternyata aku malah ketiduran. Wah benar-benar gubug ini akan menjadi tempat persembunyianku saat aku berada di sini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.