JURAGAN ARJUNA

BAB 299



BAB 299

0"Jadi, bagaimana? Ini sudah satu minggu lewat, dan tidak ada kabar darimu juga orangtuamu sama sekali. Apa kamu benar-benar kawanku?" tanyaku. Saat pagi-pagi sekalu Setya hendak pergi, tapi aku sudah menghadangnya di depan pintu. Dia ini memang paling pandai, untuk menyelinap seperti ini. Bahkan sekarang dia keluar rumah sebelum aku bangun, dan pulang sangat larut setelah aku tertidur. Mentang-mentang aku diam, ndhak memberitahu kepada siapa pun. Lantas dia bisa seenaknya seperti ini? Ndhak pernah akan bisa!     
0

Setya diam, dia hendak memaksa keluar. Tapi, kerah baju bagian belakangnya langsung kutarik, kemudian kuajak dia masuk ke ruang kerjaku. Ndhak peduli kalau dia adalah seorang dokter. Sebab di mataku, yang salah akan tatap salah ndhak peduli siapa pun itu.     

"Tunggu-tunggu!" kata Setya, kemudian kutarik kerah bajunya dan kudorong dia untuk duduk. Aku sudah benar-benar hilang sabar untuk sekadar bertoleransi dengan manusia bernama Setya ini.     

"Tunggu-tunggu! Kamu pikir masalah ini bisa ditunggu? Badan laki-laki tapi kelakuanmu banci! Bisa kelon tapi tidak mau tanggung jawab! Dasar pemuda bangkotan yang tidak tahu diri!" makiku kepadanya.     

"Tenang... tenang!" kata Setya lagi, rasanya ingin sekali kurobek mulut pemuda ini. kalau dia ndhak kawanku, pasti aku sudah membuangnya hidup-hidup ke dalam hutan, dan biarkan saja dia dimakan macan dan hewan buas lainnya. Siapa peduli! "Aku sudah bilang kalau aku serius dengan Wangi, itu benar-benar adanya. Tapi, kemarin saat aku menelepon orangtuaku, keduanya masih berada di luar Jawa. Jadi, kira-kira tiga hari lagi mereka baru sampai rumah dan akan ke sini dengan segera!"     

"Lalu, jika memang begitu adanya, kenapa kamu menghindariku? Apa jangan-jangan semua ucapanmu itu adalah palsu? Hanya omong kosong hanya untuk merayuku? Aku tidak bodoh, Setya. Jika dalam waktu tiga hari orangtuamu itu tidak ke sini, aku tidak akan segan-segan mengatakan hal yang sebenarnya kepada semua orang rumah sini. Biar kamu tahu akibat dari perbuatan cabulmu itu!"     

"Makanya!" kata Setya lagi, yang kini sudah berdiri, sembari memandang ke arahku dengan gemas. "Makanya aku tidak mengatakannya kepadamu, karena kamu tidak akan pernah percaya dengan apa yang kukatakan. Makanya itu lebih baik aku menghindarimu. Karena aku tahu, sifat keras kepalamu itu sudah benar-benar seperti batu! Aku cinta Wangi, dan aku akan benar-benar menikahinya. Tidak peduli jika dulu dia pernah berumah tangga atau tidak. Dan aku juga tahu, kenapa Wangi tidak tampak sama sekali selama seminggu ini. itu karena kamu yang melarangnya, kan? Oke, aku setuju, aku ikuti semua aturanmu. Karena itu demi kebaikannya maka aku tidak akan apa-apa. Karena aku ingin membuktikan kepadamu kalau aku benar-benar serius, karena aku bukan laki-laki pengecut. Kamu ini dari dulu, tidak pernah paham apa yang aku inginkan."     

"Kamu yang seperti itu, siapa yang tidak akan salah paham. Kalau ada apa-apa bicarakan."     

"Buat apa bicara sama orang kepala batu yang mudah marah sepertimu?" ketus Setya lagi. "Ibarat kompor kamu itu sumbu pendek, sekali dibakar langsung meledak. Iya, itu kamu. Harus sabar Manis punya suami seperti kamu. Gampang emosi, darah tinggi, dasar laki-laki tidak tahu diri!"     

Aku ndhak mebalasnya lagi, kemudian aku keluar dari ruang kerjaku membuat Setya mengikuti langkahku sambil terus menggerutu. Membuatku langsung menghentikan langkahku, dan membuatnya menabrak punggungku dengan keras. Maklum, tingginya setelingaku, jadi mungkin mulutnya akan sakit karena menabrak punggungku.     

"Ah kamu, kalau berhenti bilang, dong!" marah Setya, aku mengulum senyum membuatnya terus memegangi bibirnya. "Sakit ini!"     

"Makanya jadi orang jangan pendek. Cebol!" kataku, langsung pergi dari hadapannya.     

Aku kemudian berjalan menuju kamar Rianti, kubuka pintu kamar itu perlahan. Rianti masih tertidur, sementara Abimanyu tampak sudah bermain sendiri di atas ranjang. Duh kasihan benar keponakanku, dia bangun sendiri sementara biungnya masih molor jam segini.     

"Suit... suit...," panggilku dengan siulan pelan. Abimanyu yang awalnya sibuk dengan jari-jarinya pun langsung melihat ke arahku. Senyumnya merekah, matanya tampak berbinar-binar. Dengan cepat dia turun dari ranjang kemudian menghampiriku. Kugendong dia, kemudian kuajak dia menuju ke kamarku. "Kamu bangun sendirian?" tanyaku. Abimanyu mengangguk.     

"Bunda masih tidur, biasanya seperti itu. Biasanya aku sama Ayah. Tapi Ayah tidak ada," jawabnya yang terdengar tampak begitu lucu.     

"Ya sudah, ikut Ayah Besar ke kamar saja ya? Kita main berdua."     

"Terus Bunda Besar ada di mana?"     

"Bunda Besar sudah memasak di dapur," jawabku. Abimanyu mengangguk semangat kemudian dia memeluk leherku kuat-kuat.     

"Nanti kita main apa? Mobil-mobilan? Atau kuda-kudaan?" tanyanya. Kukerutkan keningku, sebab di kamar ndhak ada mainan apa pun. "Ayah Besar yang jadi kudanya, aku yang naik. Nanti, Ayah Besar berjalan keliling kamar. Itu seru!" semangatnya kemudian,. Aku mengangguk saja menjawabi ucapan dari Abimanyu.     

Dan ternyata kuda-kudaan yang dimaksud Abimanyu benar-benar adanya, aku disuruh berjongkok, dan dia naik di atas punggungku. Sembari aku merangkak mengitari kamar. Duh Gusti, andai aku tahu jika kuda-kudaannya seperti ini, aku ndhak akan mau. Ternyata, main kuda-kudaan yang paling enak ya sama istri. Kalau sama anak kecil bisa-bisa sebentar lagi aku masuk rumah sakit ini.     

"Ayah Besar...," kata Abimanyu yang tampaknya sudah puas dengan bermainnya. Aku memandang ke arahnya, matanya yang kecil tampak semakin kecil. Kemudian dia berjalan ke arah ranjang dan berbaring. "Sini," pintanya lagi.     

Aku pun menuruti permintaannya, ikut berbaring di sampingnya sembari melihat ke arahnya. Memeluk tubuh kecil itu yang kini sudah memelukku dengan erat. Lamat-lamat matanya semakin tampak berat untuk kemudian dia pun tertidur. Aku tersenyum melihat wajah Abimanyu tatkala tertidur seperti ini. Wajah polos malaikat tanpa dosa, wajah menggemaskan yang benar-benar sangat lucu. Wajah yang ingin selalu kupandangi selalu.     

Krek!     

Aku menoleh, Manis masuk. Buru-buru kusuruh dia untuk ndhak berisik. Manis agaknya paham, kemudian dia mendekat. Menaruh buah serta makanan ringan di atas meja. Melihat Abimanyu yang tertidur dia pun tampak tersenyum, meneliti wajah mungil anak ganteng itu.     

"Wajahnya seperti wajahmu saat kecil dulu, Kangmas," kata Manis yang tatapannya ndhak beralih sedikit pun dari wajah Abimanyu.     

"Mungkin waktu hamil, bundanya sangat membenciku. Itu sebabnya sampai-sampai anaknya wajahnya sama sepertiku," kujawab. Manis tampak tersenyum. Setelah mengantar makanan Manis pamit untuk kembali ke dapur. Membantu para abdi menyiapkan masakan dan membiarkan Abimanyu untuk tetap tertidur. Lama kupandangi wajah Abimanyu, hingga lama-lama kantuk itu datang menghampiriku. Lalu, semuanya tampak ringan. Dan aku pun ikut tertidur sambil mendekap malaikat kecilku. Gusti, rasanya senang sekali bisa memeluk keponakanku ini. bisa tidur bersama-sama seperti ini, dan entah sampai kapan aku bisa mendekapnya. Bahkan, aku sendiri ndhak tahu, kapan waktunya kami untuk berpisah lama lagi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.