JURAGAN ARJUNA

BAB 250



BAB 250

0Aku ndhak bisa lagi menahan air mataku, meski sekarang aku mati-matian menahannya, meski sekarang aku menatap langit yang membiru, tapi tetap saja air mata ini mengalir dengan sangat lancang.     
0

Biung tampak diam, dia ndhak mengatakan apa-apa lagi, bahkan isakannya berusaha ditahan setengah mati. Dia seolah merasakan pelukan Romo, dia seolah mendengar ucapan Romo. Yang dia lakukan hanyalah, masih memeluk dirinya sendiri sambil memejamkan matanya rapat-rapat.     

Romo Adrian melepas pelukannya, kemudian dia mengelus rambut Biung dengan begitu sayang. Senyumnya, pandanganya, ndhak terlepas sedikit pun dari Biung. Dan itu benar-benar membiusku dalam sekali waktu.     

"Bahagialah, kamu pantas bahagia dengan orang yang kamu cinta. Biarkan masa lalu menjadi kenangan, untuk kita saja."     

Setelah mengatakan itu, Romo lantas pergi, berjalan ke arah Romo Nathan yang kini masih berjongkok di makamnya. Romo Adrian kemudian ikut berjongkok, memandang Romo Nathan dengan senyuman hangatnya itu. Beberapa kali menepuk bahunya, kemudian mengatakan sesuatu yang aku ndhak dapat mendengarnya.     

Aku kembali melihat ke arah Biung, yang saat ini tampak membuka matanya. Untuk kemudian dia mencari tempat untuk menyendiri. Lagi, Biung mengusap air matanya dengan kasar. Untuk kemudian dia tersenyum simpul, seolah-olah ada perasaan lega, yang merayapi hatinya secara nyata.     

"Arjuna, kamu tahu...," kata Biung yang berhasil membuatku menoleh. "Tadi, di sana...," lanjutnya, sembari menunjuk pohon kamboja yang tadi Romo berdiri. "Biung seperti melihat romomu. Dan tatkala Biung memejamkan mata, Biung merasa seperti romomu telah memeluk Biung. Rasanya benar-benar sangat nyata, rasa yang ndhak pernah bisa Biung lupakan seumur hidup. Mungkin, karena Biung rindu, itu sebabnya Biung berimajinasi seperti itu. Dan Biung benar-benar sangat bahagia dengan hal ini, Arjuna. Seolah-olah semua perasaan dan beban Biung selama ini terangkat begitu saja."     

Aku tersenyum mendengar penuturan Biung, namun begitu aku ndhak mau mengatakan jika benar tadi Romo telah memeluknya. Aku ndhak mau memberikan harapan kepada Biung lebih, sebab sejatinya Romo Adrian sudah ndhak ada. Seendhaknya dengan seperti ini, beban dan rasa bersalah Biung yang sedari dulu telah dipendam agaknya tersampaikan. Seendhaknya dengan seperti ini, Biung bisa melangkah bersama dengan Romo Nathan tanpa beban.     

"Sekarang giliranmu, mengadu kepada Kangmas. Tapi awas, jangan mengatakan yang buruk-buruk tentangku,"     

Aku, dan Biung menoleh, tatkala Romo Nathan sudah berada di antara kami. Mendengar hal itu pun Biung tertawa, namun dia ndhak mengatakan apa pun, selain berjalan ke arah pusara Romo kemudian dia duduk di sana.     

Romo Nathan memandangi Biung untuk sesaat, entah ingin memastikan apa. Kemudian dia tampak tersenyum simpul. Aku benar-benar ndhak tahu, bagaimana perasaan Romo Nathan sekarang, apakah Romo Nathan lega, bahagia? Atau malah... sebaliknya.     

"Romo ndhak apa-apa?" tanyaku pada akhirnya. Romo Nathan kemudian menoleh ke arahku, kemudian dia duduk di atas rumput.     

"Punggungku capek juga duduk jongkok seperti itu," dengusnya. Aku tersenyum saja, ikut duduk di samping Romo Nathan.     

"Itu tandanya Romo itu sudah tua, jadi ndhak usah banyak gaya," celetukku. Romo melotot, kemudian dia mencibir, untuk setelahnya dia kembali tersenyum lebar.     

"Memang, sepertinya Romo sudah tua. Jadi kalau dipikir-pikir, kira-kira Kangmas sudah setua apa sekarang? Mungkin dia sudah menjadi seorang Simbah yang membawa tongkat agar bisa berjalan lurus," katanya sembari tertawa. Duh Gusti Romo ini, pandai benar rupanya untuk mengejek orang. Bahkan, orang yang sudah ndhak ada pun diejek juga. Tapi, biarlah, agar dia bahagia saja.     

"Aku jadi membayangkan, bagaimana nanti kalau aku punya anak. Bahkan aku merasa ndhak hanya memakai tongkat untuk membantu berjalan lurus, malah-malah Romo ndhak kuat menggendong anakku,"     

Romo langsung memukul lenganku, kemudian dia melotot ke arahku. Jujur, aku lebih suka Romo galak seperti ini, kalau melihatnya diam benar-benar membuatku berpikir jika dia bukan romoku.     

"Makanya lekas punya anak, biar pernikahan kalian menjadi lengkap," katanya.     

"Usaha sudah, Romo, setiap hari. Tapi ndhak jadi-jadi," kataku pada akhirnya. Jujur, memang terbesit dalam pikiranku sebuah pemikiran yang macam-macam. Tapi aku ndhak berani mengatakannya kepada Manis. Biar bagaimanapun, Manis adalah pihak perempuan, dan aku ndhak mau pemikiranku ini menjadikan dirinya tertekan. "Manis sekarang masih sangat sibuk, Romo. Apalagi dia sebentar lagi akan wisuda, aku ingin dia menyelesaikan kuliahnya dulu dengan tenang, tanpa memikirkan apa pun, untuk setelahnya kita benar-benar memikirkan masalah anak. Terlebih, dia butuh waktu yang benar-benar santai, agar usaha kami cepat jadi."     

"Sesungguhnya, apa yang kamu ucapkan adalah benar adanya, Arjuna. Dulu, Romo dan Biung pun seperti itu...," kata Romo pada akhirnya. "Memangnya kenapa kamu pikir jarak antaramu dan juga Rianti cukup jauh? Itu semata-mata bukan hanya perkara kalau dalam masa itu, Romo dan Biung ndhak melakukan ritual penyatuan. Bukan... bukan seperti itu. Bahkan, setelah kami saling jujur dengan perasaan kami, baru beberapa tahun kemudian akhirnya adikmu lahir ke dunia ini. Mungkin benar, stres, dan segala aktifitas yang terlalu padat membuat seorang perempuan susah untuk memikirkan seorang anak. Jadi Romo rasa, bersantailah. Setelah Manis lulus kuliah, kalian ambil waktu berdua, dan fokus dengan perkara ini. Bias masalah klinik yang menjadi cita-citanta, Romo, dan Biung yang akan mengurus. Terlebih, ada adikmu, toh, yang pasti akan ikut serta juga mengurus semuanya."     

Aku kembali menghela napas panjang, sepertinya banyak benar perkara yang menumpuk dalam benakku. Jujur, jikakalu nanti ada hal paling buruk sekalipun, andai kata kalau aku dan Manis ndhak sampai punya anak, aku ndhak akan masalah. Hanya saja, seednahknya sebagai seorang manusia, aku wajib berusaha, toh? Dan aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkannya. Ndhak banyak, jika Gusti Pangeran memberi restu sebelas pun ndhak apa-apa, namun jika Gusti Pangeran hanya memberi saty, aku ndhak masalah. Aku akan menerimanya dengan lapang dada.     

"Romo, bagaimana berkunjungnya dengan Romo Adrian? Semuanya baik?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Romo Nathan mengangguk-anggukan kepalanya, kemudian dia tersenyum simpul.     

"Sudah lama Romo ndhak bercakap seperti tadi dengan Kangmas. Rasanya sangat rindu. Meski tatkala dia hidup dulu, sifat penurutnya kepada Romo benar-benar membuatku jengkel. Namun setelah tahu alasan di balik kenapa dia melakukan itu, membuat Romo kasihan kepadanya. Bahkan, Romo sebagai adiknya ndhak bisa berbuat apa-apa. Salah satu yang menjengkelkan juga darinya adalah, kalau dia ada masalah, ndhak pernah mau cerita. Bahkan dia membuat keputusan besar untuk mengakhiri hidupnya dengan cara menjadi yang dikorbankan pun, dia ndhak cerita apa-apa dengan Romo. Benar-benar menyebalkan,"     

Aku tersenyum mendengar ucapan Romo yang panjang lebar itu, benar-benar seperti potret seorang adik-kakak pada umumnya. Ternyata, mereka juga mengalami cerita seperti ini juga. Saling sebal atas sifat satu sama lain, namun pada dasarnya sebalnya mereka itu karena terlalu sayang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.