JURAGAN ARJUNA

BAB 249



BAB 249

0"Lantas?"     
0

"Lantas, seendhaknya, meski aku di sana pernah mengalami trauma. Tapi, di sana aku punya sahabat. Sahabat yang selalu bersamaku, sahabat yang meski ndhak bisa membantuku tatkala aku dijahili, seendhaknya mereka selalu ada untukku tatkala aku sedih, Romo. Sahabat yang mungkin ndhak bisa aku dapatkan di tempat yang lainnya. Terlebih, semua orang yang ada di sana sudah tahu, siapa romoku ini. Romoku adalah laki-laki yang hebat, seorang Juragan terhormat yang disegani. Seorang yang benar-benar memiliki pengaruh besar di negeri ini. Jadi, setelah ini semua, aku yakin mereka seendhaknya akan merasa segan. Meski...," katanya terpotong, kemudian dia memandangku sembari mengulum senyum. "Meski Romo memiliki banyak penggemar sekarang di sekolah. Kawan-kawanku berkata, banyak anak-anak yang mengira Romo ini pemuda yang masih lajang, bahkan baru lulus kuliah. Banyak benar penggemar Romo di sana itu," gerutunya. Aku langsung mencubit hidung Ningrum, kemudian menariknya kembali dalam dekapanku.     

"Salah sendiri, toh, punya Romo yang keren, bagus, awet muda, dan berkarisma seperti Romo. Jadi ya jangan salahkan Romo, jika semua kawan-kawanmu itu terpesona, sampai ndhak bisa berkata apa-apa tatkala di depan Romo. Bahkan, dari jarah sepuluh meter, aura karismatik Romo sudah terpancar dari berbagai sisi," percaya diriku.     

Ningrum langsung tertawa, kemudian dia memukul-mukul dadaku pelan. "Ndhak usah banyak tingkah, aku adukan ke Biung nanti tahu rasa, lho!"     

"Biungmu saja mengakui itu, masak kamu yang anak Romo ndhak mengakuinya, toh. Mbok ya bangga sedikit begitu, lho, punya Romo seperti romomu ini."     

"Iya... iya, Ningrum bangga, bangga benar sampai-sampai membuat Ningrum ingin tertawa."     

"Dasar, durhaka."     

"Biarin!"     

Kami langsung tertawa setelah saling ledek, dan untuk setelahnya, Ningrum langsung diam. Tak pikir, dia sedang merenungkan sesuatu, ternyata dia sudah terlelap tanpa aba-aba. Dia ini memang, paling cepat kalau urusan tidur. Terlebih di dekapku seperti ini. Katanya nyaman, itu sebabnya tatkala dia mimpi buruk atau sedang sakit, selalu mencariku. Tapi, kalau dia memutuskan untuk tetap di sini, aku jadi ndhak bisa melindunginya sepanjang waktu. Tempatku terpaksa harus dibagi tiga, mau ndhak mau aku harus melakukannya.     

Lagi, aku menghelakan napas beratku, kemudian aku tersenyum. Aku ndhak boleh mengeluh, ini adalah keputusan putri semata wayangku, aku harus mendukungnya sepenuh hati.     

Duh Gusti, aku jadi rindu Manis. Bahkan kami belum sempat pacaran berdua sampai saat ini. Sepertinya, kalau kondisi Ningrum, dan setelah mengurus beberapa hal di Kemuning aku akan kembali ke Jakarta. Untuk setelahnya, aku akan melanjutkan beberapa urusan di Kemuning saja. Sebab kurasa, darahku ini telah lama mengalir di Kemuning. Sampai-sampai rasanya, ndhak bisa jauh dari tempat itu. Kemuning, memang benar ibu pertiwiku yang paling kucintai.     

*****     

Sore ini, aku sudah berada di pemakaman. Bersama dengan Biung, dan Romo Nathan. Hari ini adalah hari memperingati kepergian Romo Adrian untuk selama-lamanya, dan kurasa hari ini adalah waktu yang tepat untuk berkunjung bersama di pemakaman Romo Adrian.     

Aku berdiri, sembari bersedekap melihat Biung, dan Romo sudah berjongkok sembari mengelus nisan Romo Adrian. Menaburkan bunga, kemudian mengisi kendi yang ada di kuburan Romo dengan air.     

Kulihat di kejauhan, di bawah pohon kamboja yang cukup besar dan lebat bunganya itu, Romo Adrian sedang berdiri. Memakai surjan lengkap, serta mengikat tangannya di belakang punggung. Aku hendak mendekat, namun Romo Adrian seolah melarangku untuk mendekat. Membuatku mengangguk, sembari membalas senyuman simpulnya kepadaku. Romo, andai kamu jika aku rindu. Andai kamu tahu jika aku ingin memelukmu, kemudian aku ingin memamerkan kepada mereka semua, jika saat ini aku sedang bersama dengan romoku. Jika saat ini aku sedang memeluk romoku.     

Gusti, aku ini kenapa, toh? Kenapa setiap kali aku melihat Romo Adrian, mataku ndhak henti-hentinya mengeluarkan air mata? Kenapa aku selalu ingin menangis dan ingin dipeluk oleh Romo Adrian selamanya. Kenapa, Gusti?     

"Arjuna...," panggil Biung, yang berhasil membuatku menoleh ke arahnya. "Apakah romomu ada di sini?" tanyanya.     

Aku tersenyum kaku, kemudian aku mengangguk menjawabi ucapan Biung. Betapa wajah itu tampak berseri, tatkala aku mengangguk seperti ini.     

"Romo ada di dekat Biung, dan Romo Nathan. Dia sedang tersenyum melihat kalian. Dia sangat rindu dengan kalian," jawabku.     

Biung pun menangis tersedu. Sementara Romo Nathan langsung mengelus punggung Biung yang bergetar.     

"Sekarang, lepaskanlah rindu kalian kepada Romo. Sebab Romo juga rindu keluh kesah kalian," kataku.     

"Larasati...," kata Romo Nathan kepada Biung yang berhasil membuatku menoleh. Sangat jarang Romo menyebut Biung dengan namanya langsung, biasanya kalau ndhak panggil Ndhuk, ya Sayang, atau Istriku. Apakah karena dia sungkan dengan Romo Adrian? "Pergilah dulu yang sedikit jauh dari sini, pergi sana... aku ingin ketemu kangen dengan Kangmas dulu. Aku ndhak mau kalau kamu menguping pembicaraan rahasiaku ini dengan Kangmas. Paham?" katanya, yang berhasil membuatku tersenyum.     

"Duh Gusti, kamu ini... Kangmas Adrian, lihat, toh, adikmu ini. Urusan mengatur-ngatur memang jago benar dia itu. Kayak punya rahasia saja. Aku juga ndhak sudi, itu, mendengar rahasia ndhak pentingmu!" imbuh Biung ndhak mau terima.     

"Ck! Ck! Ck! Biasanya saja, kamu akan menangis kalau aku ndhak berbagi kisah. Sekarang, kamu mengatakan seperti itu? Hush! Hush! Pergi sana, yang jauh!"     

"Dasar laki-laki tua ndhak tahu diri!"     

"Kamu—"     

"Sudah-sudah, kenapa kalian jadi bertengkar, toh!" kataku menengahi mereka. Keduanya, malah tertawa. Seolah-olah apa yang mereka lakukan adalah perkara yang lucu. Dasar mereka ini, sudah tua ndhak sadar umur benar. Memangnya mereka pikir, mereka ini adalah anak muda apa, toh. Yang masih pacaran, dan dalam tahap pendekatan.     

Biung kemudian beridiri, dia mendekat ke arahku. Namun kemudian, dia menoleh ke arah pohon bunga kamboja yang ada Romo di sana. Dan senyuman yang mengembang itu langsung hilang, mimik wajahnya tampak terkejut kemudian tampak aneh. Sesaat dia terdiam, matanya tiba-tiba terlihat nanar. Aku ikut menoleh memandang ke arah Romo Adrian, kemudian aku melihat lagi ke arah Biung, yang pandangannya sampai detik ini ndhak berubah sedikit pun.     

Kemudian, air mata itu menetes di kedua pipinya, kemudian senyumnya kembali mengembang. Tapi senyuman ini, bukanlah senyuman seperti tadi. Bukan senyum jahil atau senyum apa pun. Ini seperti, tatkala kita telah lama merindukan seseorang, untuk kemudian kita bertemu dengan orang yang begitu kita rindu. Ya, mata Biung, senyum Biung, mimik wajah Biung, benar-benar menjabarkan hal seperti itu.     

Untuk kemudian dia merentangkan kedua tangannya, sembari memejamkan matanya rapat-rapat. Lalu, Biung pun berlirih, "Kangmas, aku rindu kamu."     

Mendengar ucapan itu, air mataku benar-benar ndhak bisa terbendung. Terlebih aku melihat Romo juga melakukan hal yang sama, di sana, Romo berjalan mendekat, kemudian dia mendekap tubuh Biung. Mencium kening Biung, yang aku sendiri ndhak yakin apakah Biung tahu apa endhak. Lalu, Romo menjawab. "Ndhuk, aku rindu kamu juga."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.