JURAGAN ARJUNA

BAB 251



BAB 251

0Pagi ini aku sudah ada di Jakarta, sebab hari ini adalah hari di mana Rianti, dan Bima akan kembali ke rumahnya sore nanti. Tentu, di rumah ndhak ada siapa-siapa. Itu sebabnya Romo menyuruhku untuk cepat-cepat di Jakarta, dan sekarang yang menunggui Ningrum adalah Biung. Sebab sekalian Biung mau bertandang ke rumah Bulik Ella. Biarlah, seendhaknya aku merasa tenang jika putriku ada yang menunggui sekarang. Ndhak hanya abdi dalem, yang bahkan ndhak peka terhadap apa yang dialami oleh ndoronya.     
0

Dan seendhaknya juga, aku sekarang sudah tega melepas orangtuaku. Mereka sekarang benar-benar seperti orang yang ndhak punya beban, dan pikiran. Kedua anaknya sudah jelas duduk tinggalnya di mana, dan urusan yang lalu dengan Romo Adrian pun sudah disampaikan dengan sangat nyata. Meski mereka ndhak tahu di mana Romo Adrian saat itu, tapi apa yang menjadi beban mereka sudah mereka utarakan secara langsung. Kini, biarlah keduanya menikmati hidupnya dengan nyaman, menikmati masa tua tanpa gangguan apa pun dan beban apa pun, sembari mengurusi cucu perempuannya. Ya, hanya itu yang aku inginkan. Sebab di usianya yang seperti ini, aku pun ndhak ingin membuat Romo terlalu banyak pikiran. Ada aku, ada Bima juga. Kami akan melakukan hal sebaik mungkin agar bisa mengurus pekerjaan kami juga pekerjaan yang lain supaya agar tetap berjalan dengan lancar dan baik. Meski aku sendiri tahu, sangat ndhak mungkin kalau aku memaksa Bima. Sebab bagaimanapun, dia adalah anak semata wayang dari seorang pengusaha sukses, yang memiliki gedung pencakar langit, dan pasti ada banyak ribuan karyawan yang menggantungkan hidupnya pada kelangsungan perusahaannya. Semoga, Bima bisa mengambil keputusan bijak. Sebab sampai kapan pun juga aku ndhak mau, kalau sampai hanya karena ingin mengalah kepada Rianti, dia malah mengambil keputusan sembrono untuk meninggalkan tanggung jawabnya yang selama ini diemban oleh ayahnya. Ndhak... aku ndhak mau membuat dia menjadi anak durhaka.     

Aku kembali tersenyum, sekarang aku sudah sampai di depan rumah. Ada seikat bunga mawar merah, yang sengaja kubeli tadi. Sebagai buah tangan untuk Manis, istriku tercinta yang mungkin sekarang sedang sangat merindukanku.     

Aku segera keluar dari mobil, sembari membawa bunga itu. kuketuk pintu rumah, dan benar saja, yang keluar adalah Manis. Manisku tampak begitu cantik, meski saat ini dia hanya menggunakan daster, meski sekarang rambutnya tampak acak-acakan saat diikat satu.     

Aku langsung menarik tubuhnya, kemudian kukunci. Sementara tanganku yang lainnya, kusembunyikan di belakang punggung. Sebab aku belum mau Manis tahu kalau aku membawakan seikat bunga mawar merah untuknya.     

"Kangmas?!" serunya, wajahnya langsung sumringah, dia lantas memelukku dengan begitu erat. Sengaja kujauhkan tanganku, agar Manis ndhak memegang bunga yang kusembunyikan. "Aku rindu, rindu, rindu...." semangatnya.     

"Aku sangat sangat rindu...," imbuhku. Aku hendak menciumnya, tapi Manis menahan, kemudian dia memandang ke kiri—kanan seolah memastikan jika semuanya aman. Untuk kemudian dia kembali memandangku, sembari mengulum senyum. Lalu dia mengecup bibirku.     

"Rindu benar aku dengan suami tercintaku ini."     

"Sama, muach!" kataku. Manis langsung mengedipkan matanya nakal. Membuatku langsung memburu bibirnya, sambil terus mendorongnya masuk ke dalam rumah, kucumbu lehernya, dia pun langsung melepaskan jaket, serta kancing-kancing kemejaku. Namun untuk kemudian, dia berusaha mendorong tubuhku, kemudian tangannya yang kecil itu terus memukul-mukul lenganku.     

"Abimanyu... Abimanyu, Kangmas!" katanya.     

Aku langsung melompat, tatkala melihat Abimanyu sudah berdiri di ujung sana, sembari melihatku dan Manis tanpa kedip. Gusti, aku lupa, kalau di rumah ini ada anak kecil bernama Abimanyu. Bagaimana aku bisa lupa, toh, bagaimana bisa aku ndhak mengingat sama sekali akan kehadiran dari keponakanku tercinta ini. Mati aku, benar-benar mati aku!     

Aku cepat-cepat melangkah mendekatinya, kemudian aku berlutut agar tinggi kami sama. Pelan, kuelus pundak mungilnya, dan mata bulat itu memandangku dengan tatapan polosnya itu. Sungguh, tatkala aku melihat mata itu, aku benar-benar merasa berdosa. Ndhak seharusnya aku melanggar aturan, seharusnya aku mengajak Manis ke kamar dulu barulah dia kucumbu. Kalau sudah seperti ini, bagaimana jadinya nanti?     

"Ayah Besar dan Bunda Besar, apa yang sedang kalian lakukan tadi? Permainan apa yang sedang kalian mainkan tadi?" selidiknya.     

Aku dan Manis kembali saling tatap, rasanya pertanyaan Abimanyu bahkan lebih menyeramkan dari pertanyaan-pertanyaan paling seram sedunia sekalipun.     

Aku hanya tersenyum, bahkan otaku tiba-tiba rasanya tumpul karena telah dipergoki oleh Abimanyu dengan cara memalukan seperti ini.     

"Abimanyu Sayang...," kataku yang kembali terhenti. Aku menggaruk tengkukku yang tiba-tiba gatal. Kemudian aku kembali tersenyum lagi di depan Abimanyu. "Sebenarnya itu adalah... itu adalah... itu—"     

"Abimanyu, sini sama Bunda!" kata Rianti yang kembali membuatku kaget. Dia langsung menarik Abimanyu ke dalam dekapannya, kemudian memandangku, dan Manis dengan tatapan ketusnya itu. "Dasar dua manusia mesum! Ndhak sadar apa, toh, kalau di rumah ini ada anak kecil. Lagi pula Kangmas juga ini sepertinya urat malunya sudah putus atau bagaimana, toh? Kamu ini seorang Juragan, lho. Bagaimana bisa seorang Juragan benar-benar jauh dari aturan seorang Juragan yang sebenarnya. Kangmas ini benar-benar bukan contoh yang baik bagi penerus bangsa. Aku benar-benar ndhak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika nanti, kalian telah memiliki anak. Jangan-jangan kalian melakukan hal seperti itu di depan anak kalian lagi."     

Aku langsung berdiri, diomeli seperti itu oleh Rianti benar-benar membuatku tersinggung secara jasmani, dan rohani. Lantas, aku mendekat ke arah Manis, menarik lengannya untuk kuajak masuk kamar kemudian kuajak untuk melanjutkan penyaluran hasrat kami yang telah lama terpendam. Akan tetapi, lagi-lagi, Rianti malah memanggil kami dengan mimik wajah yang jauh lebih menyeramkan dari tadi.     

"Tunggu, kalian mau ke mana?!" tanyanya, dengan nada yang sedikit tinggi juga ketusnya itu.     

"Katamu kami harus tahu tempat, dan waktu. Jadi, aku memutuskan untuk mengajak istriku tercinta masuk ke dalam kamar guna untuk meneruskan yang tadi."     

"Yang tadi?" tanya Rianti agaknya bingung. Namun setelah dia tahu apa maksudku itu, dia langsung berkacak pinggang, lagi-lagi dengan pelototan jahatnya itu. "Enak saja! Manis kamu sini!" panggil Rianti.     

"Ada apa? Aku mau kangen—"     

"Kalian ndhak akan bisa kangen-kangenan hari ini. Karena apa? Karena Manis mau aku minta tolong untuk mengemas pakaianku," Rianti lantas menarik tangan Manis, tapi aku langsung menahannya dengan pelototan yang ndhak kalah dari pelototan Rianti.     

"Enak saja, itu barang-barangmu, pakaian-pakaianmu, kenapa pula kamu harus menyuruh Manisku untuk membantumu? Enak saja! Ndhak! Aku berhak atas dia sekarang!"     

"Aku ndhak peduli dengan ucapanmu, Kangmas!"     

"Aku juga, Dik Rianti!"     

Dan pada akhirnya, aku perang dingin dengan Rianti. Sementara Manis lebih memilih diam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kami.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.